Kini Lahir Angkatan Displaced Journalists, Ketika Pena Tak Lagi Membuka Pintu Rezeki

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Suatu pagi di Jakarta, seorang jurnalis senior duduk di halte dengan map cokelat berisi surat PHK.
Ia baru saja keluar dari kantor berita tempatnya bekerja selama dua dekade. Di dalam map itu, ada nama besar medianya. Ada sisa gaji. Tapi yang lebih berat adalah lembar tak tertulis: kehilangan makna.
Ia bukan satu-satunya.
Apa arti PHK massal terhadap lebih dari 1.200 wartawan setahun ini—di media online, cetak, dan televisi? Dari Kompas hingga MNC Grup, dari Republika hingga Liputan 6, dari Jawa Pos hingga Tribun Grup, semua dalam satu koor yang sama: merumahkan wartawannya.
Baca: World Press Freedom Day Diperingati Setiap 3 Mei, Tema Tahun ini Dampak AI Terhadap Pers dan Media
Pada musim dingin 2023, sebuah kafe kecil di Brooklyn menjadi tempat pertemuan sunyi. Tiga jurnalis duduk berdekatan, namun tak satu pun sibuk mengetik berita. Dulu, mereka bekerja di media raksasa. Kini, ketiganya telah kehilangan pekerjaan.
Mereka menyebut diri mereka sendiri: Displaced Journalists.
Itu bukan sekadar label. Itu adalah nama dari sebuah zaman baru. Zaman ketika pena kehilangan daya tawar. Ketika keahlian menyusun fakta dan narasi tak lagi menjamin penghasilan. Ketika algoritma menggantikan ruang redaksi.
Apa Itu Angkatan Displaced Journalists?
Displaced Journalists adalah generasi jurnalis yang kehilangan peran profesionalnya akibat gelombang perubahan struktural dalam industri media.
Baca juga: Tak Direstui Presiden, Jamiluddin Ritonga: Menganulir Jabatan Kunto Arief Sangat Politis
Mereka bukan jurnalis gagal. Mereka bukan tidak berbakat. Mereka justru generasi terbaik yang terlempar dari sistem karena profesinya tidak lagi “terbeli”.
Mereka menguasai reportase, kode etik, verifikasi. Tapi kini pasar kerja tak lagi menyerapnya. Mesin lebih cepat, lebih murah. Platform lebih kuat, lebih memonopoli.
Angkatan ini bukan satu-dua orang. Ini angkatan global. Dari New York ke Jakarta. Dari Delhi ke Buenos Aires. Ribuan, bahkan ratusan ribu. Dan jumlahnya terus bertambah.
Baca juga: PWI Pusat Apresiasi Gubernur Pramono Anung yang Dukung Liga Jakarta U-17
Di Mana dan Kapan Mereka Lahir?
Angkatan ini lahir secara simbolik pada dekade 2020-an. Tapi kehamilannya telah lama berlangsung.
• Pada 2018, BuzzFeed mulai mem-PHK massal jurnalis.
• Pada 2020, pandemi mempercepat migrasi ke dunia digital.
• Pada 2022–2023, AI generatif seperti ChatGPT dan Bard mulai menulis artikel, ringkasan, dan bahkan analisis opini.
• Di Indonesia, sejak 2021, banyak media daring mengecilkan newsroom dan hanya mempertahankan content creator visual.
Tak ada satu tempat yang melahirkannya. Ia lahir serentak di mana-mana. Di ruang-ruang redaksi yang senyap. Di surat keputusan PHK yang dingin. Di notifikasi Slack yang berkata: “We’re letting you go.”
Mengapa Mereka Terlahir? Karena dunia berubah.
1. Teknologi telah menciptakan ghostwriters yang tak bergaji. Mesin kini bisa menulis laporan pasar, berita politik, hingga ringkasan debat.
2. Model bisnis media ambruk. Iklan pergi ke Meta dan Google. Pembaca malas membayar paywall.
3. Perubahan selera publik. Yang viral lebih penting dari yang benar. Yang cepat lebih penting dari yang cermat.
4. Institusi tak lagi sakral. Dulu, redaksi adalah pelindung. Kini, jurnalis bertarung sendirian di tengah badai algoritma.
Jurnalis bukan tak dibutuhkan. Tapi jurnalisme sebagai institusi formal kini tergantikan oleh jurnalisme sebagai fungsi informal.
Baca juga: Catatan Akhir Tahun Dewan Pers 2024, Tantangan Berat Pers Dimasa Mendatang
Bagaimana Mereka Bertahan?
