Home > Kolom

Catatan Cak AT: Lihat Saja Nanti

Di media sosial, peristiwa naiknya Purbaya ini disambut dengan gaya khas Nusantara. Ada yang histeris seolah kehilangan idola K-Pop.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Lihat Saja Nanti. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Lihat Saja Nanti. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Pergantian Sri Mulyani oleh Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Prabowo tiba-tiba jadi drama nasional.

Media ramai-ramai menulis "akhir era Sri Mulyani", pasar saham sempat goyah, sementara publik dalam negeri tak kalah gaduh.

Di media sosial, peristiwa naiknya Purbaya ini disambut dengan gaya khas Nusantara. Ada yang histeris seolah kehilangan idola K-Pop.

Ada yang sinis seperti komentator sinetron. Dan ada pula yang kreatif langsung bikin julukan, dari "jurus bacot lebar" sampai "dokter amputasi".

Baca juga: Keponakan Prabowo Mundur dari DPR RI, Gerindra Langsung Bersikap

Di antara semua komentar atas kehadiran Purbaya sebagai Menteri Keuangan baru, ada yang kelewat optimis hingga terdengar seperti motivator MLM.

Seorang warganet menulis bahwa pemulihan daya beli rakyat harus terlihat dalam dua kali dua puluh empat jam.

Kalau itu serius, barangkali Purbaya perlu buka klinik darurat ekonomi di Thamrin, lengkap dengan papan neon: "Sembuh dalam dua hari atau uang kembali." Masalahnya, realitas makroekonomi tidak bisa dipulihkan dengan vitamin C atau jamu beras kencur.

Inflasi pangan masih di atas tujuh persen, upah riil tidak bergerak, dan utang luar negeri sudah menembus 420 miliar dolar AS. Dengan kondisi begitu, harapan instan pemulihan daya beli rakyat mirip pasien cuci darah yang meminta cukup dikerok saja.

Baca juga: Terungkap Kesenjangan Pemahaman tentang Pengobatan Kanker di Indonesia di Tengah Optimisme Menyambut Inovasi Digital

Makruf Jun, seorang netizen yang lebih suka metafora medis, menyindir pernyataan Purbaya bahwa "tidak terlalu sulit memperbaiki ekonomi yang lambat." Menurutnya, itu seperti dokter yang bilang amputasi gampang, padahal pasien sudah kronis.

Tapi, dari sudut pandang akademis, itu ada benarnya juga. John Maynard Keynes pernah menulis soal pentingnya _animal spirits_, optimisme yang dijaga pejabat agar pasar tidak panik. Tapi optimisme yang terlalu murah justru bisa jadi _moral hazard_.

Kalau semua dianggap gampang, rakyat bisa balik bertanya: "Jika memang mudah, kenapa harga beras masih lebih cepat naik daripada nilai tukar rupiah?" Dan sikap nyinyir Purbaya terhadap rakyat dengan nada mengentengkan, kontak dijawab mahasiswa dengan demo esok harinya.

Sementara itu, Peter F. Gontha menanggapi penunjukan Purbaya dengan gaya yang lebih elegan. Dalam tulisan panjang bersama koleganya, ia mengingatkan bahwa Sri Mulyani selama ini adalah simbol disiplin fiskal yang dihormati dunia. Maka kepergiannya diibaratkan konser yang ditinggal vokalis utama—panggung jadi hening, investor panik.

Baca juga: Media Sosial Diblokir: Anak Muda di Nepal Ngamuk, Istri Mantan PM Tewas Terbakar

Namun, bersama itu, Gontha juga melihat peluang baru. Purbaya bukan orang kemarin sore: seorang insinyur yang belok jadi ekonom, pernah terjun di pasar modal, lalu lima tahun memimpin LPS di tengah badai pandemi. Dengan latar itu, ia tidak sekadar akan menjaga kas negara, melainkan paham denyut fiskal yang sebenarnya.

Hanya saja, begitu kalimat penuh bunga itu sampai ke media sosial, seketika dipatahkan oleh komentar pendek. Ada yang menulis dengan nada sinis, "Kalau cuma ganti orang, ya paling ganti gaya batik dan tanda tangan cek APBN."

Ada pula yang lebih optimis, "Tenang, Purbaya ngerti makro, bukan sekadar tukang stempel." Demokrasi digital memang aneh: analisis berhalaman-halaman bisa kalah oleh tiga kata pedas, tapi justru tiga kata itu yang lebih banyak mendapat jempol.

Tentu, harapan publik tak bisa dianggap enteng. Ada yang menunggu Purbaya menertibkan pajak sektor tambang dan menyapu ekspor siluman. Pernyataan ini bukannya tanpa dasar. Studi Bank Dunia memperkirakan potensi kehilangan penerimaan negara akibat _transfer pricing_ mineral bisa mencapai 4–5 persen PDB per tahun.

Baca juga: Pidato Setelah Trump dan Lula di Majelis Umum PBB, Prabowo Diakui Dunia

Angkanya setara dengan seluruh anggaran pendidikan nasional! Jika Purbaya serius menutup kebocoran ini, ia bisa mengubah stigma "bacot lebar" menjadi "jurus sapu jagat." Tapi tentu syaratnya jelas: jangan sampai yang disapu hanya rakyat kecil, sementara konglomerat tambang tetap bisa menyelundupkan nikel dengan tenang.

Sayangnya, diskusi fiskal sering kalah pamor oleh gosip politik. Ada netizen yang sinis bertanya apakah Purbaya "masuk faksi Luhut." Ada pula yang nyinyir menyebut "anaknya arogan."

Di negeri ini, soal faksi dan keluarga bisa lebih ramai ketimbang laporan OJK yang menunjukkan beban utang BUMN makin berat akibat praktik _off balance sheet financing_. Padahal, itulah bom waktu fiskal yang lebih layak jadi bahan debat. Tapi apa daya, netizen lebih suka gosip karena memang lebih gampang dicerna sambil ngopi.

Meski riuh caci-maki, ada pula suara bijak yang jarang disorot: "Sebagai rakyat, selalu berharap yang terbaik." Kalimat sederhana ini sebetulnya lebih kuat daripada retorika panjang pejabat manapun.

Baca juga: KPK Telusuri 'Cara Main' Pejabat Kemenag dalam Kasus Korupsi Kuota Haji

Sebab, ujung dari semua jurus fiskal —baik yang pro pasar ala Sri Mulyani maupun pro rakyat ala Purbaya— tetap kembali ke satu hal: apakah rakyat bisa membeli beras tanpa berutang, apakah UMKM bisa bertahan tanpa menguras tabungan, dan apakah negara bisa adil tanpa mewariskan beban utang bejibun ke generasi berikutnya.

Di titik ini, semangat anti-serakahnomic ala Prabowo, atau semangat Sumitronomics, jadi relevan. Model keuangan negara tak boleh tunduk pada kerakusan elite ekonomi atau jebakan utang jangka panjang. Fiskal harus diarahkan pada kemandirian pangan, energi, dan industri strategis.

Seorang netizen menulis getir, "Kalau tiap tahun masih impor garam dan kedelai, berarti ada yang salah dengan APBN." Peter Gontha pun menegaskan, kemandirian bukan jargon, melainkan harus nyata dalam alokasi anggaran. Tanpa itu, Prabowo hanya akan jadi macan kertas.

Apa yang diharapkan publik dari Purbaya bisa dirangkum sederhana: menyehatkan APBN dengan belanja produktif, bukan proyek mercusuar; memberi insentif nyata bagi UMKM yang menyerap tenaga kerja; serta menegakkan reformasi pajak progresif agar prinsip anti-serakahnomic atau Sumitronomics punya taring.

Baca juga: Gegara Mati Mesin, Perahu Nelayan Bersama ABK Dievakuasi Satpolairud Polres Garut dari Tengah Laut

Jangan lagi yang kecil diperas, sementara yang besar dimanjakan. Seorang ekonom muda menulis pedas: "Kalau yang kecil dipalak, yang besar dipeluk, namanya bukan reformasi pajak, tapi yoga fiskal."

Tetapi jalan menuju itu jelas tidak mudah. Publik masih bertanya: apakah Purbaya cukup kuat melawan kartel dan lobi konglomerat? Atau anti-serakahnomic hanya akan jadi stiker di mobil dinas, sementara praktik serakah tetap jalan?

Di sinilah ujian sesungguhnya. Kalau ia bisa membuktikan diri, strategi fiskalnya bisa jadi tonggak baru menuju Indonesia yang tidak lagi bergantung pada utang luar negeri, melainkan berdiri dengan kaki sendiri.

Akhirnya, komentar-komentar netizen —meski sering jenaka, emosional, bahkan absurd— mencerminkan laboratorium demokrasi fiskal kita. Ada yang idealis, ada yang utopis, ada yang marah-marah, ada yang sekadar iseng.

Baca juga: Momentum International Literacy Day, Indonesia Harus Percepat Kemajuan Literasi

Semua itu membentuk denyut kepercayaan publik. Dan justru di situlah letak keseriusan jabatan baru Purbaya: bahwa mengelola fiskal bukan sekadar hitung-hitungan angka, melainkan merawat rasa percaya rakyat.

Seorang netizen menutup diskusi dengan kalimat sederhana: "Kita lihat saja nanti." Siapa sangka, komentar singkat di Facebook itu mungkin adalah analisis ekonomi paling realistis yang kita punya. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 11/9/2025

× Image