Home > Kolom

Catatan Cak AT: Menimbang Abraham Accords, Demi Bangkit dari Puing Perang

Memang, jika ada yang bisa menghidupkan kembali diplomasi Timur Tengah seperti Phoenix bangkit dari abu perang, maka namanya bukan Aladdin, tapi Abraham.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Menimbang Abraham Accords Bangkit dari Puing Perang. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Menimbang Abraham Accords Bangkit dari Puing Perang. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Sudah waktunya kita angkat gelas teh manis panas —atau mungkin segelas air mata rakyat Suriah— dan bersulang untuk satu lagi babak drama geopolitik Timur Tengah yang bisa membuat telenovela Turki terlihat seperti dokumenter National Geographic.

Suriah kabarnya sedang melirik-lirik pintu Abraham Accords. Dan tidak, ini bukan satire. Atau, setidaknya, bukan sepenuhnya.

Memang, jika ada yang bisa menghidupkan kembali diplomasi Timur Tengah seperti Phoenix bangkit dari abu perang, maka namanya bukan Aladdin, tapi Abraham.

Baca juga: Depok akan Gelar Pembinaan Karakter dan Bela Negara Bagi Kalangan Remaja

Ya, Abraham Accords —sebuah kesepakatan diplomatik yang lahir dari rahim era Trump, yang lebih dikenal dengan rambut oranye dan kebijakan luar negeri yang seringkali lebih dramatis dari acara reality show yang pernah dibintanginya. Kesepakatan ini pertama kali menjodohkan Israel dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain pada 2020, kemudian disusul Sudan dan Maroko.

Yang menarik, Abraham Accords tidak lahir dari proses panjang negosiasi damai konvensional, melainkan dari strategi lompatan diplomatik Donald Trump yang lebih mirip kesepakatan dagang berbalut jargon perdamaian.

Trump, yang gemar membingkai dirinya sebagai “deal-maker”, melihat kawasan ini bukan semata-mata sebagai ladang konflik ideologis, tapi sebagai papan catur geopolitik yang bisa dirapikan lewat insentif ekonomi dan tekanan terukur.

Meski sering dikritik karena mengabaikan Palestina, peran Trump sebagai pendorong awal format normalisasi ini sulit diabaikan —ia menyiapkan platform yang kini sedang coba dirambah oleh Suriah.

Baca juga: Kasus Sengketa Hunian The Umalas Signature, Polisi Tetapkan Budiman Tiandy Tersangka dan Langsung Ditahan

Seolah-olah ini Tinder untuk negara-negara Timur Tengah yang ingin "swipe right" ke arah normalisasi, sambil sesekali lupa bahwa Palestina masih menjadi "ghosting" terbesar dalam sejarah diplomatik modern.

Kini, giliran Suriah —negara yang selama puluhan tahun menjadikan penolakan terhadap Israel sebagai salah satu rukun nasionalisme— disebut-sebut sedang bersolek untuk ikut pesta.

Di tengah reruntuhan Aleppo dan embargo ekonomi, Presiden Ahmed al-Sharaa tampaknya ingin mengganti slogan lama “perlawanan selamanya” menjadi “kerja sama selanjutnya.” Katanya demi perdamaian, tapi tak sedikit yang menuding ini lebih demi pencairan dana.

Paket normalisasi yang bocor ke media tak main-main: pengakuan kedaulatan, pertukaran duta besar, penerbangan langsung, bahkan dialog antaragama —karena tak ada yang menyatukan Yahudi, Kristen, dan Muslim lebih cepat daripada kebutuhan bersama untuk menghindari sanksi ekonomi.

Baca juga: Indonesia Kuat Jadi Tema Harkitnas, Anggota DD RI Fahira Idris Paparkan 5 Pilarnya

Mereka yang mendukung menyebutnya sebagai “langkah keluar dari terowongan,” sementara mereka yang menolak, menyebutnya “tiket masuk ke lubang kompromi.” Yang lucu (atau tragis), kedua pihak mungkin benar.

Di meja diplomasi, rupanya cita rasa hummus bisa lebih menggiurkan daripada idealisme revolusi. Damaskus tampaknya ingin menukar narasi “perlawanan suci” dengan “investasi strategis.”

Tentu saja, dalam naskah normalisasi ini tidak ada lampiran “pengembalian Dataran Tinggi Golan secara instan.” Tapi disebutkan bahwa isu itu bisa “dibicarakan nanti,” yang dalam bahasa diplomasi setara dengan: “nanti kita lihat ya, kalau sempat.”

Mereka yang berharap Suriah akan jadi versi Arab dari Jerman Timur yang bangkit melalui rekonsiliasi pascaperang mungkin perlu membatasi dosis optimismenya. Pasalnya, normalisasi tidak otomatis mengubah struktur kekuasaan atau membereskan pelanggaran HAM. Bahkan, beberapa pengkritik khawatir, ini justru bisa memberi stempel legitimasi internasional bagi rezim yang belum tentu berubah di dalam.

Baca juga: Catatan Cak AT: Ribuan Ton Antiobiotik Mengancam Kehidupan Sungai

Namun jika kita realistis (baca: sinis), mungkin inilah bentuk baru “kemenangan” di Timur Tengah: bukan ketika musuh dikalahkan, tapi ketika semua pihak sepakat berpura-pura bahwa mereka tidak sedang bersaing, sambil tetap mencuri pengaruh satu sama lain lewat kerja sama dagang dan pelatihan kontra-terorisme.

