Catatan Cak AT: AI Pemeta Dimensia

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kita sedang berada di dunia masa depan yang, ironisnya, sedang mengalami krisis ingatan.
Tidak hanya orang-orang tua yang lupa tempat menaruh kunci, bahkan negara pun kadang lupa siapa yang membiayai siapa dalam perang dunia maya.
Menurut data WHO, lebih dari 55 juta orang di dunia mengalami demensia, plus sekitar 10 juta kasus baru setiap tahun.
Ini bukan wabah TikTok, tapi cukup mengkhawatirkan: demensia kini menjadi penyebab kematian nomor lima terbesar di dunia.
Baca juga: Catatan Cak AT: Berdaya Diri Gaya Putri Ariani
Di tengah segala kelupaan ini, datanglah pahlawan masa kini: Artificial Intelligence (AI). Kali ini, AI tidak sekadar jagoan ChatGPT yang bisa bikin puisi romantis. Kali ini, ia menyusup masuk ke wilayah yang lebih neurotik. Tepatnya: otak manusia yang mulai goyah kena dimensia.
Ya, di era ketika manusia semakin lupa hal-hal penting —dari ulang tahun sampai siapa yang mencuri uang negara— kita beruntung karena teknologi tidak ikut pikun. Bahkan, kini AI bisa mendeteksi kalau kita mulai lupa, sebelum kita sendiri ingat bahwa kita lupa.
Mungkin, seperti kata pepatah, "Jika otak sudah lupa, teknologi yang ingat." (Pepatah ini saya buat sendiri, barusan.)
Begitulah kabarnya dari Mayo Clinic. Rumah sakit kaliber dewa asal Amerika Serikat ini baru saja mengembangkan sebuah alat canggih bernama StateViewer. Ini bukan sekadar software iseng, melainkan alat diagnosis berbasis AI yang begitu canggih.
Baca juga: Buruan Daftar Sekolah Gratis di SMP Swasta Depok, Ini Syaratnya!
StateViewer konon bisa membedakan sembilan jenis demensia cukup dari satu scan otak. Iya, satu kali tes saja. Tanpa harus pakai tes menggambar jam dinding atau menjawab kapan Soekarno lahir. Tak perlu pasien yang sudah pelupa masih ditanya macam-macam.
Penelitian mereka, yang dipublikasikan dalam jurnal _Neurology_ pada 27 Juni 2025 (DOI: 10.1212/WNL.0000000000213831), menunjukkan bahwa alat ini berhasil mengidentifikasi jenis demensia pada 88% kasus. Sisa kasus tak berhasil diungkap, entah kenapa.
Keakuratan alat tersebut bahkan bisa mencapai tiga kali lipat lebih baik dari scan metode standar. Dan waktu yang dibutuhkan untuk interpretasi scan otak jadi hampir dua kali lebih cepat. Ini bukan hanya efisien, tapi juga bisa mencegah pasien menunggu hasil diagnosis sambil lupa kenapa mereka datang ke dokter.
Baca juga: Depok Luncurkan Dapur Bergizi, Telah Didirikan 17 Dapur Umum
StateViewer bekerja dengan menganalisis hasil FDG-PET scan —yaitu pemindaian otak yang menunjukkan seberapa lahap bagian-bagian otak kita mengkonsumsi glukosa. Ternyata, otak yang sedang mengalami demensia punya pola "lapar gula" yang khas.
Nah, si AI ini kemudian membandingkan scan tersebut dengan ribuan gambar otak lain dari pasien yang sudah pasti didiagnosis demensia. Dari situ, muncullah semacam "peta warna otak" yang menunjukkan bagian mana yang mulai redup dan jenis gangguan otak apa yang mungkin sedang terjadi.
Tapi, kenapa scan otak untuk mendeteksi demensia dilakukan terhadap konsumsi glukosa? Apa maksudnya? Mari kita kupas dengan gaya sederhana namun tetap akurat.
Otak kita, meskipun hanya sekitar 2% dari berat tubuh, mengonsumsi sekitar 20% dari total energi tubuh. Dan bahan bakar utama otak adalah glukosa, alias gula darah. Glukosa itu seperti nasi buat otak: tanpanya, neuron (sel-sel otak) tidak bisa bekerja dengan baik.
Baca juga: Depok Luncurkan Madrasah Gratis Jenjang MTs Swasta, Ini Daftarnya
Ketika otak sehat, bagian-bagian otaknya yang aktif akan "melahap" glukosa secara konstan sesuai kebutuhan: berpikir, mengingat, mengontrol emosi, mengatur gerakan, dan sebagainya. Tapi jika ada kerusakan atau penurunan fungsi di area tertentu —misalnya karena Alzheimer— bagian otak itu jadi malas makan. Artinya, konsumsi glukosa menurun di area tersebut.
Di sinilah teknologi bernama FDG-PET scan (Fluorodeoxyglucose Positron Emission Tomography) berperan. FDG adalah glukosa buatan yang dilabeli dengan zat radioaktif ringan. Ketika disuntikkan ke tubuh, FDG akan dibawa oleh darah ke seluruh organ, termasuk otak.
