Umroh Mandiri: Tak Semua yang Mandiri Siap Sendiri

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Pagi itu, ketika membuka layer ponsel, hampir semua lini media menulis berita yang sama, "Pemerintah Resmi Legalkan Umrah Mandiri".
Judulnya tampak sederhana, tapi gema kalimat itu terasa panjang di kepala saya. Ada getar aneh yang tak mudah dijelaskan antara rasa gembira dan rasa waswas.
Saya menatap layar ponsel cukup lama, sambil menyeruput kopi yang tiba-tiba terasa dingin.
Berita itu menulis: pemerintah bersama DPR RI resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Baca juga: Wakil Ketua DPRD Depok Yeti Wulandari Dukung Aksi Bersih Kali Cipinang, Ini Aksi dan Pesannya
UU itu disetujui pada 26 Agustus 2025 lalu dalam rapat paripurna DPR RI. Dalam Pasal 86 disebutkan: “Perjalanan Ibadah Umrah dilakukan: a. melalui Penyelenggara Ibadah Haji dan Umrah (PPIU); b. secara mandiri; atau c. melalui Menteri.”
Satu kalimat hukum yang singkat, tapi mengguncang ekosistem panjang dunia ibadah di Indonesia. Untuk pertama kalinya, jamaah kini bisa berangkat tanpa biro travel cukup mengurus visa, tiket, dan layanan resmi Kementerian Agama (Kemenag).
Pemerintah menyebut kebijakan ini sebagai langkah efisiensi, kemandirian, dan perluasan akses ibadah. Namun tak lama setelah kabar itu tersebar, muncul gelombang protes dari pelaku biro perjalanan umrah di berbagai daerah.
Mereka khawatir jamaah kehilangan perlindungan dan bimbingan, ekonomi umat terpukul, dan pasar umrah ke depan dikuasai oleh platform marketplace global.
Baca juga: Keren! Kehadiran Pasukan Polisi Berkuda di CFD Margonda, Dapat Apresiasi Warga Depok
Kebebasan yang Menggoda
Kita hidup di zaman di mana hampir semua hal bisa diurus dari layar ponsel. Pesan makanan, pesan tiket, pesan sparepart mobil, bahkan ziarah ke Tanah Suci.
Maka ketika umrah mandiri dilegalkan, banyak orang merasa ini kabar gembira: ibadah kini bisa lebih murah, lebih cepat, dan lebih bebas dari birokrasi.
Kemenag menilai, aturan baru ini menyesuaikan dengan perkembangan teknologi dan permintaan jamaah yang semakin mandiri.
Masyarakat kelas menengah urban yang akrab dengan internet dan marketplace merasa lebih nyaman mengatur semuanya sendiri.
Namun di balik semangat efisiensi itu, ada bahaya halus yang sering luput dari perhatian: pertanyaan besarnya adalah apakah semua jamaah siap menjadi mandiri?
Antara Izin dan Risiko
Umrah bukan perjalanan wisata. Ia adalah ziarah spiritual yang menuntut ilmu, kesiapan fisik, dan kedewasaan batin.
Padahal selama ini, biro resmi PPIU bukan hanya menjual tiket dan hotel, tetapi juga menjadi pendamping/pelindung jamaah, menangani visa, mendampingi manasik, dan menolong mereka yang tersesat di tengah lautan manusia di Tanah Suci.
Ketika jalur mandiri dibuka, sebagian tanggung jawab itu berpindah ke pundak jamaah sendiri. Bayangkan seorang jamaah pertama kali berangkat, memesan semua kebutuhan lewat aplikasi global tanpa pendamping.
Ia tiba di Makkah sendirian, mungkin kehilangan arah atau tidak tahu cara melapor ketika paspornya tertinggal di hotel.
Di titik itu, umrah mandiri bukan lagi tentang kemandirian, melainkan kesendirian yang penuh risiko. Dan di balik kesendirian itu, mungkin juga ada ketimpangan baru: antara jamaah yang paham teknologi dan yang tak paham sama sekali.
Baca juga: Kemendikdasmen: Guru Kelas di SD Harus Bisa Bahasa Inggris
Suara dari Dua Sisi
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyambut legalisasi ini dengan hati-hati. Mereka menilai, kebijakan tersebut bisa membuat ibadah umrah lebih terjangkau, asalkan dibarengi literasi ibadah dan perlindungan jamaah.
