Home > Kolom

Catatan Cak AT: Peran Baru Jurnalis, Melatih AI Menulis Berita

Anda tahu, jurnalis dulu disebut watchdog demokrasi. Mereka mengawasi kekuasaan, mengungkap skandal, dan membunyikan alarm saat ada yang tidak beres.
Foto ilustrasi Peran Baru Jurnalis, Melatih AI Menulis Berita. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Peran Baru Jurnalis, Melatih AI Menulis Berita. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Industri media yang dulu gemerlap kini mirip kapal Titanic yang telah menabrak gunung es —tinggal menunggu waktu sebelum benar-benar tenggelam.

Tercatat sekitar 1.200 wartawan telah dirumahkan alias dipulangkan untuk bekerja di rumah masing-masing. Kompas, Republika, Jawa Pos, dan banyak lainnya melakukan hal serupa.

Tapi tunggu dulu! Jangan bersedih. Ini bukan akhir, justru permulaan —perjalanan baru menuju dunia kerja yang lebih absurd.

Baca juga: Kini Lahir Angkatan Displaced Journalists, Ketika Pena Tak Lagi Membuka Pintu Rezeki

Memang, perusahaan-perusahaan media megap-megap, namun industri AI yang tengah berkembang pesat bak perusahaan lifeboat, kini sibuk merekrut para jurnalis untuk melatih mesin kecerdasan buatan.

Dulu, seorang jurnalis berlari mengejar narasumber, menelusuri dokumen, menggali fakta, lalu menyajikannya dalam artikel yang tajam dan penuh integritas.

Kini, di era AI, ia cukup duduk manis, membaca teks yang dihasilkan mesin, lalu menilainya dengan dua pilihan sederhana: “Bagus” atau “Sampah.

Baca juga: Catatan Cak AT: Baterai Nuklir Lipat, Energi Menjanjikan Masa Depan

Beginilah nasib banyak jurnalis hari ini —setidaknya di Barat sana. Mungkin ini belum terjadi di negeri kita, karena belum banyak perusahaan berbasis AI.

Namun, pada waktunya hal ini akan tiba, ketika seperti di Barat, semakin banyak pekerjaan dan tugas harian bergantung pada kecerdasan buatan.

Anda tahu, jurnalis dulu disebut “watchdog” demokrasi. Mereka mengawasi kekuasaan, mengungkap skandal, dan membunyikan alarm saat ada yang tidak beres.

Baca juga: World Press Freedom Day Diperingati Setiap 3 Mei, Tema Tahun ini Dampak AI Terhadap Pers dan Media

Kini, mereka beralih peran menjadi semacam dog walker bagi AI—melatih chatbot agar tidak “buang air sembarangan,” alias tidak mengeluarkan jawaban ngawur.

Perusahaan seperti Outlier, Scale AI, dan Appen kini mempekerjakan jurnalis sebagai AI trainer—pelatih yang bertugas menilai dan memperbaiki kualitas konten buatan mesin.

Mereka harus memastikan jawaban chatbot tak lebih ngawur dari politisi kampanye, atau setidaknya lebih masuk akal dari thread konspirasi di Twitter.

Baca juga: Pacu Transformasi Cerdas di Indonesia, Huawei Dorong Adopsi AI melalui Solusi Cloud Full-Stack

Dengan bayaran rata-rata 35 dolar AS per jam di Barat, pekerjaan baru ini terdengar menggiurkan. Bandingkan dengan menulis artikel investigasi berminggu-minggu, yang kadang hanya dibayar setara ongkos parkir di mal Jakarta.

Tugas mereka kini sangat simpel: memeriksa jawaban AI, benar atau tidak? Tak ada risiko diancam preman, ormas, atau dituntut miliaran oleh pejabat yang merasa kehormatan dan namanya tercemar.

Di satu sisi, ini peluang besar. Jurnalis punya keahlian menulis, meneliti, dan memverifikasi informasi —kemampuan yang sangat penting untuk mengurangi “halusinasi” AI.

Baca juga: Catatan Cak AT: Babak Baru Ijazah Jadi Senjata Pencitraan

Jika AI ibarat mahasiswa tingkat akhir yang sering ngawur saat menulis skripsi, maka jurnalis adalah dosennya yang memberi revisi.

Namun di sisi lain, ada ironi yang sulit diabaikan: jurnalis yang dulu melaporkan dampak disrupsi AI, kini justru bekerja untuk melatih AI yang bisa menggantikan mereka.

Apakah ini strategi bertahan hidup, atau hanya jeda sebelum mereka benar-benar disingkirkan oleh mesin yang lebih murah dan tak kenal lelah?

Baca juga: Catatan Cak AT: Bersumpah "Demi Allah", Prabowo Bela Kaum Buruh

Ke depan, profesi ini bisa berkembang lebih jauh. Jurnalis bisa menjadi “kurator moral” bagi AI, memastikan mesin tidak belajar dari sumber-sumber sampah.

Bukan tak mungkin suatu hari nanti muncul gelar baru: “Doktor AI Linguistik”, atau bahkan “Ulama AI” —yang bertugas memastikan chatbot tidak sesat saat menjawab pertanyaan agama.

Namun ini juga bisa menjadi awal dari kepunahan profesi jurnalis manusia. Begitu AI cukup cerdas, siapa lagi yang dibutuhkan untuk menilai jawabannya? Siapa yang bisa menjamin bahwa pada akhirnya, AI tak akan lebih cepat dan lebih murah dari jurnalis itu sendiri? Sungguh, ini dilema.

Seperti halnya revolusi industri menggantikan buruh dengan mesin, revolusi AI menggantikan pencari fakta dengan algoritma.

Baca juga: DPRD Depok Usulkan Pembentukan 3 BUMD Baru, Ini Respon Supian Suri

Jurnalis kini berada di persimpangan jalan: menerima peran baru ini dengan tangan terbuka, atau tetap berjuang mempertahankan media tradisional yang semakin sekarat.

Mungkin pada akhirnya, kita harus menerima kenyataan: jurnalis tidak benar-benar digantikan oleh AI. Mereka hanya mengalami evolusi —dari manusia yang menulis berita, menjadi manusia yang mengajari mesin menulis berita.

Dan siapa tahu? Jika AI suatu hari menjadi cukup cerdas, mungkin malah mereka yang akan menulis berita tentang kita:

“Jurnalis Terakhir Telah Pergi. AI Kini Sepenuhnya Berkuasa.” (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 5/5/2025

× Image