Pemuda Hadapi Tantangan Besar Sebagai Arsitek Masa Depan Bangsa

RUZKA–REPUBLIKA NETWORK – Pemuda Indonesia harus menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibanding generasi 1928. Bukan lagi penjajahan fisik yang harus dikalahkan, tetapi percepatan dunia yang kian tanpa batas.
Hal itu diutarakan Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris. Menurutnya, semangat Sumpah Pemuda 1928 harus terus dinyalakan sebagai tenaga penggerak bagi masa depan di mana Indonesia bukan hanya bagian dari dunia, tetapi juga salah satu pembentuk peradabannya.
“Generasi muda Indonesia memiliki semua bahan bakar peradaban mulai dari jumlah besar, kreativitas tinggi, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan sejarah. Pemuda, sebagai arsitek masa depan bangsa bermakna berani berpikir global tanpa kehilangan akar lokal. Artinya, berpijak di bumi Indonesia tetapi menatap cakrawala dunia. Untuk itu, berbagai tantangan pemuda ke depan harus bisa diatasi bersama,” ujar Fahira Idris di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/10/2025).
Tantangan pertama pemuda sebagai arsitek masa depan bangsa adalah kompetensi. Fahira Idris mengungkapkan, dunia berubah lebih cepat daripada sistem pendidikan kita. Laporan World Economic Forum memperkirakan hampir separuh keterampilan kerja global akan tergantikan oleh otomatisasi dan kecerdasan buatan dalam lima tahun ke depan. Oleh karena itu, untuk menjadi bangsa yang disegani, generasi muda Indonesia bertransformasi menjadi pembelajar seumur hidup.
“Menjadi lifelong learners yang tidak menunggu sistem berubah, tetapi belajar melampaui sistem. Di era di mana batas waktu dan ruang lenyap, kemampuan beradaptasi dan keingintahuan menjadi modal utama untuk bertahan,” kata Fahira Idris.
Tantangan kedua adalah kepemimpinan dan kepercayaan diri global. Indonesia memiliki jutaan anak muda cerdas, kreatif, dan berprestasi yang harus terus didorong tampil ke panggung dunia. Indonesia harus memperbanyak representasi muda di bidang diplomasi, sains, teknologi, dan kebijakan global.
Generasi muda perlu membangun nasionalisme produktif. Kecintaan pada Indonesia harus diterjemahkan menjadi keberanian untuk berkompetisi, berjejaring, dan berprestasi lintas batas.
Tantangan ketiga adalah penguatan inovasi dan ekonomi kreatif. Pada abad ke-21, inovasi adalah bentuk baru nasionalisme.
Kemampuan mengubah ide menjadi solusi yang memberi nilai tambah bagi bangsa. Indonesia membutuhkan ekosistem yang menumbuhkan keberanian bereksperimen mulai dari kampus yang terbuka terhadap kolaborasi lintas disiplin, birokrasi yang ramah terhadap inisiatif, dan kebijakan yang memudahkan anak muda mencipta, bukan membatasi.
Terakhir atau keempat adalah solidaritas kemanusiaan di dunia yang semakin terfragmentasi. Perubahan iklim, perang, dan ketimpangan global menunjukkan bahwa umat manusia sedang kehilangan arah kebersamaan.
Dalam situasi ini, pemuda Indonesia memiliki keunggulan kultural yang tak dimiliki bangsa lain yaitu warisan gotong royong, moderasi, dan empati sosial.
“Di saat dunia kehilangan rasa kemanusiaan, anak muda Indonesia justru bisa menjadi jembatan bukan hanya antara suku dan agama di negeri sendiri, tapi juga antara bangsa-bangsa yang sedang mencari arah,” tandas Fahira Idris. (***)
