Karut Marut Iklim di Tengah Fragmentasi: Koordinasi Kusut dan Janji NDC yang Kian Jauh Menuju COP 30 Brazil

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Sembilan tahun berlalu sejak pemerintah Indonesia mengeluarkan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC), namun bencana ekologis masih berulang terjadi di seluruh Indonesia.
Mengikuti pertemuan multilateral Conference of the Parties (COP) setiap tahun pun pemerintah kita justru semakin tidak tahu kemana arah komitmen tersebut akan dibawa.
COP 30 di Brazil yang menjadi ajang diplomasi berbagai negara pada isu lingkungan, menjadikan pengelolaan hutan, laut, dan biodiversitas menjadi salah satu pilar strategis untuk dibahas.
Pertemuan ini pun akan mempertegas aksi iklim global dari setiap negara yang menjadi delegasi.
Baca juga: Depok Dukung Akad Massal KUR Nasional, Dorong Pertumbuhan Ekonomi Lewat Pemerataan
Sayangnya, realisasi janji pemerintah Indonesia untuk membuat emisi karbon menjadi nol dari sektor kehutanan (FOLU Net Sink), masih terlihat sangat jauh. Sektor yang diharap mampu menyerap lebih banyak emisi karbon ini, justru lebih banyak melepaskannya.
Analisis perbandingan data tahunan mengenai angka dan sebaran karhutla menunjukkan pola yang relatif konsisten.
Madani Berkelanjutan dan Pantau Gambut mengidentifikasi sejumlah daerah terus menjadi episentrum karhutla dengan tingkat insiden yang tinggi.
Dari total lebih dari 300 ribu hektare AIT, Kalimantan Barat teridentifikasi sebagai provinsi dengan Area Indikatif Terbakar (AIT) terluas sepanjang periode Januari hingga September 2025, mencapai luasan 123.076 hektare.
Baca juga: PLN Icon Plus Dorong Generasi Muda Berkarakter Lewat Sosialisasi Perdamaian untuk Prestasi"
Bahkan, 78.267 hektare di antaranya terjadi di area yang masuk dalam rencana operasional subnasional FOLU Net Sink.
Ekosistem gambut juga tidak luput dari permasalahan yang sama. Pantau Gambut menghitung jumlah area bekas terbakar (Burned Area) di lahan gambut pada bulan Juli dan Agustus yang mencapai 26.761 hektare, dengan Riau dan Kalimantan Barat menjadi dua provinsi dengan ekosistem gambut terbakar paling luas.
Parahnya, 56% karhutla di periode yang sama terjadi pada area berizin HGU Sawit dan PBPH.
Putra Saptian, Juru Kampanye Pantau Gambut menyebutkan, “Fragmentasi kelembagaan menjadi sumber masalah yang masih berlarut. Padahal, sebuah ekosistem seperti gambut merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipilah secara administratif maupun sektoral.”
Baca juga: Geger! Macan Kumbang Masuk Permukiman Warga di Sumedang, Ternak Warga Dimangsa
Pemisahan Kementerian Lingkungan Hidup (LH) dan Kementerian Kehutanan menjadikan kompleksitas koordinasi, birokrasi, dan tata kelola menjadi semakin kompleks.
Selain itu, tidak diperpanjangnya Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) juga membuat upaya restorasi gambut menjadi semakin lemah.
Madani Berkelanjutan mencatat, pasca Perpres No. 120 Tahun 2020, BRGM kehilangan kewenangan untuk melakukan monitoring dan supervisi di area konsesi dan wilayah yang justru berisiko tinggi terhadap kebakaran.
Tanpa kewenangan tersebut, BRGM tidak dapat memastikan pemeliharaan infrastruktur restorasi di kawasan konsesi secara efektif.
Baca juga: BPS Depok: Tujuh Persen Warga Alami Sakit, Perempuan Lebih Dominan
Deputi Direktur Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto menjelaskan, pembubaran BRGM menguatkan pola berulang dalam tata kelola lingkungan hidup di Indonesia, yaitu membentuk lembaga saat krisis dan diikuti pembubaran ketika tekanan mereda.
"Pola ini mencerminkan pendekatan ad-hoc yang mengandalkan logika kedaruratan ketimbang desain kelembagaan jangka panjang. Dalam konteks ini, BRGM bukan hanya gagal dilembagakan, tetapi sejak awal memang tidak didesain untuk bertahan," jelasnya.
Untuk mencapai target iklim, terutama dari sektor FOLU, maka kerja-kerja pemerintah tidak boleh sektoral. Semua harus bersinergi untuk memiliki visi yang sama, menekan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, apalagi di lahan gambut.
"Jika pembukaan lahan skala besar masih terus dilakukan dan penanganan karhutla masih belum optimal, maka upaya mencapai target penurunan 31,89% emisi karbon tanpa syarat dan 43,20% dengan syarat, akan semakin berat bagi Indonesia. Ajang COP 30 Brazil pun bisa hanya menjadi pepesan kosong belaka,” pungkas Sadam Afian Richwanudin, peneliti MADANI Berkelanjutan.
Baca juga: Hadapi Krisis Global, UPER melalui ICONIC-RS 2025 Soroti Kolaborasi untuk Ketahanan Global
Kenapa Gambut Penting
Indonesia memiliki luasan gambut tropis terbesar di dunia dengan luas mencapai 13,43 juta hektare yang tersebar di tiga pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 57 gigaton karbon atau 20 kali lipat karbon tanah mineral biasa.
Cadangan karbon yang tersimpan di dalam tanah gambut akan terlepas ke udara jika lahan gambut dikeringkan atau dialihfungsikan. Padahal, gambut menyimpan sekitar 30% karbon dunia.
Gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer akan menahan panas dari matahari sehingga meningkatkan suhu bumi.
Proses yang dikenal sebagai efek rumah kaca ini dapat mempercepat laju perubahan iklim. Oleh sebab itu, melindungi dan mencegah kerusakan lahan gambut menjadi sangat penting dalam upaya pencegahan perubahan iklim.
Untuk mengetahui informasi tentang gambut lainnya, Anda bisa mengakses tautan pantaugambut.id/pelajari.
Tentang Pantau Gambut
Pantau Gambut adalah organisasi non pemerintah yang berjejaring di sembilan provinsi, yang berfokus pada riset serta advokasi dan kampanye untuk perlindungan dan keberlanjutan lahan gambut di Indonesia.
Kami juga menyoroti komitmen restorasi gambut oleh pemerintah, organisasi independen, serta pelaku usaha. Pantau Gambut berupaya menyambung pandang mata publik untuk ikut mengamati masalah lingkungan terkait lahan basah ini melalui kanal-kanal komunikasi dan kampanye.
Tentang Madani Berkelanjutan
Manusia dan Alam untuk Indonesia Berkelanjutan (Madani Berkelanjutan) adalah lembaga nirlaba yang bergerak menanggulangi krisis iklim melalui riset dan advokasi.
Madani Berkelanjutanmerumuskan dan mempromosikan solusi-solusi inovatif bagi krisis iklim dengan cara menjembatani kolaborasi antara berbagai pihak. (***)