Jurnalis Senior yang Menjaga Logika

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Saya tidak tahu apakah ketika memandu acara, Karny Ilyas masih menempatkan diri sebagai wartawan atau sekadar moderator dan pembawa acara. Jelas bahwa dia punya reputasi dan latar belakang jurnalistik yang mengesankan.
Pernah bekerja di harian ‘Suara Karya’, majalah TEMPO dan memimpin redaksi di majalah ‘Forum Keadilan’ - memimpin redaksi Liputan 6 di SCTV sebelum hijrah ke ANTV dan TVOne.
Namun sejak memoderatori ILC; “Indonesia Lawyers Club” - dari teve hingga kanal Youtube Karni Ilyas Club - secara intens, terstuktur, sistematis adan masif (TSM) Karny justru merusak jurnalisme kredibel dan indepeden. Dengan sengaja dia menghadirkan narasumber yang tidak kompeten demi sensasi dan demi rating.
Baca juga: Kesaktian Pancasila, Ini Dialog Presiden Soekarno dengan Presiden Josef Broz Tito
Apa pun topik yang dibahas, narasumber yang diundangnya itu itu saja, sosok sosok yang anti pemerintah, anti presiden dan leluasa meluapkan kenegatifan dan kebencian.
Karny Ilyas, 72 tahun, melakukan apa yang dikhawatirkan oleh pakar media global, yaitu media tidak lagi menjadi penjaga (‘gatekeeping’) pengetahuan, melainkan panggung bebas bagi siapa saja yang bisa berbicara paling lantang, paling kontroversial, atau paling menghibur—terlepas dari apakah mereka benar-benar memahami apa yang mereka bicarakan.
Batas antara ahli (expert) dan awam (amateur) kini semakin kabur. Neil Postman, dalam "Amusing Ourselves to Death" (1985), sudah memperingatkan bahwa televisi mengubah segala sesuatu—termasuk berita dan diskusi serius—menjadi hiburan.
Baca juga: Catatan Cak AT: Homo Erectus Purba di Laut Madura
Dalam dunia yang didominasi oleh rating, seorang ilmuwan yang berbicara dengan data kompleks, kalah menarik dibandingkan seorang selebritas yang mengumbar teori konspirasi.
Televisi mengubah makna dari 'mendapatkan informasi' dengan menciptakan jenis informasi yang mungkin dapat disebut 'disinformasi'... informasi yang salah tempat, tidak relevan, terfragmentasi, atau dangkal yang menciptakan ilusi mengetahui sesuatu tetapi sebenarnya menjauhkan seseorang dari pengetahuan (Postman, 1985)
Semakin marak, acara-acara ‘talkshow’ politik kita mengundang pakar dadakan - bahkan pakar dari penyebutan sendiri, bukan pengakuan dari para ahli, dari komunitas / klub / asosiasi pakar sejenis - dengan latar belakang yang bukan bidangnya, dengan gagah menyebut diri - dan media serta merta mengakuinya, sebagai “pakar telekomatika” - “pakar forensik digital” - “pakar hukum tata negara” , padahal mereka adalah kaum pecatan, mantan komisaris BUMN yang sakit hati pada pemerintah yang sedang meluapkan dendam kesumatnya.
Baca juga: Catatan Cak AT: Wajah Beethoven Setelah Dua Abad
Para pembaca berita, presenter, 'host' acara tampil aneh, baik dandanan maupun cara menyampaikan - yang mengaburkan pesan yang disampaikan, lantaran mengejar sensasi dan perhatian.
PIERRE BOURDIEU, sosiolog media, dalam “On Television” (1996), mengkritik bagaimana logika pasar telah mengubah jurnalisme menjadi mesin produksi sensasi.
Menurutnya, media cenderung memilih isu yang "menjual" ketimbang yang penting, sehingga mendorong pembentukan realitas palsu.
"Televisi menikmati monopoli 'de facto' atas apa yang terlintas di benak sebagian besar masyarakat dan apa yang mereka pikirkan." (Bourdieu, 1996).
Baca juga: Karya Para Desainer Depok Tampil Memukau di Catwalk IFW 2025
Di Indonesia, fenomena ini terlihat jelas dalam pemberitaan kriminal yang dieksploitasi secara berlebihan, juga bahasan isu ijazah kepala negara berdasarkan unggahan di media sosial. Bukan kejelasan yang didapat tapi sensasi atas kontroversinya yang terus "dirawat" seolah isu penting nasional.
Dalam bukunya “The Death of Expertise “(2017), Tom Nichols dengan pedas mengkritik masyarakat modern yang semakin anti-intelektual, di mana pendapat ahli disamakan dengan opini amatir, dan kepakaran dianggap sebagai bentuk elitisme yang harus ditolak. Media massa—khususnya televisi—telah menjadi salah satu aktor utama dalam mempopulerkan fenomena ini.
"Kita tengah menyaksikan matinya cita-cita keahlian itu sendiri, keruntuhan yang dipicu Google, berbasis Wikipedia, dan dibanjiri blog yang memisahkan antara profesional dan orang awam, mahasiswa dan pengajar, orang yang tahu dan orang yang ingin tahu." (Nichols, 2017).
Baca juga: Komunitas Ketoprak Guru Besar UI Pentaskan Lakon Ciung Wanara, Kuatkan Kejayaan Budaya Sunda
Mereka diberi panggung diberi ‘mike’ (corong) untuk bicara bukan karena kompetensi, melainkan karena kemampuan mereka memancing emosi penonton.
Psikolog David Dunning dan Justin Kruger menemukan bahwa “orang dengan kompetensi rendah justru cenderung ‘over estimasi’ pengetahuannya”.
Media massa - terutama televisi - yang kutipannya, potongan dan penggalannya beredar si sosial media - tidak lagi menjadi ruang informasi, melainkan panggung sirkus di mana yang paling berisik, paling kontroversial, dan paling tidak kompeten lah yang mendapat sorotan.
Alih-alih mengoreksi kesalahan ini, media malah memperkuatnya dengan memberikan panggung pada orang-orang yang seharusnya tidak pantas menjadi narasumber.
Baca juga: Catatan Cak AT: Berhaji Itu Undangan Menjadi Tamu Allah
Jurnalis senior, sekelas Karny Ilyas, yang melekat padanya cita cita mulia jurnalis sebagai pilar demokrasi, penjaga kebenaran - kini telah bertransformasi menjadi algojo logika, penjual ilusi, dan kurator kedangkalan.
Entah bagaimana caranya agar media kembali ke khitahnya sebagai “strict gatekeeping” dimana narasumber yang diundang bicara pada ahli yang benar-benar kompeten.
Tak banyak dilakukan, di pojok majelis fesbukiyah yang mulia ini. Kecuali saya mengingatkan kita semua agar sebagai konsumen informasi lebih kritis. Seperti dikatakan Tom Nichols, (penulis buku “The Death od Expertise”) “Masalahnya bukanlah ketidaktahuan, tetapi ilusi pengetahuan.”(“The problem is not ignorance, but the illusion of knowledge.").
Baca juga: Lintas Lembaga Kesehatan Audiensi dengan Menkes Swedia Bahas Penguatan Sistem Kesehatan
Meutya Hafid yang ditunjuk Presiden Prabowo sebagai Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi, sejak 21 Oktober 2024 lalu) seharusnya menerapkan regulasi lebih ketat.
Tapi di media nasional, dia sosok “junior” dibanding “senior” yang kini melacurkan jurnalisme - menjual kedangkalan sebagai hiburan. Mengeksploitasi kebodohan demi rating. (***)
Penulis: Dimas Supriyanto/Jurnalis senior