Jadi, masa depan Suriah setelah _Abraham Accords_? Mungkin bukan damai yang turun dari langit, tapi diskon ekspor teknologi air dan undangan konferensi di Dubai. Tapi hei, dibandingkan hujan rudal dan embargo, itu tetap upgrade yang layak di-notifikasi.

Tapi, mungkin ini memang terdengar seperti lelucon yang buruk: “Apa yang terjadi ketika Suriah, negara yang sejak 1948 bersumpah tak akan berdamai dengan Israel, tiba-tiba ingin bertukar duta besar dan membuka jalur penerbangan langsung ke Tel Aviv?” Jawabannya: sama seperti ketika kucing mengaku vegetarian karena sudah kehabisan tikus.

Dengan Presiden Ahmed al-Sharaa menyetujui kerangka awal normalisasi, kita menyaksikan manuver politik yang lebih licin dari sabun Aleppo —produk unggulan Suriah yang kini mungkin akan masuk pasar Israel dengan label “Perdamaian dan Parfum.”

Baca juga: Catatan Cak AT: Dokter-Dokter Tersedu di Meja Kasir Negara

Tapi sebelum kita terlalu bersemangat membayangkan bazar Damaskus yang dibanjiri turis Yahudi liberal dari Haifa, mari kita ingat satu hal kecil: Dataran Tinggi Golan masih duduk manis di bawah kendali Israel, lengkap dengan pos militer, pemukiman, dan selfie militer di Instagram.

Tentu saja, al-Sharaa menegaskan bahwa “pembagian wilayah adalah garis merah.” Tapi jika sejarah Timur Tengah adalah guru kita, maka “garis merah” ini seringkali hanya batas kapur di tanah yang mudah diseka begitu ada tawaran investasi energi terbarukan.

Langkah Suriah ini dikemas sebagai “langkah keluar dari isolasi.” Wajar saja, setelah lebih dari satu dekade dibombardir sanksi, dibebani perang saudara, dan ditinggalkan oleh sebagian besar dunia Arab, Damaskus tampaknya siap mencabut sempak lama dan menggantinya dengan jas Abraham Accords —setidaknya agar tampak lebih rapi di mata investor asing.

Tapi jangan salah, ini bukan sekadar diplomasi; ini diplomasi survival. Jika UAE, Bahrain, Sudan, dan Maroko bisa menyulap hubungan dengan Israel menjadi investasi, drone, dan pelatihan startup, mengapa Suriah harus tertinggal?

Baca juga: Terbantu Pecalang, Polda Bali akan Tindak Tegas Premanisme, Perorangan Maupun yang Berkedok Ormas

Respons publik? Seperti biasanya di Timur Tengah: campur aduk, penuh rasa curiga, dan dibumbui komentar medsos yang bisa membuat moderator Facebook minta pensiun dini.

Ada yang bilang, “Akhirnya cahaya di ujung terowongan!” —tapi lupa bahwa kadang cahaya itu berasal dari kereta ekonomi Israel yang melaju kencang dan siap menghantam siapa pun yang tak siap beradaptasi.

Lalu ada oposisi yang mengeluh ini hanya pengalihan isu dari pelanggaran HAM dan lumpuhnya rekonstruksi. Benar juga. Karena tampaknya, lebih mudah membangun hubungan luar negeri daripada membangun kembali Aleppo yang hancur.

Dan tentu saja, para nasionalis keras masih berdiri di atas puing ideologi, bersumpah tak akan menyerah sebelum Golan kembali. Sayangnya, suara mereka makin sayup, tenggelam oleh suara aplikasi TikTok dan kurs online shekel terhadap lira Suriah.

Baca juga: Depok Ajak Pelaku Usaha Komit Dukung Implementasi KTR

Jika Abraham Accords berniat menjadi kendaraan perdamaian, kita patut bertanya: kendaraan ini menuju ke mana? Apakah ini upaya tulus menuju rekonsiliasi regional? Atau hanya taktik realpolitik untuk menukar tanah, sejarah, dan martabat dengan investor, utang, dan pengakuan parsial?

Suriah adalah teka-teki. Sejak awal perang saudara, ia telah menjadi panggung eksperimen geopolitik Rusia, Iran, AS, Turki, dan —tentu saja— Israel. Bergabung dengan Accords bisa berarti kembali ke pangkuan komunitas internasional, tapi juga bisa berarti menyerahkan sisa harga diri pada altar diplomasi pragmatis.

Kita tentu tidak anti-perdamaian. Dunia ini terlalu tua dan lelah untuk terus bertengkar. Tapi kita juga tak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa perdamaian sejati tidak dibangun di atas saling pura-pura, melainkan saling menghormati. Golan bukan sekadar bukit. Itu simbol. Dan simbol tidak bisa diganti dengan nota kesepahaman.

Baca juga: Catatan Cak AT: Mata Kita dalam Memori AI

Jika benar Suriah akan bersalaman dengan Israel, semoga bukan dengan tangan yang masih memegang batu dari masa lalu. Atau lebih parah, tangan yang gemetar karena kelaparan ekonomi dan tekanan politik.

Jadi, masa depan Suriah setelah _Abraham Accords_? Belum tentu cerah. Tapi setidaknya, mungkin akan sedikit lebih beraroma sabun Aleppo yang sudah lama tak tercium di kancah global. Dan itu, saudara-saudari, lebih baik daripada bau mesiu yang selama ini menguar dari negeri yang dulu disebut jantung Arab. (**

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 22/5/2025

× Image