Catatan Cak AT: Seni Perang dalam Diam

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Mari kita mulai dengan pertanyaan sederhana yang bahkan para ahli strategi di Pentagon pun kini hanya bisa jawab dengan gelengan kepala:
"Bagaimana bisa negara yang disanksi, diisolasi, dan dipelintir citranya selama puluhan tahun justru tampil sebagai dalang orkestra geopolitik yang bikin geger satu planet?"
Jawabannya, tentu saja, bukan pada rudal semata, bukan pada nuklir yang katanya "sebentar lagi jadi" sejak zaman Bush pertama.
Jawabannya ada pada satu hal yang selama ini dianggap tak penting oleh mereka yang merasa sudah punya segalanya: keyakinan, kesabaran, serta kemampuan menjalin pertemanan dan solidaritas yang tak terdeteksi radar satelit.
Baca juga: Kepulangan Jemaah Haji, Kenali Gejala Penyakit Menular yang Wajib Diwaspadai
Di dunia barat, kekuatan diukur dari jumlah pangkalan militer, ukuran kapal induk, atau seberapa banyak Anda bisa memata-matai sekutu sendiri tanpa malu-malu.
Tapi Iran, oh Iran, bermain di liga yang berbeda. Ia membentuk apa yang oleh para jurnalis Barat disebut sebagai “jaringan bayangan”. Nama yang terdengar menyeramkan, padahal aslinya lebih mirip grup WhatsApp lintas negara dengan admin yang sabar dan ideologis.
Hezbollah di Lebanon? Sudah seperti menantu idaman. Houthis di Yaman? Saudara jauh yang tetap setia meski dompet menipis. Milisi di Irak, Gaza, dan bahkan bisik-bisik di Afrika dan Amerika Latin?
Mungkin juga kita yang, secara diam-diam, ingin membantu Iran, meski sekedar doa. Semua saling terhubung oleh satu hal: dendam kolektif terhadap hegemoni yang suka ngajak perang tapi ogah kalah.
Baca juga: Catatan Cak AT: Otak Sains Israel Terbakar
Iran tidak memerintah mereka. Ia menginspirasi. Kalau AS itu seperti bos galak di kantor open space yang suka marah karena wifi lemot, Iran adalah mentor spiritual yang diam-diam membelikan modem baru.
Teori ‘ashabiyah Ibnu Khaldun sangat relevan untuk memahami fondasi kekuatan Iran dan jaringan sekutunya, khususnya dalam kerangka solidaritas ideologis dan resistensi lintas-negara.
‘Ashabiyah dalam karya monumentalnya al-Muqaddimah dimaknai Ibnu Khaldun sebagai solidaritas kelompok atau semangat kebersamaan yang mengikat suatu komunitas dalam perjuangan bersama, dan menjadi kekuatan pendorong bagi lahir dan bangkitnya peradaban.
Ibnu Khaldun menyebut bahwa ‘ashabiyah adalah energi sosial yang memungkinkan suatu kelompok menggalang kekuatan, bertahan dari tekanan luar, dan bahkan mendirikan negara hingga peradaban.
Baca juga: Pesawat Saudi Airlines Angkut 442 Jemaah Haji Asal Depok Dapat Ancaman Bom
Dalam konteks Iran dan jaringan perlawanan yang dibangunnya —dari Hizbullah di Lebanon hingga milisi Houthi di Yaman— ‘ashabiyah bukanlah sekadar fanatisme sektarian, melainkan kesadaran kolektif atas penindasan dan semangat resistensi terhadap hegemoni global.
Itulah kelompok _mustadh'afin_, kata para ideolog Iran. Mereka bukan hanya memimpin dengan senjata dan diplomasi, tapi juga menyuntikkan visi ideologis yang menyatukan berbagai kelompok dalam rasa kebersamaan —bahwa mereka semua adalah bagian dari satu perlawanan yang lebih besar.
Seperti dikatakan Ibnu Khaldun, kekuatan sejati tak lahir dari senjata, tapi dari ‘asabiyah yang mengakar: "Al-mulk ghāyah wa al-‘asabiyah wasīlah" — kekuasaan adalah tujuan, dan solidaritas adalah jalan mencapainya.
Maka kekuatan Iran hari ini, justru, lahir dari sebuah _‘ashabiyah_ transnasional, jaringan keyakinan yang melintasi batas negara dan menciptakan tatanan baru yang ditakuti para penguasa lama.
Baca juga: Iran Eksekusi Mati Mata-mata Mossad Israel, Dengan Cara Digantung
Sementara media Barat sibuk memotret satelit yang memindai pabrik nuklir, diplomat Iran sibuk ngopi di Kazakhstan, mampir ke Venezuela, dan sempat-sempatnya diskusi bilateral sambil mendaki pegunungan di Asia Tengah.
Mereka tak lagi datang ke meja yang tak memberi mereka kursi. Mereka bikin meja sendiri. Namanya BRICS, Shanghai Cooperation, dan berbagai forum anti-sanksi. Di sana, dolar tak diundang, dan swift dianggap sudah terlalu swift—lebih cocok dijadikan nama boyband daripada sistem keuangan.
Bahkan barter—yang dulu dianggap gaya kuno—kembali jadi tren, berkat Iran. Minyak ditukar gandum. Drone ditukar software. Gula mungkin belum, tapi siapa tahu minggu depan.
Jika dulu Persia dikenal karena karpet ajaib, kini Iran dikenal karena drone yang murah meriah tapi bisa menembus radar mahal. Shahed, misalnya, bukan hanya nama pemuda ganteng di serial Ramadan, tapi juga mesin terbang yang bikin NATO menggaruk kepala kolektifnya.
Baca juga: Prabowo Kembalikan Empat Pulau ke Aceh, Harusnya Tito Mundur dari Jabatannya
Drones Iran seperti motor bebek: tangguh, hemat, dan bisa dikendarai siapa saja. Bahkan teman-teman Iran di Gaza dan Yaman ikut dapat. Tapi jangan salah, ini bukan charity. Ini soft power ala militer. Sekali terbang, dua tiga pangkalan terintai.
Dan jangan lupa soal dunia digital. Di mana hacker Iran bisa membobol data, mematikan jaringan, dan membuat banyak perusahaan asuransi mendadak jualan perlindungan cyber. Bukan tanpa alasan Washington menyebutnya “threat”. Tapi mereka lupa: teknologi juga bisa jadi teologi jika dibumbui ideologi.
***
Apa yang lebih kuat dari rudal? Narasi.
Iran tak cuma ekspor minyak atau pistachio, tapi juga ekspor wacana. Dari khotbah Jumat sampai meme perlawanan, dari film festival sampai lembaga pendidikan Islam, Iran membangun image sebagai pendekar yang tak tunduk pada penjajah zaman now.
Baca juga: Coffee Morning, Imigrasi Depok dan PWI Jalin Kolaborasi, Satu Meja Satu Visi
Tak peduli Anda Sunni atau Syiah, Latin atau Afrika, selama Anda merasa pernah dipermalukan oleh IMF, Anda bisa relate. Ideologi ini bukan sekadar jualan kata-kata. Ini energi alternatif, lebih hijau daripada solar panel, karena ditenagai keyakinan dan rasa keadilan.
Selama ini, peta dunia digambar dari perspektif London atau Washington. Tapi Iran —dengan segala peluh dan darah— membantu dunia membalik kompas.
Kini, sumbu kekuatan global bukan lagi antara Wall Street dan Whitehall, tapi antara Teheran, Moskow, dan Beijing. Sebuah sumbu yang dulu dianggap mustahil karena katanya tak ada yang bisa menyatukan mereka kecuali kebencian pada McDonald's.
Tapi lihatlah, Iran bukan hanya menyatukan. Ia memperkuat. Ia mengajarkan satu hal: bahwa jadi kuat bukan soal berteriak paling keras, tapi soal mampu bertahan ketika semua bilang Anda akan hancur.
Baca juga: Catatan Cak AT: Bunker Super Nuklir Iran
Jadi, apa fondasi kekuatan Iran? Bukan nuklir. Bukan rudal. Tapi visi yang dijalankan dengan sabar, strategi yang dibungkus solidaritas, dan keyakinan yang tak bisa diembargo.
Iran tak sedang berusaha jadi superpower dalam definisi lama. Ia hanya ingin memastikan satu hal: jika sejarah ditulis ulang, mereka tak lagi hanya jadi catatan kaki.
Dan kalau Barat bingung kenapa dunia mendadak berubah arahnya, mungkin karena selama ini mereka terlalu sibuk bicara... dan lupa mendengarkan. Iran, di sisi lain, lebih banyak mendengar —dan sekarang, seluruh dunia mulai mendengarkannya.
Baca juga: Iran Hujani Israel dengan Rudal, Yerusalem Porak-poranda
Refleksi: Bila esai ini membuat Anda kesal, mungkin Anda butuh lebih banyak membaca. Bila membuat Anda tertawa, itu bonus. Tapi bila membuat Anda berpikir ulang tentang siapa sebenarnya yang sedang bangkit, maka tugas tulisan ini selesai.
Selamat datang di babak baru geopolitik: Di mana sanksi melahirkan simfoni, dan diam menyusun kemenangan. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 19/6/2025