Catatan Cak AT: Elegi Berhaji Melintasi Gurun Saudi

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Mekkah —kota suci yang menjadi kiblat jutaan hati Muslim di seluruh dunia. Di sanalah Ka’bah berdiri, sebagai poros spiritual umat Islam. Ke sanalah semua cita-cita perjalanan mereka tertuju.
Tapi bagi sebagian orang, Mekkah bukan sekadar tempat ibadah. Ia adalah titik kulminasi harapan, impian tertinggi dalam hidup. Dan bagi sebagian lainnya, ia menjadi titik temu terakhir antara cita-cita dan ajal.
Seperti yang dialami Syukron Mahbub, M.Sy. —seorang akademisi dari Madura, Kepala Prodi Hukum Keluarga Islam di Universitas Islam Madura.
Baca juga: Catatan Cak AT: Selamat Tinggal, Wahai Mina
Beliau mengembuskan napas terakhir bukan di pelataran Masjidil Haram, tapi di gurun sunyi Taniem, wilayah antara Makkah dan Madinah.
Kabar duka itu pertama kali muncul di laman Facebook resmi kampusnya, 27 Mei 2025: _“Innalillahi wa inna ilayhi rajiun. Selamat jalan, Pak Syukron. Doa kami menyertaimu.”_
Tapi bahkan saat itu, masih ada yang berharap kabar itu tidak benar. Sebab begitulah hati manusia: ia terus menggantung di antara kabar dan harapan, di antara keyakinan dan penyangkalan.
Kini, Syukron benar-benar telah pergi. Ia tak lagi membawa visa ziarah, melainkan paspor keabadian.
Baca juga: Ingin Berkiprah di Politik, Jamiluddin Ritonga: Bentuk Inkonsistensi Jokowi
Media arus utama baru menyusul memberitakan wafatnya hampir dua minggu kemudian, 9 Juni. Tapi alih-alih menyampaikan duka, beberapa justru melekatkan label: _“haji ilegal”._ Begitu dingin, begitu kering empati. Seolah-olah yang wafat bukan seorang peziarah, melainkan pelanggar.
Padahal ini sungguh ironis. Syukron adalah seorang ahli hukum Islam, yang tentu sangat paham fatwa-fatwa seputar manasik dan keabsahannya. Tapi pada akhirnya, ia menjadi korban dari sistem haji yang kian sempit dan keras.
Media menyebutnya "ilegal", seakan lupa bahwa ia bukan pencuri, bukan penyelundup, melainkan penyelusup harapan. Dan harapan, sebagaimana zamzam yang tak pernah kering, mengalir dari hati yang ingin pulang kepada Tuhan.
Baca juga: Senator RI Minta Presiden Bertindak Tangani Polemik Tambang Raja Ampat
Rp 105 juta telah ia bayarkan dua tahun sebelumnya. Jelas niatnya bukan berhaji menempuh jalan gelap, tapi lewat jalur plus yang selama ini dikatakan resmi —jalur yang juga legal, hanya saja kalah cepat dari antrean.
Dan dana itu bukan hasil kejahatan. Ia dapatkan dari jerih payah dan pengorbanan: pinjaman, gadai emas, mungkin milik ibunda, istrinya, atau warisan keluarga.
Tapi sebesar apa pun niatnya, sekeras apa pun usahanya, ia tetap terjerat dalam sistem yang tak memandang wajah, tak mengukur niat.
Dan sistem itu beku. Ia tak mengenal kasih. Bahkan tak tahu, atau tak mau tahu, bahwa antrean haji reguler di negeri ini telah menjelma jadi penderitaan kolektif.
Baca juga: Komisi III DPR Apresiasi Polri Bekuk Preman Berkedok Ormas
Di banyak daerah, daftar tunggu mencapai 42 tahun. Bayi yang mendaftar hari ini, bisa jadi baru berhaji saat rambutnya memutih —jika Allah panjangkan umurnya.
Wajar jika sebagian mulai mencari celah. Tapi celah itu kini penuh ranjau. Sebab Saudi hari ini bukan lagi tanah badui yang lentur, melainkan kerajaan modern yang serba terpantau: kamera pintar, pemindai wajah, drone di langit gurun, hingga kecerdasan buatan yang bisa membaca arah langkah kaki.
Maka, para pencari surga pun harus hati-hati. Tapi bagaimana jika bahkan seorang intelektual seperti Syukron pun tertipu?
Ia bukan orang awam. Ia tahu hukum. Ia tak nekat, tapi ia rindu. Ia merasa cukup mampu secara ekonomi dan usia.
Baca juga: Catatan Cak AT: Singkong Saja Impor
Tapi hukum tak bisa menangkap kadar rindu. Ia tak bisa mengukur rasa takut akan kematian yang datang sebelum sempat mencium Hajar Aswad. Dan dalam kondisi semacam itu, logika kerap tunduk pada cinta. Cinta yang melampaui batas.
Kita tak tahu apa yang ada di benak Syukron saat ia berjalan kaki di bawah terik matahari padang Taniem. Ia dan dua temannya diturunkan paksa oleh sopir taksi yang ketakutan tertangkap aparat.
Si sopir kabur, dan mereka bertiga dibiarkan berjalan tanpa arah, menembus gurun yang menyengat. Dan mereka terus berjalan, dengan bekal air yang sudah habis diteguk.
Di bawah langit Arab yang menyala, mereka terus melangkah, mungkin dengan terus melantunkan, “Labbaikallahumma labbaik ” Tapi langkah Syukron tak sampai ke Ka’bah. Ia lebih dulu dijemput malaikat maut, di padang tandus yang sunyi.
Baca juga: 100 Hari Pramono-Rano, Fahira Idris Beri Apresiasi dan Rekomendasi
Ia ditemukan telah wafat, setidaknya sepuluh hari menjelang puncak ibadah haji. Sementara dua temannya dilarikan ke rumah sakit akibat dehidrasi akut.
Dan negeri ini —yang seharusnya menangis— justru buru-buru membuat pernyataan resmi. Tentang ilegalitas, tentang pelanggaran. Tak ada jeda untuk mendoakan, tak ada ruang untuk belasungkawa.
Media pun turut menghakimi. Kompas, Tribun, dan lainnya menulis dengan tajuk “jamaah haji ilegal.” Padahal di hari-hari menuju Arafah, mestinya lidah kita lebih sering mengucap istighfar daripada melabeli.
Apakah mencoba menjadi tamu Allah dengan cara yang salah adalah dosa paling besar? Ataukah membiarkan jutaan umat mengantre puluhan tahun untuk beribadah tanpa solusi adalah bentuk pengabaian yang lebih kejam?
Baca juga: Disdukcapil Depok Ingatkan Warga Waspadai Penipuan Berkedok Aktivasi Identitas Kependudukan Digital
Ini bukan sekadar kisah satu orang. Ini cermin dari sistem yang membuat ibadah menjadi eksklusif —dibatasi antrean, kelas sosial, dan birokrasi.
Haji memang panggilan, tapi di zaman ini, ia juga soal barcode dan algoritma.
Padahal agama ini lahir dari kerumunan —dari kebersamaan, dari zikir yang menggema di Darul Arqam, dari pasukan kecil di Badar, dari para peziarah yang bertumpuk di padang Arafah.
Kini, kerumunan justru ditakuti. Dan para pencari surga yang tertinggal di pinggir jalan, dianggap mengganggu. Tapi tidakkah yang lebih gelap adalah hati yang tak lagi bisa melihat bahwa di balik haji “ilegal” itu, ada manusia, ada keluarga, ada cinta?
Baca juga: Catatan Cak AT: Regulasi Haji Sendiri-Sendiri
Ustadz Syukron, semoga engkau telah menunaikan haji yang hakiki. Sebab haji sejati mungkin bukan soal mengelilingi Ka’bah, tapi soal menggiring diri hingga batas akhir cinta dan pengorbanan.
Engkau telah mencintai perjalanan ini, walau penuh risiko. Dan cinta, sebagaimana para sufi katakan, adalah bentuk ibadah tertinggi.
Kami yang tertinggal akan belajar: bahwa semangat bisa membunuh jika jalannya keliru.
Tapi kami juga paham, semangatmu adalah gema dari jutaan jiwa yang terlalu tua untuk menunda, dan terlalu rindu untuk menunggu.
Semoga engkau lebih dulu sampai, Ustadz. Kami akan menyusul. Entah lewat haji, atau lewat kematian. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 11/6/2025