Guru Besar FKUI: Peran Farmakovigilans dalam Keamanan Obat

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Obat merupakan senjata utama dalam melawan berbagai penyakit. Namun, seperti pisau bermata dua, obat tidak hanya memberi manfaat, tetapi juga membawa risiko efek samping yang merugikan.
Menurut Prof. dr. Nafrialdi, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), tidak ada obat yang secara mutlak aman untuk semua orang, untuk segala waktu, dan untuk semua keadaan.
“Dalam penggunaan obat, efek samping merupakan hal yang melekat (inheren) dengan obat. Tugas kita adalah memaksimalkan efek baik obat dan meminimalkan risiko efek sampingnya,” kata Prof. Nafrialdi dalam acara pengukuhan guru besarnya yang berlangsung di Aula IMERI FKUI, Sabtu (16/08/2025).
Dalam pidato pengukuhan berjudul “Peranan Farmakovigilans dalam Pengawalan Keamanan Obat untuk Mewujudkan Pelayanan Kesehatan yang Aman dan Efektif bagi Individu dan Masyarakat Indonesia: Menyongsong Era Kedokteran Presisi”, Prof. Nafrialdi menjelaskan farmakovigilans sebagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan deteksi, penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek samping obat (ESO) atau masalah terkait obat lainnya.
Farmakovigilans bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan keselamatan masyarakat terkait penggunaan obat, serta mendorong penggunaan obat yang rasional, efektif, dan aman.
Farmakovigilans dirasa penting karena meski obat sudah diteliti dengan cermat dan lolos uji klinik sebelumnya, hal itu tidak menjamin obat tersebut aman sepenuhnya.
Beberapa efek samping yang frekuensinya jarang umumnya tidak terdeteksi saat uji klinik, karena jumlah pasien yang diikutkan dalam uji klinik terbatas.
Prof. Nafrialdi mengatakan bahwa kegiatan farmakovigilans adalah mengumpulkan laporan efek samping obat dan menganalisis keterkaitan obat dengan efek samping yang terjadi. Analisis kausalitas ini menjadi dasar pengambilan keputusan terhadap obat yang beredar.
"Bila suatu obat menimbulkan efek samping yang membahayakan, tim farmakovigilans akan merekomendasikan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk menarik obat tersebut dari peredaran, atau mengubah indikasi penggunaannya,” jelasnya.
Di tingkat nasional, Tim Nasional Farmakovigilans berperan penting dalam pengkajian laporan efek samping obat di Indonesia, meliputi obat secara umum dan obat khusus dalam program Nasional Tuberkulosis. Jumlah pelaporan efek samping obat di Indonesia masih tergolong amat rendah dibanding negara lain.
Di antara negara-negara Asia Tenggara, urutan pelaporan ESO adalah Thailand, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia berada pada posisi kelima.
Berkaitan dengan upaya untuk mengakhiri epidemi tuberkulosis (TB) pada 2030, Tim Nasional Tuberkulosis bekerja keras mendeteksi kasus TB di masyarakat. Mengingat pengobatan TB memerlukan kombinasi beberapa obat dan diberikan dalam jangka panjang, risiko efek samping obat harus diantisipasi dan ditatalaksana dengan baik.
Oleh karena itu, Tim Farmakovigilans harus mengumpulkan dan menganalisis kejadian efek samping obat, sehingga pengobatan TB dapat berhasil dengan baik, dan efek samping dapat dikurangi.
“Aktivitas farmakovigilans yang kuat harus dilaksanakan bersama-sama melibatkan masyarakat, perawat, dokter, farmasis, industri farmasi, dan pemerintah. Pelatihan yang berkesinambungan perlu diberikan
kepada tenaga kesehatan, terutama tim farmakovigilans, agar dapat membuat laporan yang baik dan lengkap. Semua usaha ini akan bermuara pada terwujudnya pelayanan kesehatan yang efektif dan aman untuk masyarakat,” ujar Prof. Nafrialdi.
Penelitian Prof. Nafrialdi di bidang farmakovigilans menunjukkan kepakarannya di bidang tersebut.
Beberapa penelitian lain yang pernah dilakukan sebelumnya, antara lain Role of Colchicine in Reducing Reperfusion Injury in STEMI Patients Who Undergo Primary Percutaneous Coronary Intervention: A Randomized Clinical Trial (2025); Polypharmacy and the Risk of Adverse Drug Reactions in the Elderly at a Tertiary Referral Hospital in Indonesia: Assessing the Applicability of the GerontoNet Score (2025); dan Role of Colchicine to Reduce NLRP3 Marker in STEMI Patients Undergo Primary PCI: A Randomised Controlled Clinical Trial (2024).
Sebelum dikukuhkan sebagai guru besar, Prof. Nafrialdi menamatkan pendidikan S1 Pendidikan Dokter FKUI pada 1986; S2 Pharmacologie Cardiovasculaire, Université Claude Bernard Lyon I, Perancis tahun 1992; S3 Pharmacologie Cardiovasculaire, Université Montpellier I, Perancis tahun 1993; dan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FKUI pada 2005.
Selain sebagai Staf Pengajar Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, saat ini ia menjabat sebagai Ketua Komite Nasional Farmakovigilans Tuberkulosis Resisten Obat BPOM RI.
Acara pengukuhan guru besar Prof. Nafrialdi turut dihadiri oleh Guru Besar Farmakologi dan Terapi
Fakultas Kedokteran-Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. Dra. Erna Kristin, Apt, M.Si. dan Presiden Komisaris PT Bundamedik Tbk., Dr. dr. Ivan R. Sini, SpOG, FRANZCOG, GDRM, MMIS. (***)