Catatan Cak AT: Ulangan yang tak Kunjung Usai

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Membaca buku _Abraham Fulfilled: A Biblical Study of God's Plan for Ishmael and Arabia_ karya Abu Zakariya dan Adnan Rashid, membawa pikiran saya melayang jauh entah ke abad kapan, ketika kita belum jadi siapa-siapa.
Buku terbitan Sapience Publishing ini menyoal _deuteronomy_, istilah yang terdengar seperti sandi tua yang mengajak kita membuka kembali satu bab penting dalam drama kenabian. Yaitu, bab “pengulangan hukum” di Kitab Taurat yang menyimpan nubuat besar.
Di balik _Deuteronomy_ alias Kitab Ulangan, nama Yunani yang berarti “hukum kedua", tersimpan pidato perpisahan Nabi Musa as, yang bukan hanya mengenang masa lalu, tapi juga melempar pandangan jauh ke masa depan.
Baca juga: Kongres Persatuan, PWI DKI Jakarta Dukung Calon Ketua dari Kalangan Muda dan Visioner
Salah satu yang disorot tajam di dalamnya adalah: siapakah “nabi seperti engkau” yang akan datang dari “saudara mereka"? Bunyi ayat 18:18 yang disebut dalam kitab kelima dari Taurat, yaitu Kitab Ulangan, ini terus memancing debat selama berabad-abad.
Kitab Ulangan (Deurotomy), sebagai bagian dari Kitab Taurat, layak disimak kembali. Ia mesti kita anggap bukan kitab orang lain, tapi serpihan wahyu yang termasuk keimanan Islam, yang menanti untuk ditafsirkan ulang dengan mata iman yang jernih.
Kalau kita ibaratkan Kitab Ulangan seperti pidato kenegaraan terakhir sebelum Nabi Musa pensiun dari dunia, maka beliau bukan hanya memberi wejangan yang sudah ribuan kali diulangnya, tapi juga semacam “surat wasiat teologis”.
Baca juga: Catatan Cak AT: Seni Perang dalam Diam
Bayangkan, 40 tahun memimpin umat yang keras kepala, lalu menjelang wafat beliau tetap setia mengulang hukum dengan harapan anak-anak muda Bani Israel tidak ngulang dosa yang sama. Betapa sabarnya beliau menghadapi orang-orang Israel yang sejak dulu bandel.
Nabi Musa seakan berkata, “Dengar, wahai generasi TikTok padang pasir! Jangan kalian ulangi drama kolosal orang tua kalian —mulai dari menyembah patung sapi sampai nyinyir setiap kali kehabisan roti.” Tapi seperti dialami banyak pemimpin pensiunan lainnya, harapannya tinggal harapan.
Dan ironisnya, generasi penerus ini tampaknya lebih rajin menulis tafsir untuk mengabaikan nubuat dalam Ulangan 18:18, ketimbang mencernanya. Mereka seperti alergi kalau ada kemungkinan bahwa nabi terakhir bukan dari keturunan Ishaq, tapi dari jalur Ismail.
Baca juga: Kepulangan Jemaah Haji, Kenali Gejala Penyakit Menular yang Wajib Diwaspadai
Bagi orang Israel generasi penerus ini, Ismail itu hanyalah saudara pinggiran gurun, yang keturunannya tak layak mewarisi jejak Ibrahim secara geografis, historis, bahkan spiritual. Bagi mereka, keturunan Ishaq-lah yang paling layak.
Lalu ketika Islam datang dengan mengatakan, “Hei, ini Nabi yang dijanjikan, loh... Kami nggak bawa sabit dan palu, cuma Al-Qur’an dan akhlak!”, sebagian mereka malah balik berkata, “Nggak mungkin. Dia dari Arabia."
Mereka terus-menerus menaruh dendam sejarah dan penolakan, yang tak jarang mendorong diri mereka sampai angkat senjata: "Muhammad bukan dari keturunan kita. Nabi haruslah dari ‘negeri kita’, bukan dari sebelah.”
Baca juga: Catatan Cak AT: Otak Sains Israel Terbakar
Kitab Ulangan, yang merupakan kitab kelima dari kitab suci Taurat, memuat pidato panjang Nabi Musa yang seolah tak pernah usai. Ia disebut _Deuteronomy_, berasal dari kata Yunani “Deutero” (kedua) dan “nomos” (hukum).
Jadi secara harfiah artinya adalah: “Hukum Kedua” —padahal belum tentu ada yang pertama yang masih diingat jelas. Tapi beginilah manusia: mudah lupa, suka bandel, dan perlu di-ulang-ulang. Itulah salah satu sifat bangsa Israel.
