Home > Kolom

Catatan Cak AT: Sabu, Ganja dan Barcelona

Lagi-lagi dia duduk di kursi pesakitan, karena ini kali keempat ia tertangkap ngisap, seolah ia tak kenal tobat.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Sabu, Ganja dan Barcelona. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Sabu, Ganja dan Barcelona. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Fariz RM (Rustam Manaf), musisi legendaris yang konon pernah menghipnotis hati jutaan rakyat Indonesia dengan lagu “Barcelona”, kini kembali membuat publik terpana. Bukan karena album baru atau konser reuni yang meledak penjualan tiketnya, tapi kena narkoba lagi.

Untuk keempat kalinya, Fariz berhasil menjadi pelanggan tetap rubrik kriminal selebritas. Ya, kalau dulu ia berjaya di tangga lagu, sekarang dia eksis di tangga dakwaan.

Lagi-lagi dia duduk di kursi pesakitan, karena ini kali keempat ia tertangkap ngisap, seolah ia tak kenal tobat.

Baca juga: Intip Gaya Liburan Alyssa Daguise, Glamor dan Effortless

Kisahnya dimulai dari sebuah WhatsApp sederhana: “Tolong siapkan ijo dan putih.” Bukan pesanan kain atau kertas, dan bukan pula jus alpukat dan susu, tapi ganja dan sabu. Kode ala milenial ini membuktikan, meskipun sudah 66 tahun, Fariz tetap adaptif dengan zaman digital.

Cara main narkobanya cukup sederhana saja. Tak perlu deep web.atau jaringan kartel, cukup gunakan dana yang ada, seperti dana kerja, dan bantuan resepsionis hotel. Efisien, hemat biaya logistik, dan tentunya sangat down to earth.

Menurut kesaksian sang asisten merangkap kurir, Andres, pembelian dilakukan dengan sistem cashless, lengkap dengan transfer via rekening resmi. Paket dikirim pakai sistem “titip obat buat Pak Fariz” di meja resepsionis hotel, tempat nginap sang maestro.

Baca juga: FISIP UI Open 2025, PB Jaya Raya Jakarta Juara Umum

Lalu, apa motif di balik semua konsumsi narkoba yang tak habis-habisnya ini? “Relaksasi,” kata Fariz. Bukan untuk stamina manggung atau cari inspirasi musikal. Kalau musisi lain butuh spa, pijat dan yoga untuk relaksasi, Fariz cukup sabu di hari Sabtu.

Konon katanya, hanya untuk “lepas penat”. Namun jika ini benar, pertanyaannya: kenapa harus empat kali ketahuan? Apakah penat hidupnya sekuat itu? Atau mungkin memang tiap kali mencoba lepas dari dunia hiburan, yang lepas justru kontrol diri?

Sebagai penikmat seni, kita tentu ingin memaklumi. Tapi sebagai warga negara yang membaca berita setiap pagi, kita juga ingin sedikit keadilan dan kejujuran. Alasan relaksasi dengan nyabu tampak seolah menyepelekan dampak dari narasi eskapis ini.

Baca juga: Bagi Pemelihara Kucing, Yuk Ikut Sterilisasi Kucing Gratis di Depok, Ini Jadwalnya!

Dalam wawancara eksklusif di ruang sidang, Fariz lalu menyatakan ingin pensiun saja dari dunia musik. “Saya ingin hidup lebih bahagia dengan keluarga,” katanya, setelah empat dekade menyumbang nada dan empat kasus menyumbang berita.

Apakah selama ini dia tidak bahagia? Kita bisa bayangkan, jika benar-benar pensiun, mungkin ia akan tinggal di desa, berkebun, main gitar sambil menyesap kopi —bukan sabu. Tapi sebelum romansa itu terjadi, ada hal lain yang perlu kita bicarakan: hukuman.

Apa hukuman yang pantas untuk orang yang sudah empat kali melakukan kesalahan yang sama? Kalau ini sinetron, mungkin dia akan mengalami tabrakan mobil lalu insaf total. Tapi ini dunia nyata, dan sayangnya, hukum tidak bisa hanya berdasarkan plot twist.

