80 Tahun Merdeka, Saatnya Ketahanan Pangan "Naik Kelas" Jadi Kemandirian Pangan

RUZKA–REPUBLIKA NETWORK — Salah satu percepatan yang penting dilakukan di usia ke-80 tahun kemerdekaan Indonesia adalah mewujudkan kemandirian pangan. Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris mengungkapkan, Indonesia harus mandiri pangan karena ketergantungan pada impor akan membuat negeri ini rentan terhadap gejolak harga global, perubahan iklim, dan disrupsi rantai pasok yang kian sering terjadi.
Di masa depan, tantangan ketahanan pangan akan semakin berat seiring populasi yang bertambah, iklim semakin ekstrem, dan persaingan sumber pangan global meningkat.
“Kemandirian pangan berarti memastikan setiap warga dapat mengakses pangan bergizi, aman, dan terjangkau dari sumber daya dalam negeri, memperkuat ketahanan ekonomi, menjaga stabilitas sosial, dan melindungi kedaulatan bangsa di tengah ketidakpastian dunia. Oleh karena itu, di usia kemerdekaan yang sudah 80 tahun ini, sudah saatnya ketahanan pangan ‘naik kelas’ jadi kemandirian pangan,” ujar Fahira Idris di sela Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT Ke-80 Kemerdekaan RI, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (15/08/2025).
Menurut Senator Jakarta ini, dalam satu dekade ke depan harus ada terobosan konkret mewujudkan kemandirian pangan. Setidaknya ada beberapa terobosan yang patut menjadi perhatian utama.
Pertama, diversifikasi pangan yaitu pentingnya menetapkan roadmap diversifikasi yang menggeser porsi kalori dari beras–terigu ke sumber lokal tahan iklim (sagu, sorgum, jagung, umbi) per ekoregion. Selain itu, perlu terapkan kuota belanja publik minimal 30% pangan lokal untuk program bantuan pangan, makan bergizi anak sekolah, dan logistik bencana.
Lalu peran Bulog harus diperluas karena idealnya Bulog tidak hanya menyerap dan menyimpan beras, tapi juga komoditas lokal seperti sagu, sorgum, jagung, dan singkong. Bulog bersama pemda wajib mengelola buffer stock pangan lokal, dengan dukungan lumbung desa dan kabupaten sebagai simpul distribusi.
Penetapan harga dasar dan sistem penyerapan panen untuk komoditas prioritas akan menjadi jaring pengaman harga sekaligus memberi kepastian bagi petani lokal.
Juga pentingnya lumbung komunal modern yang diharapkan kebijakan pangan nasional belajar dari Kampung Ciptagelar dan Kampung Adat Cireundeu, Jawa Barat yang sejak lama sudah mencapai kemandirian pangan. Skalakan praktik Ciptagelar–Cireundeu dengan membangun 100.000 lumbung komunal modern (pendingin sederhana, proteksi hama, manajemen stok digital) lewat dana desa dan matching fund dari Pusat.
Dengan menetapkan target, di mana tiap desa rawan pangan memiliki minimal 1 lumbung aktif dengan stok 3–6 bulan.
Terkait pertanian tahan iklim dan nilai tambah lokal harus dilakukan dengan mengalihkan sebagian subsidi pupuk yang saat ini bias terhadap beras, menjadi insentif untuk benih lokal, alat pascapanen, dan teknologi pengolahan skala mikro seperti sago mill, penggiling tepung singkong/sorgum, pengering hasil tani, hingga cold chain. Praktik agroekologis dan organik juga perlu diperluas, dengan fokus pada penggunaan mikroba hayati dan benih non-GMO yang menjaga ekosistem tanah dan air tetap lestari.
Sementara pemenuhan gizi sebagai tujuan kemandirian pangan hanya akan berdampak nyata jika ditautkan langsung dengan perbaikan gizi masyarakat. Program makan bergizi berbasis pangan lokal harus menjangkau PAUD dan SD secara nasional, disertai paket intervensi bagi ibu hamil dan menyusui.
Keberhasilan program tidak lagi diukur semata dari jumlah beras yang disalurkan, melainkan dari peningkatan Pola Pangan Harapan (PPH) dan penurunan angka stunting di tingkat kecamatan.
Yang terakhir, orkestrasi dan data tunggal pangan mencakup semua langkah di atas yang hanya akan efektif bila didukung oleh orkestrasi kelembagaan dan data pangan yang terpadu. Pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja dalam satu sistem yang disebut Satu Peta Pangan—dasbor digital harian yang memantau produksi, stok, harga, cuaca, dan arus impor pangan per komoditas dan wilayah.
“Dengan sistem ini, pengambilan keputusan seperti serapan panen, distribusi laut/udara, atau operasi pasar dapat dilakukan cepat dan tepat. Kinerja tiap daerah dalam urusan pangan pun dapat dievaluasi secara triwulanan dan dikaitkan langsung dengan insentif fiskal,” tandas Fahira Idris. (***)