Home > Kolom

Catatan Cak AT: Mesin Berotak Bawaan

Alhamdulillah. Akhirnya, AI ini mengaku sudah punya kemampuan berpikir. Tinggal kita, manusia, yang datang maunya ikut berpikir, tapi malah duduk manis membiarkan otak jadi pasif.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Mesin Berotak Bawaan. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Mesin Berotak Bawaan. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Sore-sore saya buka ChatGPT, dan disambut sebuah kalimat manis yang terdengar seperti iklan deterjen pemenang penghargaan Cannes:

"Introducing GPT-5. ChatGPT now has our smartest, fastest, most useful model yet, with thinking built in — so you get the best answer, every time."

Alhamdulillah. Akhirnya, AI ini mengaku sudah punya kemampuan berpikir. Tinggal kita, manusia, yang datang maunya ikut berpikir, tapi malah duduk manis membiarkan otak jadi pasif.

Seperti kita duduk di warung kopi sambil mengangguk-angguk mendengar ceramah ustaz Google. Hanya saja kali ini ustaznya berwajah silikon dan memakan listrik, bukan nasi.

Baca juga: Catatan Cak AT: Dagang Kuota Surga

Klaim GPT 5 keterlaluan: "jawabannya terbaik, setiap saat." Rasanya seperti mendengar tukang baso teriak, “Ini baso paling enak sedunia!” padahal di lidah kita, kadang rasanya cuma “ya lumayanlah, asal lapar.”

Kalau mau diingat-ingat, ChatGPT ini perjalanannya singkat tapi penuh drama. Dilahirkan oleh OpenAI ke dunia pada 30 November 2022, langsung viral seperti bayi artis yang fotonya bocor ke infotainment.

Dua bulan saja ia sudah tembus seratus juta pengguna. Ini bayi AI tercepat dapat KTP, bahkan sebelum tumbuh gigi. Versi awalnya berbasis GPT-3.5, lalu nyelonong ke GPT-4.

Kemudian tiba-tiba ia jadi GPT-4o yang bisa baca, dengar, dan lihat, lalu melahirkan GPT-4.1 dan o4-mini yang katanya jago “reasoning” (alias jago ngomong pintar-pintar). Dari warung kopi digital sampai rapat direksi perusahaan, semua orang mendadak mau ngobrol sama AI ini.

Baca juga: Gelorakan Spirit 80 Tahun Indonesia Merdeka dalam Majelis Nyala Purnama

OpenAI pun girang, sebab pada 2025 mereka sudah panen: 700 juta pengguna aktif mingguan dan pemasukan $12–13 miliar setahun. Ini setara Rp 192–224 triliun, kira-kira cukup buat membangun lebih dari 100 universitas negeri baru.

Tapi sebelum OpenAI sempat bikin pesta peluncuran resmi GPT-5, reporter Geekflare Keval Vachharajani sudah membongkar rahasianya. Keval memukannya di celah postingan di GitHub.

Mungkin admin GitHub ngantuk atau sedang kepencet _enter_, sehingga tanpa sengaja mengunggah detail GPT-5. Entah kenapa, postingan itu buru-buru dihapus, tapi jejak digitalnya sudah diselamatkan di archive.ph.

Dalam dunia digital, jejak selalu ada. Mesin sedot website tiap detik menyimpannya. Ibarat gosip kampung: walau itu disuruh hapus dari grup WA, pasti sudah ada yang forward ke grup sebelah.

Baca juga: Dahlan Iskan: Kongres Persatuan PWI Harus Bersih dari Praktik Money Politics

Bocoran itu bilang GPT-5 akan lebih pintar, lebih cepat, dan lebih mampu menyelesaikan kode rumit tanpa banyak disuruh. GPT yang satu ini juga dibilang bisa jelasin sesuatu dengan lebih jelas.

