Home > Kolom

Catatan Cak AT: Dokter-Dokter Tersedu di Meja Kasir Negara

Yang lebih dramatis lagi, katanya para dokter mulai merasa jadi makhluk hidup paling tanggung di republik ini. Mereka merasa bekerja bukan lagi demi melayani kemanusiaan, melainkan demi mengejar setoran. Sedihnya, bukan setoran pahala.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Dokter-Dokter Tersedu di Meja Kasih Negara. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Dokter-Dokter Tersedu di Meja Kasih Negara. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Suatu hari di ruang rapat Rumah Sakit Umum Paling Sentral, sang direktur menggenggam setumpuk kertas. Tangannya gemetar, bukan karena stroke ringan, melainkan karena angka besar yang baru saja dikirim dari pusat: “Target Pendapatan RS Tahun Ini: Rp1,6 Triliun.”

Maka menangislah stetoskop di seluruh negeri. Tapi boleh jadi, cerita di awal tulisan ini hanyalah rumor yang beredar tremor di sekujur tubuh. Namun seperti kata pepatah media sosial: “Kalau tidak benar, kenapa terdengar begitu meyakinkan?” Kenapa pula ratusan guru besar berteriak?

Ya, rumor bahwa Kementerian Kesehatan kita yang tercinta menetapkan target pendapatan miliaran hingga triliunan kepada rumah sakit pelat merah, begitu merebak di ribuan layar digital. Ia terdengar seperti hasil brainstorming antara Excel dan iblis kapitalis.

Baca juga: Terbantu Pecalang, Polda Bali akan Tindak Tegas Premanisme, Perorangan Maupun yang Berkedok Ormas

Yang lebih dramatis lagi, katanya para dokter mulai merasa jadi makhluk hidup paling tanggung di republik ini. Mereka merasa bekerja bukan lagi demi melayani kemanusiaan, melainkan demi mengejar setoran. Sedihnya, bukan setoran pahala.

Bayangkan: dokter di IGD bukan lagi bertanya ke pasien, “Bagaimana kondisi Anda?” tapi bertanya pada keluarganya, “Bisa dibayar pakai tunai atau cicilan ShopeePay?”

Tentu, kita tidak sedang mengarang-ngarang. Rumor memang tak punya akta lahir, tapi keresahan para dokter sangat nyata —seperti kantung mata mereka. Bahkan seorang dokter, kawan penulis, berujar dengan nada getir:

“Saya tidak bisa membayangkan jika dokter seluruh Indonesia bergerak melawan kekuasaan yang menindas mereka.” Sebuah kalimat yang, jika disampaikan dalam bentuk orkestra, bisa jadi lagu kebangsaan baru: Indonesia (Sudah) Sakit.

Baca juga: Depok Ajak Pelaku Usaha Komit Dukung Implementasi KTR

Lantas, dari mana asal mula semua kegaduhan ini?

Menurut Taufiq Fredrik Pasiak —ilmuwan otak yang masih berpikiran jernih meski hidup di negeri gaduh— semua ini berawal dari pergeseran cara pandang terhadap profesi dokter. Dekan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta ini menulis artikel panjang soal ini di jernih.co.

Anda tahu, Menteri Kesehatan kita, Budi Gunadi Sadikin (BGS), bukanlah produk Fakultas Kedokteran, melainkan Fakultas Ekonomi Kapitalistik Terapan (baca: bankir ulung). Maka wajarlah jika beliau melihat rumah sakit seperti melihat kantor cabang bank: ada KPI, ada proyeksi income, dan tentu saja ada target. Kalau bisa sekalian pakai SPG.

Dalam bayangan BGS, bisa jadi rumah sakit adalah unit produksi strategis. Dokter? Sumber daya manusia. Pasien? Mungkin customer experience unit. Dan ilmu kedokteran? Ah, itu tinggal dicetak cepat seperti Indomie rasa kuah empati.

Melihat fakta ini, Pasiak berkesimpulan: “Ini bukan sekadar kebijakan, tapi pertarungan dua paradigma.” Yang satu paradigma logistik, yang lain etik dan humanistik.

Baca juga: Depok akan Lindungi Remaja dari Dampak Buruk Tembakau

Tapi apa daya, dalam arena ini, sang menteri membawa ‘mapatu’ —istilah Manado untuk gagang pisau— pisau aturan yang bisa memotong prodi spesialis seenaknya. Sedangkan para guru besar hanya membawa idealisme —benda yang tak laku dijual, apalagi di E-Katalog.

Sementara itu, pendidikan dokter spesialis di dalam negeri memang tak sepenuhnya suci. Ada juga borok-borok yang sudah lama berbau: sistem hierarkis yang menindas, biaya yang selangit, dan birokrasi yang bikin frustrasi.

Dalam beberapa kasus, mahasiswa spesialis yang sedang kuliah di rumah sakit diperlakukan lebih mirip buruh kasar ber-ID card, ketimbang calon penyembuh yang dilatih dengan hati-hati. Mereka dituntut bekerja luar biasa dalam menangani pasien dalam jumlah besar.

Baca juga: Lawan Premanisme, Polrestro Depok Tertibkan Bendera dan Posko Ormas, Wargapun Senang

Jumlah dokter spesialis di Indonesia saat ini mencapai 49.670. Menurut Bappenas, rasio ideal dokter spesialis adalah 0,28 per 1.000 penduduk. Artinya, Indonesia masih kekurangan sekitar 29.179 dokter spesialis. Selain itu, distribusi mereka juga tidak merata. Sekitar 59% dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Di saat yang sama, pendidikan dokter spesialis begitu lambat dan sangat mahal. Saat ini, Indonesia hanya mampu mencetak sekitar 2.700 dokter spesialis per tahun dari 24 fakultas kedokteran penyelenggara pendidikan dokter spesialis —jauh dari kebutuhan ideal yang mencapai 32.000.

Nah, celah inilah yang dimanfaatkan BGS untuk masuk dengan semangat “reformasi.” Ia tertantang untuk memenuhi kebutuhan ini, dengan tujuan mulia: agar bangsa Indonesia sehat. Ia pun melihat kayu-kayu penghalang percepatan pembentukan dokter spesialis.

Maka, BGS membuat satu terobosan sejak era Jokowi. Pemerintah pun pada Mei tahun lalu secara resmi meluncurkan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Berbasis Rumah Sakit Pendidikan. Peluncuran ini berlangsung di RSAB Harapan Kita, Jakarta.

Baca juga: Jaga Adat dan Budaya, Ribuan Pecalang di Bali Deklarasi Tolak Preman Berkedok Ormas

Sayangnya, alih-alih membenahi akar, BGS memilih memangkas daun: mempercepat, memecah jalur, memindahkan pusat pendidikan dari universitas ke rumah sakit. Seolah-olah mencetak dokter sama mudahnya seperti mencetak kartu ATM.

Di sisi lain, rumor pendapatan triliunan dari RSUP bukanlah sekadar angka. Ia adalah simbol — dari bagaimana pemerintah melihat rumah sakit: bukan lagi benteng kemanusiaan, tapi gudang profit. Maka tak heran jika para dokter kini dilanda krisis eksistensial. Mereka merasa bukan lagi pejuang di garis depan, tapi sales asuransi dengan jas putih.

Lalu apa yang akan terjadi jika rumor ini benar? Mungkin akan lahir profesi baru: “Dokterpreneur.” Mereka membuka klinik dengan slogan: Kami Bukan Menyembuhkan, Kami Menargetkan.

Pasien masuk bukan berdasarkan urgensi, tapi potensi margin keuntungan. IGD berubah jadi kasir, dan operasi dijadwalkan berdasarkan grafik keuangan. Yang miskin? Silakan ke belakang antrean, atau ke pengobatan alternatif.

Baca juga: Indonesia Emas 2045, Pola Pikir Siswa Indonesia dan Metode Teknik Logic 5

Namun, kita juga tak boleh jadi pesimis akut. Pasiak menawarkan jalan damai: audit menyeluruh, bentuk dewan transisi, dan perbaiki sistem dari hulu. Negara perlu berdialog dengan komunitas medis —bukan hanya mengatur dari atas dengan spreadsheet dan PowerPoint. Karena dokter bukan barang produksi, dan pendidikan dokter bukan pabrik.

Kalau tidak percaya, coba Anda tanya pada dokter Anda, “Dok, target hari ini sudah tercapai?” Kalau ia menjawab, “Masih kurang dua operasi dan satu endoskopi,” maka yakinlah: kita sedang berjalan mundur ke masa depan —di mana sistem kesehatan tak lagi menyembuhkan, tapi menjual ilusi kesembuhan.

Dan pada akhirnya, kita sebagai rakyat hanya bisa berharap: semoga rumor ini tak menjadi kenyataan. Karena kalau iya, rumah sakit akan menjadi tempat di mana penyakit disambut dengan tarif, dan dokter menangis di balik masker sambil menghitung cicilan hidup.

Selamat datang di Republik Sehat, Syarat dan Ketentuan Berlaku. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 20/5/2025

× Image