Otak yang aktif akan mengambil FDG lebih banyak, sedangkan otak yang tidak aktif (karena rusak atau menyusut) akan mengambil lebih sedikit. PET scan kemudian mendeteksi di mana saja FDG menumpuk. Hasilnya berupa peta panas (heatmap) aktivitas otak.
Baca juga: Polda Metro Jaya Bongkar Modus Peredaran Ekstasi Berbetuk Kapsul
Bagian yang terang berarti aktif dan lapar glukosa, bagian yang gelap berarti kurang aktif alias mulai "kelaparan". Dengan melihat pola ini, AI seperti StateViewer bisa mengenali jenis demensia yang menyerang—seperti dokter melihat sidik jari di TKP.
Singkatnya, scan dilakukan terhadap konsumsi glukosa karena pola aktivitas glukosa mencerminkan fungsi otak. Ketika suatu bagian otak mulai rusak, ia akan menggunakan glukosa lebih sedikit, dan ini bisa dideteksi dengan PET scan.
Ini seperti memeriksa kantor yang lampunya padam. Bagian yang gelap berarti tidak ada aktivitas. Nah, StateViewer memeriksa bagian otak yang “lampunya mati” karena glukosanya tidak dikonsumsi seperti biasanya—dan dari situ, diagnosis demensia bisa ditebak lebih awal, bahkan sebelum gejalanya parah.
Jika ingin perbandingan sehari-hari: membandingkan scan konsumsi glukosa otak itu seperti melihat kota dari satelit malam hari. Daerah yang terang (seperti Jakarta pusat) aktif, ramai. Daerah yang gelap... entah listriknya mati, atau memang sudah jadi hutan kembali.
Baca juga: Imigrasi Depok Gelar Giat Monitoring dan Evaluasi Desa Binaan di Kecamatan Tapos
Begitulah cara AI dan dokter membaca otak: bukan lewat pikiran, tapi lewat “laparnya”. Bagi dokter umum yang mungkin belum pernah melihat scan otak lebih dari gambar di Wikipedia, AI ini bisa jadi juru bicara yang menyampaikan: "Hei, lihat bagian ini, kayaknya pasien kita ngalamin demensia tipe frontotemporal."
Tapi sebelum bicara lebih jauh, mari kita sepakati dulu apa itu demensia. Singkatnya, ini bukan nama belakang artis Korea, melainkan istilah medis untuk penurunan fungsi kognitif yang cukup parah hingga mengganggu kehidupan sehari-hari. Bukan cuma lupa nama teman SD atau kebiasaan menaruh kunci di kulkas, tapi bisa sampai lupa cara memakai baju, atau percaya bahwa panci adalah telepon genggam.
Yang menarik, demensia bukan satu penyakit tunggal. Seperti nasi goreng, demensia hadir dalam banyak rasa dan bumbu. Nah, alat AI yang satu ini bisa membedakan semuanya, yang ada sembilan jenisnya, dari yang populer hingga yang eksentrik.
Misalnya, Alzheimer’s disease, sang primadona yang paling sering dibicarakan. Penyakit ini menyerang memori dan kemampuan berpikir logis. Gejala awalnya bisa sesederhana lupa letak dompet atau menanyakan hal yang sama berulang kali, seperti anak kecil yang penasaran apakah dinosaurus bisa hidup di Indonesia.
Baca juga: Ketika Obrolan Wartawan Candain Kelakuan Istri, Apakah Juga Anda Alami?
Lain lagi dengan Lewy Body Dementia, yang membuat penderitanya mengalami halusinasi dan kekakuan gerak. Kadang mereka merasa melihat anak kecil bermain di ruang tamu padahal rumahnya sudah sunyi sejak istri meninggal. Atau tiba-tiba tubuh mereka terasa berat dan kaku, seperti karakter gim yang sedang lag.
Sementara itu, Frontotemporal Dementia menyasar area otak yang mengatur kepribadian dan emosi. Efeknya, orang yang tadinya kalem bisa jadi suka berkata kasar, belanja online tak terkendali, atau tiba-tiba merasa bahwa memakai dasi di kepala adalah keputusan yang masuk akal.
Ada juga jenis _Vascular Dementia_, akibat suplai darah ke otak yang terganggu. Biasanya ia muncul pasca stroke, membuat orang menjadi bingung atau lamban berpikir. Contohnya, seseorang yang mendadak tidak tahu bagaimana cara memakai sandal —dan mencoba memakainya di tangan.
Kalau keempat jenis di atas belum cukup membuat bingung, ada juga Mixed Dementia, yaitu campuran dari Alzheimer dan Vascular Dementia. Sungguh paket lengkap. Di sinilah AI tampil sebagai penengah yang tenang: “Tenang, Bu. Ini mix, bukan salah satu.”