Dan katanya lagi, ia punya kemampuan “agentic” yang lebih kuat—entah artinya jadi agen properti atau agen rahasia, kita belum tahu. Semuanya kayak promo yang didesain ala perusahaan kongkomerat.

Varian GPT 5 macam-macam, dari yang otaknya berat sampai yang enteng untuk hemat biaya, dari yang super cepat sampai yang jago ngobrol multimodal untuk perusahaan besar.

Tapi terus terang, saya yakin sebagian besar pengguna nanti tetap memakainya buat minta puisi ulang tahun atau resep sambal terasi. Saya juga yakin, paling-paling mereka minta dibikinkan pantun jawaban atas pantun rekan sebelah, sekedar menunjukkan diri bisa.

Baca juga: Catatan Cak AT: Saksi Bumerang

Secara ilmiah, klaim peningkatan kemampuan berpikir ini memang ada dasarnya. Riset transformer dan pelatihan multimodal membuktikan bahwa otak buatan bisa diajari menyusun logika dan memecahkan masalah yang dulu cuma bisa dilakukan manusia.

Secara ilmiah, klaim peningkatan kemampuan “reasoning” ini memang masuk akal. Penelitian di bidang transformer architecture (Vaswani dkk., 2017) menunjukkan bahwa penambahan parameter dan optimalisasi pelatihan multi-modal dapat memperluas kemampuan penalaran simbolik dan pemecahan masalah kompleks.

Tapi, para peneliti etika AI juga mengingatkan, model AI yang terlalu pintar dalam menggabungkan data bisa menghasilkan “halusinasi meyakinkan” — jawaban yang terdengar benar tapi sebetulnya salah. Jadi, hati-hatilah disuguhi jawaban yang salah, tapi diucapkan dengan gaya dosen yang penuh percaya diri.

Sam Altman, bos OpenAI, malah sudah teasing GPT-5 di X (yang dulunya Twitter, lalu jadi X, entah besok jadi apa). Dia memamerkan tangkapan layar GPT-5 yang sedang merekomendasikan film tentang AI. Mungkin maksudnya biar kita belajar dari film.

Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Golkar Bakal Sering Diterpa Isu Munaslub Selama Bahlil Ketum

Tapi kalau GPT-5 nanti empat tahun lagi mulai merekomendasikan siapa yang harus kita pilih di pemilu, nah itu beda cerita.

Saya ini bukan anti teknologi. Saya senang kalau ada mesin yang bisa diajak mikir bareng. Tapi saya geli tiap baca klaim OpenAI mengenai GPT 5: “Now with Thinking Built In.” Lha, sebelumnya apa? Now with Guessing Built In?

Dari sudut pandang sosial, kemunculan GPT-5 ini akan memicu dua kubu: kubu “ini revolusi” dan kubu “ini akhir dunia”.

Studi psikologi teknologi (Weizenbaum, 1976; Turkle, 2017) sudah mencatat bahwa setiap kali mesin makin pintar, manusia terpecah antara kekaguman dan kecemasan. Bedanya, kali ini pecahnya mungkin akan dibantu oleh GPT-5 yang memberi argumen untuk kedua pihak sekaligus.

Baca juga: Ketua BKD DPRD Depok Qonita Lutfiyah Suarakan Dukungan Untuk Palestina Merdeka

Saran saya sederhana: jangan mudah percaya sama janji “jawaban terbaik setiap saat.” Bahkan kiai kampung saya yang hafal 30 juz pun kadang berkata, “Wallahu a’lam” — Tuhan yang lebih tahu.

GPT-5, sepintar apa pun, tetaplah buatan manusia. Bedanya, kalau dia salah, dia minta maaf dengan sopan. Kalau manusia salah, biasanya malah marah-marah, menunjukkan arogansi atau kelemahannya.

Selamat datang GPT-5. Semoga kamu benar-benar membantu kami berpikir, bukan cuma membuat kami malas berusaha. Kita perlu berpikir keras bagaimana membuat Israel berhenti membunuh manusia. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 10/8/2025

× Image