Golkar Menyapa Wartawan di Rumah PWI: Bos Kami Rakyat!

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Halaman Kantor PWI Kota Depok di jalan Melati Raya No. 3, Depok Jaya, siang itu tak seperti biasanya. Biasanya hanya deretan motor wartawan yang berjajar rapi di depan pagar biru, disertai aroma kopi hitam yang menyeruak dari ruang utama kantor itu.
Tapi Kamis (30/10/2025) siang, pemandangannya berbeda. Beberapa mobil berwarna cerah berbaris parkir di halaman, menandai kedatangan tamu dari dunia politik Kota Depok bukan untuk berpidato, melainkan untuk bersilaturahmi.
Cuaca Depok siang itu hangat dan bersahabat. Di dalam Kantor PWI Kota Depok, suasana terasa akrab: percakapan ringan, tawa kecil, dan sapaan hangat antar wajah yang sebagian besar sudah saling mengenal.
Hari itu, jajaran pengurus DPD Partai Golkar Kota Depok datang berkunjung ke kantor PWI Kota Depok.
Baca juga: FMIPA UI Kenalkan Isolasi DNA Sederhana Tingkatkan Literasi Sains
Namun, ini bukan pertemuan politik formal, bukan konferensi pers, bukan pula agenda kampanye jauh-jauh hari.
Ini silaturahmi, sebuah kata sederhana yang sering diucap, tapi jarang sungguh dijalankan. Sebuah upaya menghormati, mendengar, dan menyambung kembali tali komunikasi antara dua dunia yang kerap berjarak: politik dan media.
Ketua DPD Partai Golkar Kota Depok, Farabi A Rafiq, datang tidak sendirian. Berkemeja panjang oranye kotak-kotak bergaris hitam tebal, ia hadir bersama seluruh anggota Fraksi Golkar DPRD Kota Depok: Tajuddin Tabri, Supriatni, Samuel Bonardo, Fani Fatwati, Juanah Sarmili, Nurdin Al, dan Dindin Safrudin, yang akan menggantikan almarhum Faresh El Fouz (Faresh A Rafiq) melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).
Farabi yang juga dikenal sebagai dokter spesialis anak tampil sederhana, tanpa jarak. Senyumnya ramah, tutur katanya tenang. Ia membuka pertemuan dengan kalimat ringan yang segera mencairkan suasana.
"Kami datang bukan untuk formalitas,” ujarnya lembut. “Kami ingin bersinergi dengan PWI, membangun komunikasi yang sehat, dan membuka ruang kerja sama yang produktif.”
Kalimat itu sederhana, tapi mencerminkan arah komunikasi yang ingin ia bangun: bukan pencitraan, melainkan kepercayaan.
Ruang rapat kecil di kantor PWI Depok mendadak terasa akrab. Di dinding tergantung foto-foto kegiatan jurnalistik, di meja tersaji beberapa botol kecil air mineral.
Di antara kursi yang berjejer, dialog pun mengalir. Tentang media, politik lokal, dan bagaimana komunikasi yang sehat bisa menghapus sekat antara dua profesi yang kerap berhadapan di lapangan.
Farabi kemudian menyinggung soal moral pejabat publik di era digital.
"Para wakil rakyat harus peka dan mampu menyerap aspirasi masyarakat. Jangan pamer atau flexing di media sosial, itu tidak elok,” tegasnya.
Ucapan itu tak bermaksud menyinggung siapa pun, tapi menohok siapa saja yang lupa menunduk saat memegang kekuasaan. Ia bicara bukan sekadar sebagai politisi, melainkan sebagai warga Depok yang lelah melihat sebagian pejabat sibuk membangun citra, bukan kinerja.
"Yang kita perlukan sekarang adalah kedekatan, bukan kemewahan,” tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Farabi juga mengonfirmasi adanya Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPRD dari Fraksi Golkar.
"Surat Keputusan DPP Partai Golkar sudah turun dan akan segera dilantik,” jelasnya.
Baca juga: DKUM Depok Dorong KKMP Jadi Penggerak Ekonomi Warga
Dengan nada sedikit sendu, ia menyebut nama H. Dindin Safruddin yang akan menggantikan almarhum Faresh A. Rafiq, sosok yang dikenal sebagai politisi santun dan berdedikasi tinggi.
"Kami semua kehilangan beliau, tapi perjuangannya akan diteruskan,” ujar Farabi.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD sekaligus Bendahara DPD Partai Golkar Depok, Tajuddin Tabri, menambahkan penjelasan tentang kebijakan efisiensi anggaran daerah yang kini tengah diterapkan, termasuk terkait tunjangan perumahan anggota dewan.
"Kami mengikuti kebijakan yang ada. Di Jabar turun Rp10 juta, di Depok juga akan turun sekitar Rp5-6 juta. Tidak ada perjalanan dinas sampai akhir tahun,” ujarnya.
