Catatan Cak AT: Babak Baru Ijazah Jadi Senjata Pencitraan

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Di negeri para netizen yang tak pernah lelah berselancar dari satu gosip ke hoaks berikutnya, ijazah Jokowi kembali menjadi primadona.
Bukan primadona akademik, tentu, tapi primadona drama nasional. Kini, drama ini masuk babak baru, masih dengan pola lama yang dipoles dengan gincu pencitraan.
Setelah bertahun-tahun isu ijazah yang katanya palsu itu bergulir seperti bola salju di puncak sinetron politik Indonesia, mantan presiden yang katanya 'merakyat' itu akhirnya angkat suara—eh, lebih tepatnya angkat berkas— pergi ke kantor polisi. Iya, bukannya pergi ke ruang pengadilan Solo yang dekat rumahnya, tapi pergi jauh ke Jakarta.
Baca juga: Catatan Cak AT: Bersumpah "Demi Allah", Prabowo Bela Kaum Buruh
Bayangkan ini: di saat pengadilan di Solo sedang membahas (dengan khidmat) permintaan pihak penggugat agar Jokowi membawa dan menunjukkan ijazah aslinya ke hadapan majelis hakim, dia di hari yang sama malah bergeser ke Polda Metro Jaya di Jakarta untuk melaporkan pencemaran nama baik.
Lakonnya bak sebuah manuver hukum yang—mohon maaf—lebih cocok disebut jurus "menghindar dengan elegan tapi mencolok".
Kita pun boleh bertanya, apakah ini bentuk penghormatan terhadap hukum? Atau justru penghindaran terhadap kewajiban paling sederhana dari seorang tergugat—yakni menunjukkan bukti?
Tentu, laporan yang disampaikannya ke Polda sah secara hukum. Bahkan sangat sah. Bahkan luar biasa sah.
Baca juga: Terungkap Penghuni Kampung Baru Liar, Tempati Lahan Pemkot Depok, Sekneg, PP Property dan Pertamina
Apalagi kalau pakai pasal-pasal sakti seperti 310 dan 311 KUHP, plus UU ITE yang sekarang bisa berfungsi seperti bubuk cabai instan —tinggal tabur, panas langsung menyebar, termasuk juga aroma pencitraannya.
Tapi mari kita masuk ke logika dasar: kalau tuduhan tentang ijazah palsu itu fitnah, mengapa tidak dibantah langsung di pengadilan yang sedang membahas soal itu? Kalau tuduhannya absurd, kenapa tidak dilawan dengan cara yang masuk akal dan transparan di ruang sidang? Kalau semua dokumen asli telah ada, kenapa tidak ditunjukkan di tempat permintaan itu muncul?
Ah, mungkin karena pengadilan dianggap tidak berdampak secepat dan setajam kamera media. Atau karena pengadilan tidak bisa disetting seperti konferensi pers. Atau mungkin karena... ya, karena alasan-alasan yang hanya diketahui oleh elite, yang menganggap rakyat tidak perlu tahu lebih dari yang sudah dijadwalkan lewat press release.
Baca juga: Catatan Cak AT: Jokowi Ngotot Sembunyikan Ijazah Asli, Kenapa?
Sebagai rakyat biasa, kita hanya bisa merenung sambil memeluk ijazah sendiri—yang mungkin juga sudah mulai luntur karena disimpan terlalu lama tanpa pernah dipakai. Kita pun mulai bertanya-tanya: sejak kapan ijazah jadi dokumen sakral yang tak boleh disentuh kecuali oleh penyidik forensik?
Dan kenapa, di tengah segala krisis yang lebih konkret—seperti harga bahan pokok atau kualitas pendidikan—isu ini justru lebih hangat dibahas? Mungkin karena, seperti kata pepatah lama yang tidak ada di buku mana pun: “Negara ini lebih cepat menanggapi hinaan terhadap kehormatan pejabat daripada keluhan rakyat tentang hidup mereka.”
Mari kita beri kredit pada Jokowi: setidaknya, beliau tidak menghindar total. Beliau tampil di polisi, membawa ijazah dari SD sampai UGM, lengkap! Mungkin untuk membuktikan bahwa beliau memang naik kelas tanpa sistem beli rapor. Tapi ironisnya, aksi itu justru dilakukan di luar forum peradilan yang sedang menanti dengan sabar dan legal.
Baca juga: Catatan Cak AT: Jangan Bungkam Lagi Suara Rakyat di Media
Dan rakyat? Mereka terus menonton. Karena apa pun yang terjadi, ini tetap tontonan yang seru diikuti segala perasaan kecewa atas segala kebohongan yang diproduksi. Sebab di negeri ini, skandal ijazah bisa lebih viral dari kebijakan yang gagal. Dan pasal-pasal hukum bisa lebih berguna untuk meredam kritik daripada menegakkan keadilan.
Akhir kata, mari kita serukan bersama: Ijazah bukan hanya selembar kertas. Ia adalah tiket menuju absurditas politik negeri ini, bahkan bisa jadi alat pencitraan yang terus dimanipulasi, yang terus mesti dapat diproduksi secara licik dalam segala situasi, yang terus dipoles sejak dulu masuk gorong-gorong dan ribuan aksi lainnya! (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 2/5/2025