Home > Kolom

Catatan Cak AT: Karena 'Flourish', Kita Jadi Juara Dunia!

Karakter prososial seperti gotong royong dan ikatan komunitas yang kuat menjadi faktor pembeda dibanding negara-negara maju.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Karena 'Flourish', Kita Jadi Juara Dunia!. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Karena 'Flourish', Kita Jadi Juara Dunia!. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kalau selama ini kita bangga dengan medali bulu tangkis atau juara lomba nasi tumpeng tingkat RT, sekarang saatnya kita menepuk dada dengan prestasi yang lebih halus tapi dalam: Indonesia termasuk negara dengan tingkat flourishing tertinggi di dunia.

Iya, kita! Bukan Norwegia, bukan Amerika, apalagi Swedia yang katanya negara makmur tempat surganya kesejahteraan.

Jepang malah paling buncit. Ada 22 negara dengan 200 ribu responden yang dilibatkan dalam Global Flourishing Survey yang diadakan Harvard’s Human Flourishing Program. Ini mewakili 64% populasi dunia.

Baca juga: Catatan Cak AT: Saran GM: Fokus ke Gibran Saja

Lho, kok bisa? Meski bukan negara kaya, Indonesia dinilai unggul berkat tingginya kualitas hubungan sosial, nilai-nilai kebersamaan, dan keterlibatan masyarakat.

Karakter prososial seperti gotong royong dan ikatan komunitas yang kuat menjadi faktor pembeda dibanding negara-negara maju.

Berbeda dengan ukuran kebahagiaan konvensional, konsep flourishing dalam studi itu didefinisikan sebagai keadaan di mana seluruh aspek kehidupan seseorang berjalan dengan baik.

Baca juga: Gubernur Jabar Dedi Mulyadi Tegaskan 3 Prinsip Utama dalam Pelaksanaan SPMB 2025, Jangan Ada Percaloan

Konsep itu mencakup tidak hanya kesehatan mental dan fisik, tetapi juga makna dan tujuan hidup, karakter dan kebajikan, hubungan sosial yang erat, serta stabilitas ekonomi dan material.

Jadi, flourish itu bukan nama produk ya, bukan juga varian baru mi instan. Ini istilah akademis yang dipakai untuk menggambarkan hidup yang tumbuh kembang, merekah, bersinar, utuh, bahagia, sehat, penuh makna, punya relasi sosial yang hangat, stabil secara finansial, dan bermoral baik.

Secara teori, ini hidup ideal yang dibayangkan motivator-motivator sukses. Tapi secara data, justru itu banyak ditemukan di negara-negara seperti Indonesia, Meksiko, dan Filipina. Negara-negara yang katanya miskin, tapi hidupnya "kayak orang kaya beneran" — dalam hal relasi, makna, dan kebajikan.

Baca juga: Catatan Cak AT: Akhirnya, Sekolah Gratis Sepenuhnya

Sementara negara-negara tajir semacam Amerika dan Swedia malah kedodoran di aspek-aspek non-materi. Maklum, di sana mungkin gaji besar, tapi ngobrol sama tetangga aja kudu bikin janji tiga hari sebelumnya.

Kalau kita jujur, banyak nilai budaya Indonesia yang, tanpa disadari, sangat mendukung kehidupan yang flourish. Misalnya, gotong royong. Bahkan pindah rumah aja bisa dikeroyok ramai-ramai. Rasa kebersamaan ini bikin relasi sosial kita kuat, rasa percaya tinggi, dan kesepian lebih jarang.

Juga, budaya ngumpul bareng keluarga. Bukan cuma pas Lebaran. Hampir tiap minggu ada arisan, tahlilan, atau syukuran. Coba catatan, berapa jenis hajatan yang pernah Anda ikuti di lingkungan Anda. Ini menjaga hubungan sosial dan memperkuat makna hidup.

Anda tahu, kita bangsa yang memiliki kepatuhan tinggi terhadap nilai-nilai moral. Banyak anggota masyarakat yang masih menjunjung tinggi adab, sopan santun, dan rasa hormat terhadap orang tua. Ini masuk ke dimensi “karakter dan kebajikan” yang bikin skor kita tinggi.

Baca juga: Menteri PKP dan Menkomdigi Simbolis Serahkan Kunci Rumah Bersubsidi untuk Wartawan, Ditambah 3.000 Unit

Begitu pula, tradisi spiritual keagamaan sangat menentukan dalam flourishing. Dari tadarusan, ziarah, pengajian, selametan, dibaan, sampai sedekah bumi —semuanya mengikat individu dengan makna hidup, keagamaan, spiritualitas, dan komunitas. Orang Indonesia bisa miskin harta, tapi kaya makna.

Data dari Global Flourishing Study menunjukkan bahwa orang yang rutin hadir dalam kegiatan keagamaan lebih tinggi skor flourish-nya. Di Indonesia? Wah, cocok banget! Shalat berjamaah, pengajian mingguan, misa, kebaktian, perayaan keagamaan lintas agama—semuanya memperkuat iman.

Bahkan, itu juga menciptakan rasa aman, kebersamaan, pengharapan, dan tujuan hidup. Psikolog menyebut kondisi in8 dengan “empat B”: belonging, bonding, behaving, believing. Di sinilah agama tak hanya berfungsi sebagai keyakinan spiritual, tapi juga struktur sosial yang menyelamatkan mental dan moral.

Baca juga: Teknik Limb Salvage Megaprosthesis, RSUI Sukses Lakukan Operasi Pengangkatan Tumor Tulang Tanpa Amputasi

Fakta bahwa Indonesia bisa bersaing di posisi atas dalam indeks ini seharusnya membuat kita tidak minder terhadap narasi “negara maju”. Ya memang kita belum punya kereta super cepat atau kampus top dunia. Tapi, kita punya tetangga yang bisa diajak ngopi tanpa appointment, keluarga yang peduli, dan kehidupan religius yang tak cuma formalitas, tapi jadi perekat sosial.

Flourishing tentu bukan berarti hidup tanpa masalah. Tapi hidup dengan makna, relasi, kesehatan, dan harapan. Dan Indonesia? Kita sudah punya itu semua —dalam bentuk yang sering kita anggap remeh: guyub, syukur, dan rasa cukup.

Prestasi ini bukan alasan untuk berhenti. Justru jadi momen reflektif: bagaimana mempertahankan budaya yang memperkuat flourishing, sambil tetap membenahi sisi yang belum kokoh —seperti kesehatan mental anak muda, pendidikan karakter, dan akses ke pekerjaan layak.

Baca juga: Catatan Cak AT: Cara Konstitusional Memakzulkan Gibran

Kalau mau Indonesia tetap juara dunia flourish, jangan cuma bangun jalan tol, tapi juga bangun jalan ke hati sesama. Jangan cuma reformasi birokrasi, tapi juga reformasi budaya syukur.

Karena di zaman di mana orang kaya bisa stres karena tak ada yang mau diajak makan bareng, kita justru bisa tertawa dengan nasi dan tempe, asal maknanya ada.

Maka mari kita hidup seperti pepatah lama: urip iku urup —hidup itu menyala, bukan hanya nyala listrik PLN, tapi nyala cinta, makna, dan kebajikan. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 9/5/2025

× Image