Kitab Ulangan berisi pidato panjang Musa—bukan satu atau dua halaman—tapi 34 pasal penuh sejarah, hukum, motivasi, peringatan, dan tentu saja ancaman penuh kasih: "Kalau kalian taat, diberkati; kalau kalian durhaka, siap-siap dikejar musuh sampai ke dapur rumah kalian." (Ulangan 28:15–68)
Baca juga: Iran Eksekusi Mati Mata-mata Mossad Israel, Dengan Cara Digantung
Isinya kira-kira seperti orasi seorang ayah menjelang wafat, yang sudah capek ngomong tapi anaknya masih juga ingin main gim daripada belajar Taurat.
Tapi memang, ada satu ayat yang bikin tafsir meledak-ledak, berbunyi:
> "Seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya..." (Ulangan 18:18)
Kalau dibaca pakai kacamata netral, “saudara mereka” berarti bukan dari Bani Israel sendiri, melainkan dari bangsa saudara mereka. Siapa? Siapa lagi kalau bukan Ismail —yang secara biologis dan historis, jelas disebut sebagai saudara seayah Bani Israel.
Baca juga: Coffee Morning, Imigrasi Depok dan PWI Jalin Kolaborasi, Satu Meja Satu Visi
Lalu bagian kata “seperti engkau” juga menggelitik. Musa itu:
- Seorang pemimpin umat
- Pembawa syariat (bukan sekadar pesan moral)
- Memimpin bangsa dari perbudakan menuju kebebasan
- Berbicara langsung dengan Tuhan
- Diperintah membuat komunitas hukum dan pemerintahan
Maka, siapa lagi setelah Musa yang punya template kenabian semacam ini selain Nabi Muhammad Saw?
Nabi Isa? Ya, mulia dan agung, tapi beliau sendiri mengatakan bahwa beliau bukan pembawa syariat baru, melainkan melengkapi yang sebelumnya (Matius 5:17). Bahkan menurut Injil, beliau tidak memimpin komunitas politik atau negara.
Baca juga: Kepulangan Jemaah Haji Depok, Waspadai Penyebaran Penyakit Menular
Jadi kenapa orang masih ngeyel kalau “nabi yang seperti Musa” itu bukan Nabi Muhammad?
Jawabannya bisa karena dua hal: terlalu cinta tafsir lama, atau takut kehilangan status sebagai pemilik satu-satunya jalur langit. Ya, maklum. Kadang yang bikin bingung bukan wahyunya, tapi gengsi manusianya.
Islam tidak serta-merta menolak Kitab Ulangan. Al-Qur’an dengan jelas menyebut bahwa Taurat adalah kitab wahyu yang Allah turunkan kepada Musa (Qs Al-Ma'idah: 44). Tapi Islam juga realistis —bahwa tangan-tangan manusia telah mengedit, menggeser, menambah, dan menghapus sejumlah bagiannya.
Maka yang kita lakukan bukan membuang, tapi memilah. Yang sejalan dengan wahyu Allah yang terakhir, Al-Qur’an, diterima. Yang menyimpang, ditinggalkan. Dan yang ambigu... ya, didiskusikan tanpa saling menuding apalagi mengkafirkan—kalau bisa.
Karena umat beragama seharusnya bersaudara dalam pencarian makna, bukan pesaing dalam rebutan kebenaran eksklusif.
Baca juga: Catatan Cak AT: Bunker Super Nuklir Iran
Walhasil, Kitab Ulangan adalah bukti bahwa Nabi Musa as tidak pernah berhenti berharap pada bangsanya, meski sudah sering dikecewakan. Ia ulang hukum, ia ulang sejarah, ia ulang janji —hanya agar umatnya tidak tersesat lagi.
Islam pun datang dengan semangat yang sama. Bukan untuk menyingkirkan Taurat, tapi untuk menyempurnakannya, mengoreksi yang keliru, dan meluruskan arah kiblat wahyu yang sempat bengkok oleh zaman dan tafsir.
Melalui Ulangan 18:18, Islam melihat benang merah kenabian, bukan garis putus. Nabi Muhammad bukan rival Nabi Musa, tapi penggenap janji Tuhan kepada dua anak Ibrahim —bukan hanya yang tinggal di tanah subur Kanaan, tapi juga yang tumbuh di pinggiran tandus Mekah.
Baca juga: Iran Hujani Israel dengan Rudal, Yerusalem Porak-poranda
Dan di momen ketika umat Islam mengenang peristiwa pengorbanan ayah dan anak di tengah padang, kita diingatkan kembali: warisan Ibrahim bukan soal garis keturunan semata, tapi keberanian menempatkan kehendak Tuhan di atas ego manusia.
Jadi pertanyaannya bukan lagi siapa nabi yang kita klaim miliki, tapi: Apakah kita benar-benar memahami pesan mereka, atau cuma mewarisi tafsirnya sesuai selera? (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 20/6/2025