Namun asosiasi penyelenggara umrah seperti Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) menyebut langkah ini terlalu berani.
Mereka khawatir sistem baru ini membuka ruang penipuan, menghapus lapangan kerja lokal, dan menyerahkan kendali ibadah umat ke tangan platform asing yang menjual “paket digital Tanah Suci.”
Dua pandangan itu saling berlawanan tapi sama-sama benar. Kebijakan ini memang membuka peluang, tapi juga mengguncang struktur lama yang selama ini menopang ekonomi umat di bawah industri travel keagamaan.
Negara Membuka Jalan, Umat Menentukan Arah
Negara kini telah membuka jalan. Namun keberhasilan umrah mandiri tak ditentukan oleh legalitas semata, melainkan oleh kesiapan jamaah dan sistem pengawasan yang kuat. Pemerintah harus memastikan layanan digital yang resmi, aman, dan bebas dari manipulasi.
Jamaah pun perlu belajar menjadi peziarah yang cerdas: memahami tata cara ibadah, mengenali risiko perjalanan, dan menyiapkan mental sebelum berangkat. Barangkali, inilah saatnya pembimbingan ibadah menyesuaikan zaman.
Bukan lagi sekadar manasik di aula besar, tetapi modul digital, mentor daring, dan komunitas jamaah mandiri yang saling menguatkan. Dengan begitu, umrah mandiri tak berarti “sendiri”, tapi “bersama dalam kesadaran baru.”
Ketika Ibadah Tergoda Menjadi Transaksi
Namun di tengah semua kemudahan itu, ada satu ancaman yang diam-diam merayap: komersialisasi ibadah. Ketika semua hal diukur dengan harga, ibadah pun terancam direduksi menjadi transaksi. Orang mulai memilih paket umrah seperti memilih produk di toko daring: banding harga, klik, bayar, berangkat.
Jika itu yang terjadi, umrah mandiri hanya akan mengganti ketergantungan lama (biro) dengan yang baru (platform). Padahal esensi umrah bukan pada cara berangkat, tapi pada niat dan kesungguhan untuk kembali suci. Ibadah kehilangan maknanya ketika dikelola sepenuhnya oleh logika pasar.
Baca juga: Catatan Cak AT: Copytrade tanpa Repot
Belajar dari Kesunyian
Seorang kawan pernah bercerita usai pulang dari Makkah. “Yang paling berkesan,” katanya, “bukan ketika saya bersama rombongan, tapi ketika saya berjalan sendirian di pelataran Ka'bah, hanya saya dan Tuhan.”
Kalimat itu menancap lama di kepala saya. Kesendirian yang disadari ternyata bisa menghadirkan kedekatan yang tak ditemukan dalam keramaian.
Mungkin di sanalah letak harapan dari umrah mandiri: agar setiap orang belajar bertanggung jawab atas langkahnya sendiri, tapi tidak kehilangan arah menuju makna.
Ujian Kedewasaan Umat
Kebijakan ini, menurut saya, adalah ujian kedewasaan umat. Negara boleh memberi kebebasan, tapi umatlah yang menentukan arah perjalanannya.
Apakah umrah mandiri akan menjadi ruang baru bagi kemandirian yang berilmu, atau justru membuka celah bagi kekacauan spiritual dan ekonomi?
Baca juga: Rencana Pemutihan Tunggakan BPJS Kesehatan, Senator Berikan Tiga Rekomendasi
Jawabannya ada di tangan kita bersama: jamaah, pemerintah, dan masyarakat. Jika kebijakan ini dijalankan dengan kejujuran, bimbingan, dan kesadaran, maka ia bisa menjadi babak baru dalam spiritualitas Islam Indonesia lebih matang, lebih mandiri, dan lebih bermakna.
Tapi jika dijalankan hanya dengan semangat efisiensi tanpa perlindungan, maka yang lahir bukan umat mandiri, melainkan umat yang kehilangan arah.
Akhirnya, setiap perjalanan ke Tanah Suci selalu dimulai dari satu titik yakni niat. Innamal a'malu binniyat, sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya.
Dan setiap niat akan diuji bukan oleh jarak, tapi oleh kesungguhan hati. Sebab kemandirian sejati bukan berarti berjalan tanpa orang lain, melainkan berjalan dengan kesadaran akan arah dan tujuan.
Karena sejatinya, tak semua yang mandiri, siap sendiri. (***)
Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior
