Catatan Cak AT: Otak Kerusuhan

RUZKA-REPUBLIKA NERWORK -- Di republik yang selalu lapar tontonan politik, sebuah truk diduga membawa massa dengan petasan besar.
Presiden dilapori soal truk itu —drama logistik yang bikin kembang api Tahun Baru kalah pamor. Bayangkan, seorang presiden sampai bicara soal truk pengangkut petasan.
Kapolri pun menabuh genderang: pelaku lapangan diburu, aktor intelektual dikejar. Dan, ini yang paling seksi, siapa yang membiayai huru-hara akan ditarik kupingnya sampai ke bab bukti.
Pihak Komdigi juga sudah memberi sinyal banyaknya aliran dana dari rekening judi online untuk demo.
Baca juga: Tak Hanya Menghasut, Tersangka Kerusuhan Juga Ajari Pelajar Cara Membuat Bom
Ada pengemudi ojol yang tewas terlindas rantis, keluarga menangis di RSCM, sementara warganet sibuk berdebat apakah ini kealpaan, ekses, atau bagian dari orkestrasi. Negara serius —setidaknya pernyataan resminya —tapi linimasa lebih ramai dari Pasar Senin.
Di sisi jalan yang lain, Ferry Irwandi, aktivis medsos yang lebih fasih berorasi daripada banyak politisi pasca-edit, menuding ada trio akun X —NdrewsTjan, Mas Veel, dan Miss Tweet— yang layak diselidiki. Dari akun-akun inilah, tudingnya, seruan pemantik demo bermula.
"Ini bukan intervensi asing, ini muncul dalam kekuasaan," katanya. Klaimnya dibagikan lintas platform, ditelan jutaan mata, diperdebatkan sejuta jempol. Media daring ikut mengutip, linimasa menyambut dengan dua kubu: "akhirnya ada yang ngomong" versus "ini tuduhan tanpa bukti."
Baca juga: Penutupan Live Tiktok Akibat Peraturan Menteri Ambigu
Aparat? Masih meniti jejak digital yang katanya mudah dilacak, tapi selalu saja ada lorong gelap di balik layar. Jadi, sementara negara menyalakan senter, publik menyalakan prasangka.
Mari kita obrolkan "otak kerusuhan." Bukan sekadar siapa yang melempar batu, tapi siapa yang menjual batu, menulis naskah lemparannya, mengatur timing, dan mengontrak penonton bayaran.
Dalam studi-studi tentang _"cyber troops"_ dan _"coordinated inauthentic behavior"_ (CIB), pola yang berulang itu begini: akun asli dirangkul akun palsu, narasi dipanaskan serempak, komentar diseragamkan, tagar diorbitkan, lalu algoritma mengira "ini organik" —padahal kebun plastik.
Oxford Internet Institute memotret operasi semacam ini di puluhan negara. Indonesia masuk peta dengan kapasitas "medium." Artinya cukup rapi, cukup rutin, dengan tenaga paruh-waktu dan penuh-waktu yang tahu jobdesk.
Baca juga: Polrestro Depok Gencar Laksanakan Patroli Siang dan Malam Guna Ciptakan Situasi Aman dan Nyaman
Facebook-Meta bahkan rutin merilis laporan "CIB takedown" yang menunjukkan jaringan bayaran dibersihkan tiap bulan. Artinya, industri ini bukan mitos, tapi siklus.
Dan ya, kita bukan desa terasing dari sains data. Literatur terbaru membedah metriknya: lonjakan posting serentak dalam menit yang sama, kemiripan frasa lintas akun, graf interaksi yang berulang di jam-jam "shift", sampai pola "copy-paste" komentar antarkanal.
Peneliti di arXiv menjelaskan bagaimana deteksi koordinasi melihat sinkronisasi temporal dan keseragaman konten. Jurnalisme data mempraktikkan _"bot spotting"_ dengan menjejak foto curian, umur akun, hingga _"act-as-a-crowd."_
Jadi ketika Ferry menyebut "ribuan komentar seragam," itu bukan sekadar rasa. Ada disiplin metrik untuk menguji seragamnya kemeja para buzzer. Tapi, tentu saja, klaim individual tetap butuh pembuktian forensik: siapa operatornya, siapa kliennya, dan siapa bendaharanya.
Baca juga: Tinjauan Sosiologis Terhadap Gelombang Protes di Indonesia
Namun ada sisi yang kerap dilupakan: kadang terdapat momentum ketika narasi dari akun-akun yang bukan palsu —atau juga yang palsu— mendadak teramplifikasi karena rakyat yang memang senang dengan konten-konten tersebut merasa sejalan pikirannya. Mereka memandang para akun itu sebagai corong keresahan yang sudah lama mengganjal di tenggorokan.
Ingatan kolektif itu bukan kosong. Ada kasus Km 50 yang menewaskan enam anggota FPI; tragedi Kanjuruhan yang merenggut lebih dari 130 nyawa; serpihan peristiwa kekerasan polisi di berbagai momen; keluhan atas kenaikan pajak di sejumlah daerah yang dirasa "melompat".
Dan ada deretan kasus korupsi bernilai triliunan —yang terbaru, dugaan tata kelola minyak Pertamina dengan angka fantastis.
Semua ini menjadi sekam yang siap terbakar. Percikan kecil di linimasa langsung menyambar jerami di lapangan. Ketika kepercayaan retak, amplifikasi terjadi bukan karena bot semata, tetapi karena manusia menemukan gema dari getirnya sendiri.
Baca juga: Catatan Cak AT: Bukan Sekadar 'Bubarkan DPR'
Nah, di titik ini, humor adalah cara terakhir untuk tetap waras. Kita kerap menganggap kerusuhan itu "swadaya." Seperti arisan RT: datang sendiri, pulang sendiri, uangnya dari "tangan tak terlihat." Padahal uang jarang tak terlihat; dia cuma lewat rekening yang tak mau dilihat.
Kapolri sudah berjanji menembus kabut pendanaan. Presiden bicara soal truk petasan. Ini dua benang merah yang, bila ditarik dengan sabar, bisa ketemu gulungannya.
Persoalannya, warga sudah keburu letih disuguhi drama tanpa bab penutup. Transparansi harus lebih cepat dari rumor. Kalau tidak, rumor akan mengaku sebagai kebenaran yang "lebih gesit."
Di sisi propaganda digital, kita perlu bedakan tiga hal. Pertama, ekspresi politik warga —keras boleh, asal tidak menghasut kekerasan.
Baca juga: Masa Tantang Ketua DPRD Majalengka Baca Pancasila, Responsnya Bikin Tepuk Tangan Meriah
Kedua, orkestrasi terkoordinasi yang pura-pura organik —ini tugas penegak hukum dan platform untuk diurai kabelnya.
Ketiga, mis/disinformasi —ini wilayah literasi, kurikulum, dan —mohon maaf— kemauan kita membaca lebih dari judul.
Riset ISEAS dan mitra-mitranya menunjukkan ekosistem "buzzer" kita tumbuh dari industri kampanye, merembes ke isu kebijakan. Mereka bukan hantu; mereka pekerja.
Di sisi lain, laporan CSIS Indonesia mengonfirmasi kolaborasi temporer para _"cyber troops"_ untuk proyek-proyek isu. Sifatnya cair, pragmatis, berbasis tender. Artinya, penyelesaiannya tidak cukup _moral lecture._ Perlu regulasi, penegakan hukum, serta mekanisme audit belanja komunikasi politik.
Baca juga: 1.240 Orang Pendemo Anarkis Ditangkap, Kapolda: Mereka dari Luar Jakarta
Kasus Cambridge Analytica kerap dijadikan nenek moyang cerita seram. Alkisah, data jutaan pengguna disedot untuk mikro-targeting, pesan dipersonalisasi sampai orang memilih tanpa sadar sedang dibujuk.
Apakah semua negara meniru? Tidak semua, tapi prinsipnya menular: segmentasi, personifikasi, dan repetisi. Indonesia punya versi lokal —lebih murah, lebih meriah, dengan kombinasi buzzer, influencer, dan "konsultan kreatif."
Ini tidak otomatis ilegal, tapi bisa berbahaya bila menyeberang ke manipulasi terselubung, ujaran kebencian, atau pemantik kekerasan. Karena itu, tiap klaim "dalang digital" harus diuji: jejak pembayaran, konsistensi konten, hubungan akun, dan titik temu antara linimasa dan lapangan.
Lalu bagaimana dengan nama-nama besar yang kini jadi buruan hukum? Riza Chalid kembali mencuat. "Gasoline Godfather" versi tajuk lama. Kali ini ia sebagai tersangka dalam perkara tata kelola minyak dengan angka kerugian yang bikin kalkulator ngos-ngosan.
Baca juga: Wali Kota Depok Supian Suri Pesan ke Para Ortu Agar Anaknya Tak Ikut Aksi Demo
Kejaksaan menyebutnya berstatus DPO. Aset disita; proses bergulir. Apakah ada kaitannya dengan suhu jalanan? Kapolri menjawab akan bergerak berdasar bukti, bukan gosip.
Itu jawaban benar —sekaligus pengingat: jangan seret nama sebelum bukti terbentang di meja sidang. Negara hukum berdiri di atas pembuktian, bukan _trending topic._
Di lapangan, demonstrasi mahasiswa dan driver online sejatinya bermula damai. Bahwa kemudian ada perusakan dan penjarahan, tidak otomatis menghapus akar tuntutan.
Justru inilah tugas negara: memisahkan pelaku kekerasan dari penyuara aspirasi, membedah jaringan provokasi tanpa membungkam kritik.
Polisi harus bisa menangkap perusuh —tanpa menggeneralisasi semua pengunjuk rasa sebagai perusuh.
Baca juga: Depok Gelar Doa Bersama untuk Damai dan Kondusif serta Rajut Persatuan
Pemerintah harus bisa mengungkap pendanaan kerusuhan —tanpa menganggap setiap donasi logistik aksi sebagai uang haram.
Dan platform digital harus memperkuat sistem deteksi koordinasi —tanpa memukul rata aktivisme sebagai spam.
Konstruktif itu artinya presisi: siapa melakukan apa, kapan, di mana, dengan uang siapa.
Siasat keluar dari lingkaran setan ini justru sederhana, sekaligus paling susah: kecepatan transparansi.
Baca juga: Catatan Cak AT: Epitaf Urban ACAB 1312
Rilis fakta kejadian —jam, rute, komando, SOP— segera setelah insiden. Buka data pembiayaan operasi pengamanan. Umumkan progres penanganan rantis yang menabrak warga. Beberkan bukti bila ada "komando" dari balik layar.
Di dunia yang bergerak secepat notifikasi, keterlambatan informasi membuat rumor berjubah kebenaran. Dan kita, para warga, butuh rasa aman —bahwa kritik tidak akan dituduh makar, bahwa aparat tidak kebal, dan bahwa "otak kerusuhan" tidak dibiarkan makan popcorn di tribun VIP.
Pada akhirnya, republik yang dewasa bukan yang tak punya marah, melainkan yang tahu mengelola amarah.
Propaganda digital akan selalu ada, selama ada anggaran iklan dan ambisi kekuasaan. Tapi algoritma yang paling kuat tetap akal sehat publik.
Baca juga: Polrestro Depok dan Kodim 0508 Bersinergi Amankan Kota Depok
Kalau negara bekerja dengan data dan nurani, dan warganya berbekal literasi serta empati, maka para akun yang gemar melempar korek hanya akan menemukan aspal basah.
Kerusuhan butuh oksigen; demokrasi memberinya ventilasi —agar panas keluar, bukan api menyala. Dan kalau masih ada yang ngotot menebar petasan pakai truk, ya mohon maaf, kami lebih pilih pesta lampion: terang, terarah, tanpa bikin telinga bangsa budeg. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 3/9/2025