Home > Bisnis

Penurunan Harga Pupuk Subsidi, Langkah Populis yang Tidak Serta Merta Atasi Rendahnya Produktivitas

Harga pupuk yang murah cenderung memperbesar ketergantungan petani pada pupuk kimia, sehingga penggunaan bisa jadi berlebihan.
Ilustrasi aktivitas bongkar muat pupuk subsidi di salah satu gudang milik pemerintah. (Foto: Dok Republika) 
Ilustrasi aktivitas bongkar muat pupuk subsidi di salah satu gudang milik pemerintah. (Foto: Dok Republika)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK – Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai langkah pemerintah menurunkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk subsidi sekitar 20 persen untuk jenis urea, NPK, ZA, dan organik hanya brsifat jangka pendek dan belum menyentuh akar persoalan rendahnya produktivitas pertanian nasional.

“Penurunan harga ini dapat menghemat biaya petani hingga ratusan ribu rupiah per hektar. Namun tanpa edukasi tentang pemupukan berimbang dan uji tanah, penurunan harga justru berisiko mendorong konsumsi berlebih, menurunkan kesuburan tanah, dan menambah beban subsidi secara implisit,” jelas Analis Kebijakan Publik dan Peneliti CIPS, Rahmad Supriyanto di Jakarta, Kamis (6/11/2025).

Harga pupuk yang murah cenderung memperbesar ketergantungan petani pada pupuk kimia, sehingga penggunaan bisa jadi berlebihan. Padahal banyak lahan pertanian Indonesia sudah mengalami degradasi akibat kelebihan unsur hara nitrogen.

Hasil penelitian CIPS (2021) melihat mekanisme subsidi pupuk mendorong konsumsi pupuk kimia berlebih dan membuka celah pasar sekunder akibat selisih harga besar antara pupuk subsidi dan non-subsidi. Hal ini membuka peluang adanya kebocoran pupuk bersubsidi ke pasar non-subsidi.

Lebih dari itu, sejarah program pupuk subsidi di Indonesia menunjukkan pola masalah yang berulang, seperti kebocoran distribusi, penimbunan stok dan penjualan pupuk subsidi ke pihak yang tidak berhak. Tanpa pengawasan ketat dan transparansi data penerima, penurunan harga justru bisa memperluas ruang penyalahgunaan.

Penelitian CIPS (2021) mencatat ketimpangan produktivitas pangan antara Jawa dan luar Jawa. Produktivitas padi di Jawa mencapai 5,64 ton/ha, lebih tinggi 23% dibandingkan dengan luar Jawa (4,58 ton/ha). Padahal, 50% luas panen nasional berada di luar Jawa. Tetapi justru hanya menyumbang 44% produksi.

“Fokus kebijakan harus bergeser dari sekadar harga ke peningkatan produktivitas, terutama di wilayah dengan produktivitas rendah,” jelas Rahmad.

Terbitnya Perpres No. 6/2025 tentang tata kelola pupuk subsidi pada Januari 2025 lalu membawa sejumlah pembaruan, seperti digitalisasi melalui Kartu Tani, e-alokasi, dan pemangkasan birokrasi Surat Keputusan (SK) daerah. Penyederhanaan birokrasi ini terlihat dari menghilangnya kewajiban untuk Surat Keputusan (SK) Gubernur dan Bupati/Walikota pada tahap alokasi, yang dianggap menjadi salah satu penyebab keterlambatan pupuk bersubsidi.

Perpres ini, sayangnya, belum mampu menjawab masalah mendasar. Mekanisme subsidi yang tetap disalurkan melalui produsen membuat manfaatnya tidak sepenuhnya dirasakan petani. Agar tepat sasaran dan memberi fleksibilitas dalam pemilihan pupuk sesuai kebutuhan lahan, subsidi perlu dialihkan menjadi bantuan langsung kepada petani.

Saat ini, petani belum memiliki kebebasan dalam memilih pupuk sesuai kebutuhan lahannya karena pilihan pupuk subsidi terbatas di lima jenis saja (Urea, NPK, organik, SP-36, dan ZA). Padahal kebutuhan pupuk sangat bergantung pada kondisi tanah, komoditas, dan musim.

Oleh karena itu, pendampingan lapangan dan pelatihan pemupukan berimbang perlu diperkuat agar penggunaan pupuk menjadi tepat, efisien dan berdampak pada produktivitas, bukan sekedar menambah volume. Di sisi lain, industri harus lebih transparan soal biaya produksi agar subsidi benar-benar mendukung peningkatan produktivitas, bukan menutup inefisiensi.

Penelitian CIPS merekomendasikan peningkatan produktivitas lahan dan tenaga kerja melalui penggunaan bibit unggul, akses pupuk yang lebih berkualitas, pengendalian hama / Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang efektif, serta mekanisasi pertanian.

Perbaikan teknik budidaya, penguatan dan perluasan jaringan irigasi, pemanfaatan modifikasi cuaca untuk mitigasi perubahan iklim, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia sektor pertanian juga menjadi kunci untuk mendorong produktivitas berkelanjutan.

“Kebijakan pupuk yang benar-benar pro-petani bukan hanya membuat pupuk murah hari ini, tetapi memastikan tanah tetap subur, anggaran tetap sehat, dan produktivitas meningkat pertanian tetap berdaya di masa depan,” tegas Rahmad. ***

Image
Yoyok BP

yoyokbp@gmail.com

× Image