Baca juga: Disdik Depok Kembali Buka Pendaftaran, Ini SMPN yang Kekurangan Murid
Jenis lain yang tak kalah unik adalah _Parkinson’s Disease Dementia._ Orang dengan Parkinson bisa mengalami gemetar atau kesulitan bergerak, lalu lambat laun juga mulai mengalami penurunan kognitif. Pernah lihat orang mencoba membuka pintu dengan sendok makan? Mungkin ini contohnya.
Untuk yang sangat langka dan menyeramkan, ada _Creutzfeldt-Jakob Disease (CJD)._ Ini cepat, brutal, dan mematikan. Biasanya berkembang dalam hitungan minggu. Jika biasanya demensia datang perlahan seperti musim hujan, CJD datang seperti badai.
Kemudian, kita mengenal _Normal Pressure Hydrocephalus_ (NPH). Ini kondisi saat cairan di otak menumpuk tanpa tekanan tinggi. Akibatnya, penderita mengalami gangguan berjalan, ngompol, dan pelupa berat. Banyak yang dikira hanya “tua biasa”, padahal bisa ditangani jika terdiagnosis tepat waktu.
Terakhir, Huntington’s Disease, penyakit keturunan yang menyebabkan gerakan tidak terkontrol dan penurunan fungsi mental. Jika kamu melihat seseorang menari-nari tanpa irama sambil menyebutkan nama sepupunya yang sudah meninggal, mungkin itu bukan kesurupan —tapi Huntington.
Baca juga: Perkuat Ketahanan Pangan, Inflasi di Depok Terkendali
Nah, di tengah keragaman bentuk demensia ini, para peneliti dari Neurology Artificial Intelligence Program (NAIP) di Mayo Clinic membayangkan dunia baru: dunia di mana diagnosis neurologis dilakukan dengan presisi tinggi, keputusan pengobatan dibantu oleh wawasan berbasis data, dan deteksi dini menjadi hal biasa. Visi ini bukan fiksi ilmiah —mereka sedang mewujudkannya, satu baris kode demi satu scan otak.
Tim NAIP melatih StateViewer menggunakan jaringan data tersebar milik Mayo. Scan pasien baru akan dibandingkan secara cerdas dengan ribuan kasus terdokumentasi, termasuk hasil autopsi dan penelitian jangka panjang. Dengan pendekatan ini, para dokter tidak perlu lagi bertarung sendirian melawan kebingungan diagnostik.
“AI bukan menggantikan kami, tapi memperkuat kami,” kata Dr. David T. Jones, neurolog dari Mayo yang juga direktur NAIP. “Kalau AI dilatih dari kumpulan data pasien dalam jumlah besar, kita bisa membuat diagnosis lebih cepat, lebih tepat, dan pada akhirnya, mempercepat pencarian terapi yang efektif.”
Platform ini bekerja dalam Mayo Clinic Cloud, hasil kolaborasi mereka dengan Google Cloud —tempat di mana para ilmuwan data, software engineer, dan neurologis bisa main bareng, seperti tim Avenger versi medis.
Baca juga: Peran Aktif Berbagai Pihak Sangat Dibutuhkan dalam Penaggulangan HIV-AIDS di Depok
Menurut Dr. Leland Barnard, kepala rekayasa data NAIP, “Data adalah fondasi. Dengan infrastruktur cloud, kami bisa memadukan kekuatan AI dan keahlian klinis untuk menghasilkan alat yang benar-benar mendukung peningkatan diagnosis dan hasil perawatan pasien.”
Tentu, semua ini dilakukan dengan protokol keamanan data yang ketat. Karena meskipun pasien mungkin lupa password, tim Mayo Clinic tidak akan lupa menjaga privasi mereka.
Kembali ke dunia nyata, keberadaan AI seperti StateViewer membuka jalan baru dalam pengobatan penyakit otak yang dulu sulit dikenali sampai semuanya terlambat. Teknologi ini bukan sekadar alat, tapi cermin masa depan medis: yang lebih akurat, lebih personal, dan —semoga— lebih manusiawi.
Tapi mari kita ingat: sehebat apapun AI, ia tak akan pernah bisa menggantikan bisikan penuh kasih seorang anak kepada ibunya yang lupa nama sendiri: “Ibu, aku anakmu, yang selalu di sini.” Atau seorang sahabat yang paham arti kasih-sayang.
Baca juga: Depok MoU Rintisan Sekolah Swasta Gratis untuk MTs
Dan kalau kamu masih bisa membaca sampai akhir tulisan ini tanpa lupa paragraf pertama —selamat, mungkin kamu belum butuh StateViewer. Tapi kalau kamu lupa kenapa kamu buka artikel ini tadi, ya, mungkin sudah waktunya periksa. (***)
Sumber:
- Mayo Clinic. (2025). _An FDG-PET–Based Machine Learning Framework to Support Neurologic Decision-Making in Alzheimer Disease and Related Disorders_. Neurology. https://doi.org/10.1212/WNL.0000000000213831
- WHO Fact Sheet on Dementia. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dementia
- Alzheimer’s Association. https://www.alz.org/alzheimers-dementia/what-is-dementia
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 29/6/2025