Ia menambahkan, kebijakan itu merupakan bagian dari tanggung jawab moral anggota dewan untuk ikut berhemat di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
"Kami tidak ingin terkesan boros di tengah dinamika ekonomi yang masih menekan daya beli masyarakat. Dewan harus memberi contoh dalam penghematan,” tegasnya.
Kalimat itu terdengar seperti pesan moral yang tulus, bukan sekadar retorika. Ada kesadaran di dalamnya bahwa rakyat tengah berjuang, dan pejabat publik seharusnya ikut menyesuaikan langkah, bukan berjalan di atas kenyamanan.
Baca juga: Pertemuan Cendekiawan Muslim, UIII Depok Bahas Peran Islam dalam Isu Global
Namun di balik percakapan soal efisiensi dan etika, ada hal lain yang terasa kuat dalam pertemuan siang itu: kerendahan hati politik.
Tak ada bendera partai, tak ada pidato panjang, tak ada slogan kampanye. Yang ada hanyalah perbincangan terbuka tentang kerja, tanggung jawab, dan bagaimana membangun kepercayaan masyarakat dengan cara sederhana.
Farabi kemudian menegaskan arah politik partainya. Target di tahun pileg berikutnya, Golkar Depok menargetkan satu wakil setiap Kecamatan. Di Depok ada 11 Kecamatan, jadi kami menargetkan 11 wakil rakyat di DPRD Kota Depok,” ujar Farabi optimistis.
Menurut Farabi, target itu realistis melihat soliditas kader dan semakin banyaknya generasi muda yang kini bergabung dengan Partai Golkar. Ia menegaskan pentingnya wakil rakyat dari Golkar untuk tetap dekat dengan masyarakat.
Dalam kesempatan itu, Farabi juga menegaskan komitmen Golkar untuk terus mengawasi jalannya pemerintahan.
Menurutnya, Partai Golkar berdiri karena rakyat dan untuk rakyat, sehingga setiap kebijakan pemerintah kota Depok yang tidak sesuai dengan koridor kepentingan publik akan dikritisi secara tegas.
Baca juga: Dari Sampah ke Listrik: Kolaborasi Apik PLN Icon Plus Dengan Bank Sampah Mekar Sari
"Kami tegaskan, kami tidak akan hanya duduk diam. Bos kami adalah rakyat. Jadi apa yang rakyat mau, itu yang akan kami perjuangkan,” ujarnya, menegaskan posisi Golkar sebagai partai yang ingin hadir di tengah masyarakat, bukan sekadar di ruang sidang.
Kata Farabi, sikap kritis ini bukan semata-mata oposisi, melainkan bentuk tanggung jawab moral dan politik untuk memastikan pemerintahan berjalan sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Ia juga menyoroti meningkatnya kesadaran publik dalam menyuarakan aspirasi, baik di media sosial maupun melalui aksi masyarakat.
“Sekarang rakyat juga sudah mulai berani mengkritisi, salah satunya terlihat pada saat demonstrasi kemarin. Dan itu kami pandang sebagai wujud demokrasi yang sehat,” katanya.
Ketua PWI Kota Depok, Rusdy Nurdiansyah, menegaskan pentingnya komunikasi yang beretika antara media dan partai politik.
"Kita boleh berbeda pandangan, tapi kita satu semangat: membangun Depok agar lebih terbuka, transparan, dan berintegritas,” ujarnya.
Baca juga: Saat Depok Bersholawat di Penghujung Oktober
Menjelang sore, suasana perlahan menurun. Botol-botol plastik air mineral mulai kosong atau berkurang isinya, tawa berganti jabat tangan. Beberapa wartawan sibuk mencatat kutipan dari mereka yang menjadi nara sumber siang itu, sebagian lain menyiapkan kamera untuk dokumentasi.
Sebelum meninggalkan ruangan, Farabi menyalami satu per satu wartawan yang hadir.
"Kritik dari teman-teman media itu vitamin bagi kami,” katanya, tersenyum. “Justru lewat kritik kami bisa memperbaiki langkah.”
Foto bersama menjadi penutup yang hangat. Para kader Golkar berdiri berjejer di depan spanduk bertuliskan “PWI Kota Depok” yang menempel di dinding, sebagian mengangkat empat jari simbol nomor urut partai mereka. Di belakang mereka, logo PWI berdiri tegak, seolah menjadi saksi bisu dari dialog yang sederhana namun bermakna.
Ketika rombongan meninggalkan halaman kantor PWI Kota Depok, suasana kembali tenang. Langit Depok mulai berwarna jingga, bendera merah putih berkibar lembut di tiang halaman. Namun di udara, masih terasa gema percakapan hari itu, tentang moral, tanggung jawab, dan kesadaran.
Sore itu, politik berhenti sejenak dari kebisingannya. Dan di rumah wartawan di Jalan Melati Raya No. 3, Kelurahan Depok Jaya, Kecamatan Pancoran Mas semua orang tahu: silaturahmi masih menjadi bahasa paling lembut dalam politik yang kadang sering terasa keras. (***)
Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior
