Rencana Pemutihan Tunggakan BPJS Kesehatan, Senator Berikan Tiga Rekomendasi

RUZKA–REPUBLIKA NETWORK – Rencana pemerintah untuk melakukan “pemutihan” tunggakan BPJS Kesehatan senilai Rp20 triliun mendapat dukungan Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris. Menurutnya, kebijakan ini bukan hanya strategis dari sisi sosial, tetapi juga visioner dalam konteks keberlanjutan sistem jaminan kesehatan nasional.
Langkah ini memperlihatkan wajah negara yang hadir secara konkret untuk melindungi warga yang paling rentan, tanpa kehilangan arah pada penguatan tata kelola keuangan publik.
Menurut Senator Jakarta ini, dari sisi ekonomi makro, kebijakan ini juga memiliki efek positif jangka menengah. Dengan diaktifkannya kembali jutaan peserta, basis pendapatan rutin BPJS Kesehatan akan meningkat karena iuran baru mulai kembali dibayarkan.
Aliran dana yang lebih sehat ini akan memperkuat prinsip gotong royong dalam sistem JKN, di mana peserta aktif yang mampu turut menopang pembiayaan peserta yang tidak mampu.
“Apresiasi dan dukungan kepada Pemerintah atas rencana kebijakan pemutihan tunggakan BPJS Kesehatan. Kebijakan ini dapat menjadi tonggak menuju sistem jaminan kesehatan nasional yang lebih inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Secara tidak langsung, pemutihan ini adalah bentuk investasi sosial yang menghasilkan dividen fiskal di masa depan,” ujar Fahira Idris di Jakarta, Sabtu (25/10/2025).
Agar kebijakan ini berjalan efektif dan memberi dampak signifikan, setidaknya terdapat tiga rekomendasi yang patut mendapat perhatian. Pertama, verifikasi data yang ketat dan terintegrasi karena langkah ini perlu diwujudkan melalui integrasi sistem antara Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN), Data Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), serta data perpajakan dan ketenagakerjaan.
Pemerintah dapat membangun dashboard pemutihan BPJS berbasis digital yang memungkinkan verifikasi otomatis berdasarkan tingkat pendapatan, status pekerjaan, dan kondisi sosial. Melalui mekanisme cross-check antarlembaga seperti Kemenkeu, Kemensos, dan BPJS Kesehatan, peserta yang benar-benar tidak mampu dapat teridentifikasi secara objektif.
Kedua, penguatan literasi dan perilaku kepesertaan berkelanjutan. Kebijakan pemutihan seharusnya menjadi titik awal untuk membangun budaya baru dalam kepesertaan JKN yaitu bukan sekadar mendorong masyarakat agar kembali aktif, tetapi memastikan peserta tetap aktif setelahnya. Menurutnya, literasi tidak cukup berhenti pada pemahaman manfaat BPJS, melainkan harus diperluas menjadi literasi finansial dan perilaku iuran berkelanjutan.
BPJS Kesehatan, lanjut Fahira Idris dapat mengembangkan “coaching keuangan mikro” bagi peserta, misalnya bekerja sama dengan koperasi, BUMDes, atau platform keuangan digital untuk membantu peserta mengatur pengeluaran dan menabung khusus untuk iuran. Selain itu, sistem reward berbasis perilaku dapat diperkenalkan, seperti potongan kecil bagi peserta yang membayar tepat waktu selama 12 bulan berturut-turut.
Ketiga, koordinasi antara pusat dan daerah dapat diperkuat melalui pembentukan tim koordinasi lintas pemerintah di bawah Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri. Tim ini bertugas menyinkronkan data peserta, memastikan pembagian beban antara APBN dan APBD, serta memantau pelaksanaan pemutihan di lapangan.
“Pemerintah daerah juga perlu diberi ruang untuk melakukan cleansing data secara lokal agar peserta yang berpindah status, misalnya dari mandiri menjadi PBI, tidak tercatat ganda,” tandas Fahira Idris. (***)
