Catatan Cak AT: Nafir

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Ada satu kelompok yang dua tahun berturut-turut dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian, tapi belum juga menang. Namanya Emergency Response Rooms alias ERRs, dari Sudan. Sebuah lembaga kemanusiaan yang dalam sekejap diakui dunia.
Lembaga itu mungkin tidak punya gedung megah, tidak punya sekretaris berpakaian rapi, dan bahkan tidak punya dana tetap.
Tapi mereka punya sesuatu yang jauh lebih berharga: nafir— semangat gotong royong yang lahir dari iman, bukan dari proposal proyek.
Sejak perang saudara Sudan meletus pada April 2023, ERRs menjadi semacam jantung kemanusiaan yang tetap berdetak di tengah reruntuhan.
Baca juga: Presiden Prabowo Terbitkan Perpres Kelola Sampah Jadi Sumber Energi Terbarukan
Para relawan muda, guru, dokter, petani, sampai tukang las — semua bergerak tanpa menunggu surat perintah.
Mereka mengorganisasi bantuan lewat grup WhatsApp, menyusun dapur umum, mengevakuasi warga dari zona perang, dan menyalakan harapan di kota-kota yang listriknya pun sudah padam. Dunia menyebut mereka volunteers atau relawan, tapi orang Sudan lebih suka menyebutnya: nafir.
Anda tahu, Perang Sudan itu konflik brutal antara dua kekuatan utama: Sudanese Armed Forces (SAF), tentara resmi negara yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan Rapid Support Forces (RSF), paramiliter di bawah komando Mohammad Hamdan Dagalo —dulu wakil Burhan, sekarang rivalnya.
Kedua pihak, selain terlibat dalam bentrokan langsung, juga didampingi berbagai milisi lokal di Darfur, Kordofan, dan daerah perbatasan lainnya. Dampaknya sangat luas: kota-kota besar seperti Khartoum, Omdurman, El Fasher, Kadugli (Kordofan Selatan), bahkan banyak kota kecil dan kamp pengungsian turut terdampak.
Baca juga: Kasus Pencabulan Anak, Pengadilan Vonis 10 Tahun Penjara Anggota DPRD Depok dari PDIP
Korban jiwa sudah mencapai puluhan ribu. Data terbaru menyebut sekitar 150.000 orang tewas dalam dua tahun terakhir. Plus lebih dari 13-15 juta orang mengungsi internal, dan jutaan lagi melarikan diri ke negara tetangga. Lebih dari 30 juta jiwa membutuhkan bantuan kemanusiaan, krisis pangan akut dan fasilitas kesehatan yang runtuh sudah menjadi bagian dari wastafel sehari-hari.
Di tengah perang saudara, relawan ERRs bergerak di medan yang sangat sulit. Mereka dihadapkan pada serangan udara, drone, artileri, pengeboman kawasan sipil, pengepungan kota, pemblokiran akses logistik bahkan bantuan kemanusiaan, serta ancaman langsung dari kedua pihak yang bertikai.
Banyak relawan ditahan, dicurigai berkhianat atau dianggap informan. Fasilitas medis yang hendak digunakan diserang, ambulans dan gudang bantuan dibom atau dirampas. Komunikasi sering terputus. Banyak rute menuju area konflik menjadi sangat berbahaya atau sama sekali tertutup.
Dalam kondisi seperti ini, nafir bukan hanya pilihan moral. Itu sering menjadi satu-satunya jalan hidup yang tersedia untuk mereka yang tak mau diam di tengah kehancuran.
Baca juga: FIB UI Hadirkan Simfoni Budaya Sumba di Dies Natalis ke-86
Kata nafir (نفير) ini punya aroma sejarah yang panjang. Dalam bahasa Arab klasik, nafir berarti "panggilan untuk berangkat bersama," entah ke medan perang atau untuk sebuah urusan besar umat.
Akar katanya sama dengan anfara dalam ayat al-Qur’an: "Infiru khifāfan wa tsiqālan"— "Berangkatlah, baik dalam keadaan ringan maupun berat" (Qs. at-Taubah [9]: 41). Jadi, nafir bukan sekadar ajakan, tapi panggilan jiwa: siapa pun yang masih punya denyut nurani, mari turun tangan!
Dalam konteks Islam, nafir adalah bentuk nyata dari ayat "ta'āwanū 'ala al-birri wa at-taqwā" — "tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa." Ia juga menumbuhkan semangat shadaqah (derma), bukan hanya uang tapi tenaga dan waktu.
Bahkan Nabi Muhammad Sawa pernah bersabda bahwa "setiap sendi tubuh manusia harus bersedekah setiap hari." Ini termasuk dengan menyingkirkan batu dari jalan — apalagi menyelamatkan tetangga dari kelaparan. Maka nafir itu sadaqah berjamaah, semacam iuran moral di rekening sosial umat.
Baca juga: Mutasi, Kajati Bali Kini Dipimpin "Orang KPK", Sinyal Keras untuk Para Koruptor di Pulau Dewata
Kalau di Indonesia, barangkali padanan terdekatnya adalah gotong royong — atau dalam bahasa Jawa, _rawe-rawe rantas, malang-malang putung_. Bedanya, gotong royong sering terjebak di papan nama gapura RT, sementara nafir hidup di jalanan Khartoum, di tenda-tenda darurat, di perut kosong para relawan yang tetap tersenyum meski belum makan dua hari.
Ketika banjir besar menghantam Sudan tahun 2013, anak muda sudah menghidupkan kembali tradisi ini lewat media sosial: "Mari bikin nafeer!", tulis mereka. Dan benar, tanpa menunggu pemerintah, mereka turun ke lapangan, menyalurkan makanan, obat, dan selimut.
Dari situ, lahir inspirasi untuk ERRs, selain lembaga serupa lainnya. Mereka menamakan diri "Emergency Response Room" — ruang tanggap darurat — bukan karena punya ruang, tapi karena berawal dari chat room! Dari WhatsApp mereka menyusun koordinasi, dari hati mereka menyalakan solidaritas.
Dan begitulah, di tengah perang yang membuat negara runtuh, justru tumbuh republik kecil bernama nafir. Para relawan menyebut: “Kami tak punya komandan, kami punya kesepakatan."
Baca juga: Catatan Cak AT: Reformasi Kepolisian (2)
Demokrasi ala dapur umum, keputusan lewat voting di tenda, koordinasi lewat sinyal yang putus-putus — tapi hasilnya nyata. Di saat pemerintah sibuk berdebat siapa yang sah memerintah, rakyat justru sibuk memerintah diri sendiri untuk menolong sesama.
ERRs kini diperkirakan berjumlah lebih dari 360 kelompok di tujuh negara bagian Sudan. Struktur mereka horizontal, tanpa hierarki. Setiap orang punya peran: yang bisa masak, masak; yang bisa merawat luka, merawat; yang bisa bicara di forum dunia, berbicara.
"Kami tidak butuh izin untuk berbuat baik," kata salah satu relawan perempuan yang sempat ditahan karena membagi logistik di zona RSF.
Itulah wajah sejati nafir yang lahir dari ajaran Islam: spontan, ikhlas, dan egaliter. Tidak menunggu komando birokrasi, tidak menunggu restu donor internasional. Ketika badan-badan PBB masih menulis laporan situasi, anak-anak ERRs sudah menulis sejarah.
Baca juga: Nursaedufy Sinergikan Hiburan Digital dan Budaya Indonesia
Secara spiritual, nafir menghidupkan kembali konsep "ummah" sebagai satu tubuh. Jika satu bagian sakit, seluruh tubuh merasakan. Ini bukan metafora indah untuk khotbah Jumat, tapi kenyataan sehari-hari di Sudan: bila satu rumah terbakar, seluruh kampung datang membawa ember. Bila satu keluarga kelaparan, tetangga menanak nasi lebih banyak.
Lalu apa yang membuat nafir istimewa bagi dunia? Karena ia menunjukkan bahwa solidaritas tak butuh izin negara.
Ketika lembaga-lembaga kemanusiaan internasional terhalang izin politik dan perbatasan, rakyat Sudan membangun sistem bantuan sendiri, berbasis kepercayaan, dikelola lokal, dan dibiayai oleh diaspora lewat zakat dan donasi daring. Ini bukan sekadar kerja sosial; ini kebangkitan sipil.
ERRs memang belum menang Nobel Perdamaian. Tapi mereka sudah memenangkan sesuatu yang jauh lebih berharga: "kepercayaan rakyatnya". Dan itu, di zaman di mana lembaga besar lebih sering kehilangan nurani ketimbang mendapatkan dana, adalah bentuk kemenangan spiritual yang langka.
Baca juga: Penting Data Golongan Darah Tercatat di KTP, Ini Penjelasannya
Mungkin dunia masih butuh waktu untuk memahami bahwa perdamaian tidak hanya diciptakan di meja konferensi, tapi juga di dapur umum yang berasnya hasil patungan. Bahwa pahlawan tak selalu berseragam, tapi bisa jadi ibu rumah tangga yang menanak nasi untuk pengungsi.
Mungkin itu sebabnya, ketika Nobel Perdamaian jatuh ke tangan María Corina Machado dari Venezuela, para relawan ERRs hanya tersenyum. "Tak apa," kata mereka, "kami masih punya rakyat yang lapar untuk disuapi, bukan medali untuk dipajang."
Sungguh, andai dunia punya sedikit saja semangat nafir, barangkali tak akan ada Sudan yang hancur, Palestina yang terbakar, atau kamp pengungsian yang terus penuh. Karena _nafir_ mengajarkan satu hal sederhana namun radikal: bahwa kekuatan umat bukan pada senjata atau uang, tapi pada kebersamaan yang tak bisa dihancurkan oleh perang.
Dan siapa tahu — kelak ketika perdamaian benar-benar datang, bukan lewat pasukan penjaga, tapi lewat tangan-tangan yang memberi tanpa disuruh — dunia baru akan sadar bahwa Nobel sesungguhnya telah dimenangkan di sana, di antara reruntuhan, di bawah tenda-tenda darurat, di hati orang-orang yang hidupnya sederhana tapi imannya besar. (***)
Penulis: Cak AT – Ahmadie Thaha/Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 16/10/2025