Baca juga: Catatan Cak AT: AI Pemeta Dimensia

Fariz RM dijerat pasal berat: pasal 114 dan 112 UU Narkotika, tak jauh beda dari tiga kasus yang dialaminya sebelum ini. Tapi, sebagian publik, terutama dari kalangan aktivis, mulai mempertanyakan: mengapa seorang "pecandu" masih dihukum pidana?

Menurut UU Narkotika, sebenarnya pecandu memang harusnya direhabilitasi, bukan dipenjara. Tapi masalahnya, Fariz tidak hanya sebagai pengguna. Ia didakwa terlibat dalam jual beli. Faktanya, ia memesan barang haram itu, dan setelah itu mengkonsumsinya.

Jadi pertanyaannya bukan apakah ia kecanduan, tetapi apakah ia juga aktif sebagai pemesan. Bahkan, persoalannya, jangan-jangan ia sekaligus juga bertindak sebagai distributor kecil-kecilan? Kalau jawabannya ya, tentu ceritanya jadi lain.

Baca juga: Viral Ngaku Ring Istana dan Tunjukin Pistol di Sengketa Lahan di Proyek Pembangunan MTs Negeri di Depok

Namun, terlepas dari status hukumnya yang jadi urusan hakim, satu hal yang pasti: Indonesia sedang kelelahan dengan siklus narkoba para selebritas. Kita sudah terlalu sering melihat bintang jatuh bukan karena usia, tapi karena “ijo dan putih.”

Ini bukan cuma urusan personal, tapi sosial. Dunia hiburan seakan memiliki semacam bonus toxic di balik gemerlap lampu panggung: tekanan, stres, dan ekspektasi absurd dari publik yang mengharapkan mereka selalu sempurna.

Tak cuma Fariz. Media massa mencatat puluhan selebriti — termasuk Nia Ramadhani, Reza Artamevia, Tio Pakusadewo, dan Roy Marten — tertangkap sepanjang dekade terakhir karena sabu, ganja, atau psikotropika lainnya.

Baca juga: Catatan Cak AT: Berdaya Diri Gaya Putri Ariani

Kisah Fariz juga gambaran bahwa apa yang ia alami hanyalah setitik dari samudera besar problem narkoba di Indonesia. Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), nilai transaksi gelap narkoba di Indonesia diperkirakan Rp 524 triliun per tahun, sungguh besar.

Nilai tadi setara tujuh kali lipat anggaran program makanan bergizi sekolah. Sementara itu, jumlah pengguna aktif narkoba diperkirakan sekitar 4,8 juta jiwa (prevalensi 1,73 % dari penduduk 15–65 tahun) pada 2023, dengan angka penyalahgunaan hampir dua persen.

Penelitian oleh Samara dkk. (2024) mengidentifikasi beberapa pemicu penggunaan narkoba oleh artis, seperti tekanan hidup glamor, stres dalam industri hiburan, dan efek imitasi dari lingkungan sosial. Studi ini menekankan perlunya langkah edukatif dan kolaborasi untuk menciptakan industri seni yang lebih sehat tanpa narkoba.

Baca juga: Lewat UMK Academy 2025, Namira Ecoprint Jelajahi Pasar Internasional

Fariz mungkin benar dengan pengakuannya: saya manusia biasa. Tapi manusia biasa yang punya pengaruh luar biasa. Maka jika ia benar-benar ingin insaf dan pensiun, mungkin sumbangsih terakhirnya untuk bangsa ini adalah kampanye anti-narkoba yang jujur.

Ia bisa tampil dengan kesaksian yang menyentuh. Dengan begitu, ia tak hanya dikenal sebagai musisi yang menciptakan “Sakura” dan “Barcelona”, tapi juga sebagai orang yang, meski sempat tersesat empat kali, akhirnya benar-benar menemukan arah pulang.

Harapan kita, kalau nanti Fariz bikin lagu baru berjudul “Sabu di Hari Sabtu”, semoga itu bukan dokumenter musikal, tapi kisah pertobatan. Karena, jujur saja, penonton sudah cukup kenyang —bukan oleh konsernya, tapi oleh berita penangkapannya. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 30/6/2025

× Image