Catatan Cak AT: Oscar Pertanian untuk Perempuan Pecinta Mikroba

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Mari kita mulai dengan kabar membanggakan —bukan bagi Indonesia, sayangnya, tapi bagi Brasil.
Di Gedung Departemen Luar Negeri AS, Washington D.C., sebuah penghargaan bergengsi bernama World Food Prize 2025 diberikan kepada Dr. Mariangela Hungria.
Penghargaan ini dijuluki “Oscar-nya dunia pertanian”, dan diberikan langsung oleh World Food Prize Foundation, untuk menghormati kontribusi luar biasa dalam bidang ketahanan pangan global. Mariangela mengaku tak pernah bermimpi bisa mendapatkannya.
Sementara di Indonesia, kita masih sibuk rapat koordinasi, membahas kenapa harga cabai naik, dan apakah “ketahanan pangan” sebaiknya tetap dijadikan jargon atau mulai benar-benar dipikirkan serius. Anggaran APBN kurang menyebut pupuk organik, padahal ini dahsyat.
Baca juga: Menkeu Lantik 22 Pejabat Pimpinan Tinggi Madya Kemenkeu
Mariangela Hungria bukan pahlawan ala sinetron: tidak viral di TikTok, tak menanam cabai di rooftop, dan tidak tampil di talkshow motivasi. Ia ilmuwan sejati, yang sejak 1982 bekerja di Embrapa, badan riset pertanian Brasil, dan mulai 1991 fokus di divisi Embrapa Soja (kedelai).
Pada mulanya, Mariangela kecil tumbuh bersama seorang nenek yang —menurut pengakuannya— penuh keajaiban. Neneknya bukan petani, bukan pula profesor, tapi justru seorang penjelajah alam di pekarangan rumah sendiri.
Dari nenek itulah ia mengenal tanaman, tanah, dan dunia diam yang nyaris tak terlihat: mikroba. Pada suatu libur sekolah, sang nenek memberinya buku tentang kehidupan para ahli mikrobiologi. Mungkin sebagian anak akan menguap setelah dua halaman. Tapi dia tidak.
Ia justru membaca buku itu semalaman, tersihir oleh dunia bakteri dan jamur yang—anehnya—tak bikin jijik, tapi justru bikin jatuh cinta. Dari situlah cinta pertamanya tumbuh. Bukan pada manusia, tapi pada mikroorganisme.
Baca juga: Catatan Cak AT: Fatwa Darul Ifta' Mesir : Dam Haji Tak Harus di Makkah
Sejak malam itu, hidupnya berubah. Ia mantap meniti jalan yang sunyi: bukan selebritas ilmuwan, bukan penemu drone pertanian atau pupuk instan, melainkan peneliti mikroba yang ingin mengembalikan fungsi tanah sebagaimana mestinya.
Ia percaya, para petani bisa diajak bekerjasama dengan mikroorganisme: tak sekadar menanam, tapi memberi makan tanah agar tanah memberi makan tanaman.
“Ketika saya memulai karier, orang-orang bilang saya gila,” kenangnya. “Mereka bilang saya tidak akan berhasil. Apa yang saya usulkan tidak masuk akal.”
Dan memang, usulannya saat itu terdengar seperti dongeng: menambahkan bakteri ke tanah, lalu berharap hasil panen meningkat drastis. Tapi dia bersikeras. Bertahun-tahun ia meneliti bakteri yang bisa menyerap nitrogen dari udara dan mengubahnya jadi pupuk alami.
Baca juga: Kasus The Umalas Signature, Polda Bali Benarkan Penahanan BT dengan Tuduhan Penipuan dan Pengelapan
Bahkan ada yang memicu hormon akar, membuat tanaman tumbuh lebih besar dan menyerap unsur hara lebih efektif. Lama kelamaan, dongeng itu terbukti. Dunia mulai percaya. Para skeptis diam, dan hasil panen bicara.
Seorang koleganya, Leo Bortolon, menyebutnya “ilmuwan fenomenal dan panutan bagi banyak orang, termasuk dirinya sendiri.”
Latar belakangnya mengagumkan: sarjana dan magister dari ESALQ–USP di bidang agronomi dan nutrisi tanah, doktor dari UFRRJ, dan post-doktoral di Cornell, UC Davis, serta University of Seville. Namun lebih dari gelar, yang membuatnya luar biasa adalah keputusannya meneliti hal yang sering dilupakan: mikroba di bawah tanah.
Mariangela mengembangkan teknologi inokulasi dan ko-inokulasi: memanfaatkan bakteri baik seperti Rhizobium dan Azospirillum brasilense untuk membantu tanaman menyerap nitrogen langsung dari udara. Hasilnya? Tanpa perlu pupuk nitrogen buatan, kedelai bisa tumbuh subur, hemat biaya, dan ramah lingkungan.
Baca juga: Catatan Cak AT: Menimbang Abraham Accords, Demi Bangkit dari Puing Perang
Dalam 40 tahun, teknologi ini diaplikasikan di lebih dari 40 juta hektare lahan kedelai. Brasil yang dulu impor, kini menyalip AS sebagai eksportir kedelai nomor satu dunia. Sekadar catatan: bakteri ini menghemat Brasil sekitar USD 25 miliar per tahun hanya dari pengurangan pupuk nitrogen.
Sementara kita? Masih bingung kenapa subsidi pupuk membengkak, padahal panen tetap mengeluh.
Mariangela tak hanya ilmuwan, tapi juga penggerak perubahan sosial. Ia dikenal sebagai mentor bagi lebih dari 100 mahasiswa pascasarjana, dan menjadi perempuan pertama yang memimpin Sociedade Brasileira de Ciência do Solo.
Ia juga vokal memperjuangkan peran perempuan di sektor agrikultur—bukan sekadar lewat seminar, tapi lewat riset nyata, program pemberdayaan, dan advokasi kebijakan.
Penghargaan World Food Prize yang diterimanya merupakan pengakuan global tertinggi. Diserahkan oleh World Food Prize Foundation, penghargaan ini diberikan setiap tahun kepada individu yang memberikan dampak nyata dalam upaya mengurangi kelaparan dan meningkatkan sistem pangan dunia.
Pada upacara penghargaan di Washington D.C., Mariangela disebut sebagai tokoh yang “mengubah arah pertanian tropis.” Sementara kita? Kita sibuk menunggu gebrakan dari para pejabat yang lebih sering bicara tentang food estate dibanding mikrobiologi tanah.
Indonesia sesungguhnya bisa belajar banyak dari Mariangela: bahwa perubahan tidak harus dari kebijakan besar atau proyek mercusuar, tapi bisa dimulai dari satu sendok tanah yang diteliti dengan telaten.
Baca juga: Indonesia Kuat Jadi Tema Harkitnas, Anggota DD RI Fahira Idris Paparkan 5 Pilarnya
Dengan kekayaan biodiversitas mikroba tropis, potensi kita jauh lebih besar dari Brasil. Tapi selama inovasi riset tidak diberi panggung, kita akan terus bergantung pada pupuk impor dan harga pangan yang tidak stabil.
Mariangela menunjukkan bahwa swasembada pangan bukan utopia. Ia tidak menunggu program nasional, tidak bergantung pada rapat kabinet. Ia bekerja dalam senyap —bersama bakteri, tanah, dan riset— dan kini diakui dunia.
Pertanyaannya: di Indonesia, siapa yang sedang meneliti bakteri —dan siapa yang sibuk meneliti peluang jadi menteri? (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 24/5/2025