Catatan Cak AT: Saksi Bumerang

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Hari Kamis tampaknya mulai mengambil alih status Jumat sebagai hari yang ditunggu-tunggu.
Bukan karena diskon akhir pekan, tapi karena drama epik nan absurd bernama “Sidang Lanjutan Kasus ASDP” yang tayang rutin setiap Kamis, di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Di episode Kamis, tanggal 7 Agustus 2025, jaksa menampilkan bintang tamu istimewa: Christine Hutabarat, mantan Direktur Perencanaan & Pengembangan ASDP. Dialah nama yang diajukan jaksa penuntut umum sebagai saksi.
Tapi alih-alih menjadi senjata pamungkas jaksa, Christine justru berubah menjadi senjata bumerang yang pulang ke kepala sendiri. Tak ayal satu pertanyaan penting muncul dari ruang sidang: ini sidang tuntutan atau malah tuntunan?
Baca juga: Jamiluddin Ritonga: Golkar Bakal Sering Diterpa Isu Munaslub Selama Balil Ketum
Christine dengan tenang menjelaskan bahwa kerja sama antara ASDP dan PT Jembatan Nusantara (JN) itu menguntungkan.
Bukan secara spiritual atau metafisik, tapi secara konkret: market share BUMN ini naik, keuntungan jelas, dan modal tidak pakai uang negara.
Lho, bukannya terdakwa didakwa karena "merugikan negara"? Ternyata yang terjadi sebaliknya. Menurut Christine, kerja sama itu menghasilkan laba Rp 11 miliar selama dua tahun. Bukan angka yang bisa diabaikan begitu saja, di tengah banyak BUMN lain justru merugi triliunan.
Apalagi dalam konteks BUMN yang dibebani tugas harus menjangkau daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Artinya, ini bukan kerja sama fiktif, tapi kerja nyata dan bebannya berat. Atau dalam bahasa anak sekarang: “kerja cerdas, bukan kerja curang.”
Baca juga: Pramono Targetkan 75 Persen BUMD Beri Dividen, Fahira Idris Rekomendasikan Strategi Ini
Namun jaksa, seperti biasa, tetap bersikeras menyelidiki dokumen, izin, dan konsultasi yang mendasari kerja sama tersebut, mungkin berharap menemukan ada agenda tersembunyi: semisal naskah “Konspirasi Kapal Tua” yang gagal terbit.
Sayangnya, semua dokumen lengkap. Ada kajian dari NMP Consultant (bukan warung sebelah), dan juga dari Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi UI. Dua institusi ini bukan hanya profesional, tapi juga sudah biasa menangani kajian strategis level nasional.
Rekomendasi juga sudah dikantongi, bahkan dari Kementerian BUMN dan Dewan Komisaris. Jadi, kalau ini dianggap "tak prosedural", maka kita boleh khawatir: jangan-jangan prosedur itu sekarang berubah jadi sesuatu yang baru—misalnya, “prasangka maju mundur syariah”.
Kasus ini bermula dari akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry, sebuah BUMN yang mengurusi angkutan penyeberangan. Akuisisi ini dilakukan sebagai strategi bisnis untuk meningkatkan armada dan market share ASDP secara cepat, menyusul moratorium pemerintah terhadap pembelian kapal baru sejak 2017.
Baca juga: Polda Jabar Bongkar Kecurangan Beras Premium di Majalengka, Omzet Capai Rp 5 Miliar
Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus dugaan kerugian negara dari proses akuisisi ini, dan menetapkan tiga mantan pejabat tinggi ASDP sebagai terdakwa: Ira Puspadewi (Dirut ASDP 2017–2024), Muhammad Yusuf Hadi (Direktur Komersial), dan Harry Muhammad Adhi Caksono (Direktur Perencanaan).
Persidangan kasus ini berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta, dengan jaksa penuntut umum dari KPK yang mendalilkan adanya mark-up dan pembelian kapal bekas yang dinilai tidak sesuai spesifikasi.
Namun, sejak awal proses persidangan, dakwaan ini tampak keropos, terutama karena saksi-saksi yang justru mementahkan narasi penuntutan.
Dalam sejarah peradilan modern, sangat jarang ada saksi yang diajukan oleh jaksa justru membantah tuduhan jaksa sendiri. Ini seperti melihat chef memasak steak medium rare, tapi saat disajikan berubah jadi tahu bulat.
Baca juga: Ketua BKD DPRD Depok Qonita Lutfiyah Suarakan Dukungan Untuk Palestina Merdeka
Dalam drama sidang kali ini, jaksa menghadirkan Christine untuk mendukung dakwaan, tapi sang saksi justru memberikan pelajaran ekonomi mikro dan makro yang menohok.
Kita jadi bertanya: apakah jaksa sedang membangun tuntutan, atau sedang menyusun skripsi tentang keberhasilan BUMN meningkatkan laba secara sinergis? Entahlah.
Jika kerjasama yang jelas untung, melalui proses hukum yang sah, hasil kajian independen, dan tidak pakai dana APBN bisa dijadikan alasan menghukum, maka kita berada dalam masalah lebih besar. Bukan soal kasus ASDP semata, tapi bagaimana rasionalitas hukum sedang dilipat-lipat seperti lembaran tiket ferry, lalu dibuang ke laut.
Apa lagi yang harus dibuktikan? Bahwa kapal laik laut? Bahwa akuisisi efisien? Bahwa keuntungan masuk neraca? Atau kita harus mengundang Dora the Explorer agar membantu jaksa menemukan “bukti” yang terselip di balik bukit?
Baca juga: Warga Jakarta Serukan Buka Perbatasan Rafah! Jangan Jadi Tembok Penjajah!
Sidang ASDP ini layak dijadikan studi kasus di fakultas hukum, ekonomi, dan bahkan ilmu komunikasi. Bagaimana tidak? Ia menghadirkan fakta, membongkar ironi, dan menunjukkan betapa sistem hukum kita bisa terjebak pada logika film action: “Tangkap dulu, skripnya susul belakangan.”
Mungkin ini saatnya kita bertanya: KPK masih sedang menegakkan hukum, atau sedang menegakkan panggung?
Karena jika yang diburu adalah persepsi publik semata, maka sidang seperti ini akan terus berlangsung—setiap Kamis, dengan saksi-saksi yang justru menjadi pencerah.
Dan bukan tidak mungkin, di ujung pertunjukan nanti, kita semua sepakat bahwa justru terdakwa yang memberi pelajaran soal integritas, efisiensi, dan akal sehat.
Dan KPK? Mungkin perlu belajar dari Christine, sebelum tersandung dalam sidang evaluasi nalar.
Catatan akhir: Sidang selanjutnya masih akan tayang Kamis depan. Jangan lupa siapkan popcorn dan pasang logika. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 8/8/2025