Ketika Kota Depok Belajar dari Anak-anaknya

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Pagi sudah menjelang sempurna, gedung PGRI Kota Depok, di kawasan Grand Depok City, menjadi lebih dari sekadar tempat seremoni.
Di bawah langit yang lembut, anak-anak berseragam putih-merah melangkah masuk satu per satu, membawa doa dan harapan serta impian kecil yang tumbuh di ruang-ruang kelas mereka.
Hari ini di sebagian wilayah kota Depok tepatnya di gedung PGRI kota Depok, aktivitas Supian Suri, orang nomor satu di kota Depok seperti berhenti sejenak bukan untuk rapat atau peresmian proyek, apalagi menerima kunjungan tamu terhormat tapi untuk belajar dari anak-anaknya sendiri.
Di antara mereka, kota ini menemukan kembali apa yang sering terlupa: bahwa masa depan tidak selalu dibangun dari beton dan kebijakan, tapi dari ketekunan kecil yang tumbuh diam-diam di meja belajar.
Baca juga: FEB UI Beri Pelatihan Eco-Enzyme di SDN Beji Timur 1 Depok
Sebuah Hari untuk Dirayakan
Pemerintah Kota Depok menyerahkan sejumlah penghargaan kepada para siswa berprestasi yang telah mengikuti berbagai Lomba-Lomba Pendidikan (LLP) jenjang Sekolah Dasar (SD), baik di tingkat Kota Depok maupun Provinsi Jawa Barat (Jabar).
Sebanyak 313 siswa SD menjadi juara dalam berbagai ajang pendidikan: mulai dari Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN), Pendidikan Agama Islam (PAI), Olimpiade Sains Nasional (OSN), Festival Lomba Seni dan Sastra Siswa Nasional (FLS2N), Festival Literasi Siswa Indonesia (FeLSI), hingga Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI).
Masing-masing membawa kisah sendiri, kisah tentang ketekunan, kesabaran, dan semangat yang tidak pernah menyerah.
Di atas podium, Wali Kota Depok, Supian Suri, berdiri di hadapan mereka, Rabu (29/10/2025). Nada suaranya lembut, tapi setiap kata terdengar tegas.
Baca juga: Fasilitas Pertama KFSHRC Diluncurkan untuk Manufaktur Terapi Gen dan Sel di Arab Saudi
"Mungkin penghargaan ini tidak sebanding dengan prestasi yang telah mereka capai. Namun, ini adalah bentuk dorongan agar anak-anak terus berusaha dan berprestasi," ungkap Supian.
Kalimat itu sederhana, tapi punya bobot moral yang dalam. Sebab bagi anak-anak yang terbiasa belajar di ruang kecil, menulis di meja kayu yang sudah penuh coretan, dan berlomba tanpa pamrih, kata “penghargaan” bukan sekadar piagam tapi pengakuan bahwa jerih payah mereka benar-benar berarti.
313 Cahaya di Tengah Kota
Hari itu, gedung PGRI kota Depok seperti lautan putih-merah. Anak-anak itu duduk bersisian, wajah mereka memantulkan cahaya kebanggaan.
Beberapa tampak masih malu, tapi di mata mereka menyala rasa percaya diri yang baru lahir.
Total terdapat enam kategori lomba yang diikuti para siswa, yakni O2SN dengan 142 peserta berprestasi, PAI 76 siswa, OSN 9 siswa tingkat nasional, FFS 9 siswa, FLS2N 26 siswa, FELSI 18 siswa, dan FTBI 42 siswa.
Baca juga: INTI 2025, Wondershare Berikan Solusi Perangkat Lunak Berbasiskan AI untuk Industri Kreatif
Salah satu pencapaian yang paling membanggakan adalah kemenangan tim FTBI yang berhasil meraih juara Bahasa Sunda di tingkat provinsi.
Prestasi yang mungkin tak seramai turnamen sepak bola, tapi tak kalah berarti: karena dari sinilah karakter bangsa dibentuk.
Raden Muchamad Zakkya Fauzan, Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota Depok, memahami bahwa kemenangan ini lahir dari kerja panjang.
