Dr Rasminto: Pentingnya Pelestarian Budaya di Era Globalisasi Sebagai Jati Diri Bangsa

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Di tengah derasnya arus globalisasi yang menggempur nilai-nilai lokal, sebuah seruan penuh makna menggema dari Aula Kantor Walikota Jakarta Pusat.
Dr Rasminto, Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), menyampaikan pesan menyentuh tentang pentingnya melestarikan seni dan budaya sebagai jati diri bangsa.
Dialog publik bertajuk “Membangun Semangat Cinta Seni dan Budaya” yang diselenggarakan oleh Sub Badan Kesbangpol Kota Administrasi Jakarta Pusat pada Rabu (08/05/2025).
Baca juga: Catatan Cak AT: Karena 'Flourish', Kita Jadi Juara Dunia!
Dr. Rasminto menegaskan bahwa Indonesia harus menjadikan kekayaan seni dan budaya sebagai benteng terakhir identitas nasional.
“Indonesia berada di jalur silang dunia. Posisi ini menjadikan kita sangat terbuka terhadap pengaruh luar, tapi sekaligus memperkaya warisan budaya yang dimiliki. Ini kekuatan sekaligus tantangan,” ujarnya dengan nada penuh keprihatinan.
Ia menekankan bahwa seni dan budaya bukan sekadar bentuk estetika semata, tetapi merupakan cerminan nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi. Lebih dari itu, dalam keberagaman suku, agama, dan bahasa, budaya menjadi perekat yang menyatukan bangsa.
Baca juga: Aset Pemkot Depok, Polisi Buru Pelaku Pengembokan SDN Utan Jaya
Dr Rasminto mengingatkan publik bahwa berbagai bentuk seni tradisional seperti wayang, batik, dan lagu daerah bukan hanya bagian dari warisan leluhur, tetapi wajah asli dari identitas Indonesia. Bila tak dijaga, yang hilang bukan hanya seni, melainkan jati diri bangsa itu sendiri.
“Kalau tidak kita jaga, maka yang hilang bukan hanya kesenian, tapi jati diri kita sebagai bangsa,” tegasnya.
Namun, menjaga budaya di era digital tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tantangan baru terus bermunculan — mulai dari minimnya minat generasi muda hingga komersialisasi budaya tanpa pemahaman nilai dan makna.
Baca juga: Barak Kostrad Cilodong Rencananya akan Dijadikan Tempat Pendidikan Militer Anak Nakal di Depok
Untuk itu, Dr. Rasminto mendorong pentingnya internalisasi seni dan budaya sejak usia dini. Pendidikan formal dan nonformal perlu diperkuat, dan yang lebih penting, generasi muda harus dilibatkan secara aktif dalam proses pelestarian budaya.
“Kita perlu menjadikan budaya bukan sekadar pelajaran sejarah, tapi pengalaman hidup yang menginspirasi,” ungkap pakar geografi manusia tersebut.
Ia percaya, jika budaya dirawat dengan baik, Indonesia tak hanya mempertahankan jati dirinya, tetapi juga bisa memainkan peran besar dalam percaturan global melalui kekuatan soft power.
Baca juga: Catatan Cak AT: Saran GM: Fokus ke Gibran Saja
“Budaya bukan hanya milik masa lalu. Ia merupakan fondasi masa depan dan kekuatan diplomasi kita di dunia internasional,” tutupnya.
Apa yang disampaikan Dr. Rasminto bukan sekadar retorika. Ini adalah panggilan nurani bagi bangsa yang sedang mencari pegangan di tengah derasnya arus modernitas.
Saat generasi muda kian terpapar budaya luar, saatnya kita kembali menengok ke dalam — menggali, merawat, dan membanggakan budaya sendiri.
Pelestarian budaya bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau seniman. Ia adalah tugas kolektif — dari rumah, sekolah, hingga ruang publik. Karena hanya dengan mencintai budaya kita sendiri, kita bisa berdiri tegak sebagai bangsa yang merdeka, utuh, dan bermartabat. (***)
Reporter: Bambang Priambodo/RUZKA INDONESIA