Sebagian menyerah. Berpindah profesi. Menjadi penulis iklan, content creator, guru, atau bahkan penganggur. Tapi sebagian lainnya—mereka yang keras kepala dan setia pada makna kata—bertransformasi.
1. Membuka kanal sendiri: Substack, newsletter, podcast, atau YouTube—mereka membangun kredibilitas personal.
2. Menggunakan AI, bukan melawannya: AI menjadi mitra kerja, bukan musuh. Membantu riset, mengatur data, membuat naskah awal.
3. Mengubah sudut pandang: Dari jurnalis institusional menjadi narator independen. Dari pengejar berita ke perenung makna.
Mereka sadar: redaksi mungkin mati. Tapi kebenaran, cerita, dan nurani tak bisa dibunuh.
Baca juga: Dewan Pers Desak Satgas Ungkap 164 Oknum Wartawan yang Terlibat Judi Online
Apa Makna Angkatan Ini bagi Dunia?
Angkatan Displaced Journalists adalah cermin perubahan zaman. Mereka mewakili nasib profesi lain yang akan menyusul. Guru, dosen, analis, desainer—semua kini hidup di bawah bayang-bayang disrupsi.
Tapi di balik derita itu, tersembunyi peluang.
Dulu, jurnalis tunduk pada agenda pemilik media. Kini, mereka bisa memilih agenda sendiri. Jika bisa membangun komunitas, kepercayaan, dan otoritas, mereka bahkan bisa lebih berpengaruh dari sebelumnya.
Displaced bukan berarti hilang. Kadang, kita harus dipindahkan agar menemukan rumah baru.
Baca juga: Catatan Cak AT: Jangan Bungkam Lagi Suara Rakyat di Media
Epilog: Dari Pena ke Nurani Digital
Seorang jurnalis muda di Bandung pernah berkata setelah ia di-PHK:
“Dulu saya menulis untuk halaman depan. Sekarang saya menulis untuk hati pembaca.”
Mungkin inilah peran baru mereka:
Bukan sekadar pencatat peristiwa, tapi penyala cahaya dalam kabut data.
Bukan lagi bagian dari industri besar, tapi bagian dari kebangkitan suara-suara kecil yang jujur.
Baca juga: Catatan Cak AT: Baterai Nuklir Lipat, Energi Menjanjikan Masa Depan
Mereka tak lagi punya kantor. Tapi mereka punya suara.
Dan suara itulah yang akan menyambut dunia baru—dengan nurani, bukan sekadar notifikasi. Di tengah sunyi ruang redaksi yang kosong, Pena-pena tua menari di atas puing harapan.
Mereka menulis bukan lagi untuk bertahan, Tapi untuk menyalakan cahaya di lorong zaman.
Angkatan Displaced Journalists bukan akhir sebuah profesi. Melainkan awal dari cara baru hidup dari kata-kata yang menyala, jika memiliki sumber penghasilan lain.
Baca juga: DPRD Depok Usulkan Pembentukan 3 BUMD Baru, Ini Respon Supian Suri
Di sudut-sudut digital, bayangkan ini bisa dilakukan untuk merajut mimpi kolektif yang baru. Misalnya:
- Seorang jurnalis Jawa Timur mengorganisir decentralized newsroom di blockchain. Setiap verifikasi fakta dibayar dengan kripto.
- Di Buenos Aires, mantan editor mendirikan perkumpulan jurnalis lepas, yang menjual analisis kebijakan ke NGO via platform Web3.
- Di Jakarta, podcast investigasi "Suara Puing,” dibiayai oleh 1.000 pelanggan setia, tanpa iklan, tanpa algoritma.
Mereka bukan lagi korban. Mereka arsitek ekosistem baru. Ini area crowdsourced fact-checking bertemu AI audit transparan. Fungsi informal" jurnalisme menjelma jadi networked truth-telling.
Baca juga: Semakin Hemat, Harga Pertamax Series dan Dex Series Turun Harga Plus Promo Menarik
Tapi di baliknya, pertanyaan menganga: Akankah kebun kata ini cukup subur untuk memberi tempat baru ribuan yang terusir dari pabrik berita?
Jika tidak, angkatan The Displaced Jurnalists ini bukan hanya kehilangan profesi tapi mengalami krisis identitas. (***)
Jakarta, 4 Mei 2025
Penulis: Denny JA/Sastrawan, Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Asosiasi Riset Opini Publik (Aropi), serta Asosiasi Konsultan Politik Indonesia (Akopi).