“Prestasi ini bukti nyata kolaborasi antara guru, orang tua, dan siswa. Tanpa dukungan lingkungan sekolah dan keluarga, pencapaian seperti ini tidak akan mungkin,” ujarnya.
Kata “kolaborasi” yang ia sebut bukan slogan, tapi kenyataan sehari-hari.
Baca juga: Pemuda Hadapi Tantangan Besar Sebagai Arsitek Masa Depan Bangsa
Pemuda, sebagai arsitek
Ada guru yang menunda pulang demi membimbing siswanya. Ada orang tua yang menyiapkan bekal di pagi buta. Ada anak yang mengulang hafalan sambil menahan kantuk.
Semua itu bersatu, diam-diam menjadi energi yang menggerakkan kota ini.
Kota yang Belajar dari Anak-anaknya
Sering kali, kita lupa bahwa yang bisa mengajarkan semangat bukan hanya mereka yang dewasa.
Hari itu, Depok justru belajar dari anak-anaknya: tentang keuletan, kesungguhan, dan kegigihan yang polos tapi nyata.
Di tengah sambutannya, Supian Suri menambahkan, “Bagi anak-anak yang belum meraih prestasi, ini bukan akhir perjalanan. Tetap semangat.”
Pesan itu menembus dinding aula.
Mungkin tak semua anak paham maknanya hari ini, tapi kelak, mereka akan mengingat: bahwa yang terpenting bukan piala atau piagam sertifikatnya melainkan keberanian untuk terus mencoba lagi bahkan ketika belum menang.
Baca juga: Kementerian Komdigi Ingin Anak Melek Digital tetapi Tetap Aman dan Sehat
Bahasa, Budaya, dan Akar yang Menyala
Dari semua ajang yang digelar, Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) punya keindahan tersendiri.
Di tengah derasnya teknologi dan gawai, anak-anak ini memilih berbicara dalam bahasa ibunya, menulis pantun dan cerita rakyat, memperkenalkan diri bukan sebagai “pengguna aplikasi,” tapi sebagai penjaga akar budaya.
Zakkya menjelaskan, semangat itu sejalan dengan visi Depok, "Keberhasilan ini sejalan dengan visi Kota Depok sebagai kota yang berbudaya dan terbuka.”
Bahasa, seni, dan literasi yang mereka bawa bukan sekadar lomba melainkan cara menjaga agar identitas Depok tak hilang di antara bangunan tinggi dan lalu lintas yang padat.
Baca juga: Suara Sumpah Itu Masih Bergema di Tengah Hiruk Pikuk Kota Depok
Di Tangan Mereka, Masa Depan Menyala
Ketika acara selesai, anak-anak itu berhamburan keluar dari aula. Matahari Depok mulai condong ke barat.
Mereka berjalan beriringan di jalan Boulevard Raya, membawa piagam yang dikepit di dada dengan bangga.
Beberapa orang tua memotret, beberapa guru menatap dari jauh dengan senyum yang tak bisa disembunyikan.
Di tangan-tangan kecil itu, masa depan Depok sedang digenggam. Mereka belum tahu apa arti besar dari semua ini, tapi hari itu mereka belajar satu hal yang akan mereka bawa seumur hidup: bahwa setiap usaha, sekecil apa pun, berharga.
Dan mungkin, dari salah satu anak yang berdiri di panggung Gedung PGRI itu, kelak lahir seseorang yang menulis sejarah baru bagi kotanya.
Sebab hari itu, Depok memiliki 313 alasan untuk percaya bahwa masa depannya aman karena telah dititipkan kepada anak-anak yang menyalakan Depok.
Yang harus digarisbawahi adalah 313 itu bukan sekadar angka. Setiap tahunnya, jumlah itu akan terus bertambah seiring dengan kasih orang tua yang mendampingi, kesabaran guru yang membimbing, dan semoga, perhatian yang lebih besar dari pemerintah kota kepada masa depan mereka.
Karena sejatinya, kota yang hebat bukanlah yang membangun gedung-gedung tinggi,
melainkan yang memastikan setiap anak di dalamnya tumbuh dengan mimpi yang tak pernah padam. (***)
Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior
