Catatan Cak AT: Akhirnya, Sekolah Gratis Sepenuhnya

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Pendidikan gratis di sekolah swasta akhirnya mau dimulai. Tepatnya: akan diuji coba. Di 40 sekolah. Dan ini pun baru di Jakarta.
Di kota dengan APBD Rp 80 Triliun sekelas negara bagian, yang dipilih empat puluh sekolah saja. Ya, ini seperti mengabarkan bahwa Jakarta akan menanam dua ribu pohon... dimulai dari satu pot di teras balai kota.
Pemda DKI Jakarta menyebut uji coba sekolah swasta gratis ini akan dimulai pada tahun ajaran 2025-2026. Hebatnya, mereka kumpulkan semua kepala sekolah dulu agar “menyamakan persepsi”. Agaknya, sekolah-sekolah ini butuh pelatihan dulu untuk memahami apa itu “gratis”. Mungkin karena terlalu lama hidup dalam dunia berbayar.
Tapi tunggu dulu, sepertinya ini bukan ide baru yang termasuk janji kampanye pasangan gubernur/wakilnya terpilih.
Dunia pesantren sudah melakukannya sejak zaman Bung Karno masih pakai peci. Coba tengok banyak pesantren, antara lain yang fenomenal: Pondok Pesantren Nurul Iman Asriyah di Parung, Bogor.
Dipimpin Ummi Wahidah, semua santrinya yang 20 ribu gratis bersekolah, makan, minum, bahkan kadang gratis jodoh. Iya, betul, jodoh!
Kalau DKI bisa kasih itu juga, kami boleh kirim karangan bunga ke Balai Kota. Tentu, banyak lagi pesantren serupa yang sejak ratusan tahun sudah memberi pendidikan gratis di seluruh Nusantara.
Dan, pesantren ini tak mengemis pada APBD, tak menunggu anggaran cair dari Bappeda, apalagi menunggu “perpres” turun dari langit. Mereka hidup dari zakat, hasil wakaf dan usaha produktif. Sementara Jakarta? Butuh 100 hari kerja dan rapat harian untuk berani bilang: “ayo kita coba gratisin sekolah swasta dulu, ya... tapi sedikit aja dulu, jangan kaget.”
Lembaga seperti Dompet Dhuafa, Bazis DKI yang kini jadi Baznas, sudah puluhan tahun memberi beasiswa ke sekolah-sekolah swasta dan madrasah. Mereka gak perlu jumpa pers. Gak perlu spanduk segede bis transjakarta bertuliskan “Jakarta Cerdas”. Mereka bekerja senyap, dan murid belajar tanpa takut ditagih SPP kayak cicilan motor.
Tentu saja, kita harus tetap mengapresiasi langkah Pemda DKI ini. Karena memang lebih baik telat daripada tidak. Tapi kalau telatnya sampai segininya, ya harap maklum kalau rakyat khawatir. Yang kami takutkan: ini cuma proyek “pilot”, yang ujung-ujungnya seperti proyek percontohan lainnya—dipamerkan di awal, dilupakan usai ganti pejabat.
Nah, supaya tak dianggap sekadar nyinyir, mari kita intip skema resminya. Dinas Pendidikan bersama DPRD DKI sedang menyiapkan program ini dengan anggaran seharga gedung DPR baru, sekitar Rp2,3 triliun. Uangnya? Bukan tiba-tiba turun dari langit, tapi diambil dari dana KJP (Kartu Jakarta Pintar) yang konon akan dihentikan pencairannya mulai Juli 2025.
Maka terjawab sudah, kenapa baru sekarang. Karena rupanya skema gratis ini lahir dari pengalihan anggaran program lama yang katanya banyak masalah, terutama karena tak tepat sasaran. Artinya: dulu salah bidik, sekarang kita coba bidik ulang. Semoga kali ini gak kena kepala orang.
Ada sekitar 2.090 sekolah swasta yang rencananya akan diajak bergabung. Tapi ingat, dari total 2.844 sekolah swasta di Jakarta, tak semua kebagian. Hanya sekolah-sekolah yang sudah menerima BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan punya “grade” C dan D. Jadi, kalau anak Anda sekolah di tempat ber-AC, ada lift, dan guru-gurunya alumni luar negeri—jangan berharap ikut program ini. Ini bukan sekolah gratis untuk kaum sultan.
Baca juga: Orang Tua di Depok Diedukasi akan Pentingnya Imunisasi Bagi Anak
Seorang anggota DPRD Jakarta bahkan sudah menegaskan: “Sekolah gratis yang dimaksud adalah sekolah gratis untuk swasta dengan grade C dan D, bukan sekolah gratis yang mewah atau _high class._” Nah, ini baru jujur. Di zaman sekarang, kejujuran seperti ini layak diawetkan dan dipajang di museum, biar anak cucu kita tahu: pernah ada pejabat bicara apa adanya.
Program ini pun diklaim untuk mendukung wajib belajar 12 tahun. Idenya mulia, niatnya luhur. Tapi eksekusinya? Nah, itu yang harus kita kawal. Karena rakyat sudah kenyang dengan program “niat baik, tapi pelaksanaan ambyar”.
Maka kami rakyat ingin bertanya: Kenapa baru sekarang sih? Bukankah anggaran cukup? Ataukah karena baru tahu bahwa di balik kata “gratis” ada doa rakyat miskin? Atau karena baru sadar bahwa angka putus sekolah naik tapi anggaran pendidikan malah diserap untuk pembangunan taman Instagram?
Baca juga: Sidik: Tarif Timbal Balik ala Trump Jurus Pedang Bermata Dua, Kemasan Strategi Dagang
Mari kita doakan semoga ini bukan sekadar program kosmetik memenuhi janji-janji pemilu yang mudah sekali dilupakan atau sekedar jadi pencitraan. Semoga gratis ini benar-benar niat, bukan cuma iklan.
Dan kalau bisa, tambahkan juga makan siang. Dan minum. Kalau perlu jodoh juga. Biar setara dengan pesantren. Biar fair. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 7/5/2025