Catatan Cak AT: Akhir Kata Yogi (Tapi Jangan Dihapus Lagi)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Selamat datang di Indonesia, tanah di mana menulis bisa membuatmu viral, banyak dibaca orang... atau malah masuk rumah sakit. Bahkan bisa jadi keduanya dalam satu minggu, atau mungkin juga hanya dalam satu hari atau beberapa jam.
Yogi Firmansyah, bukan nama samaran, adalah aparat sipil negara biasa di Kementerian Keangan yang, dengan otak waras, melihat keadaan. Alih-alih membuat konten "unboxing APBN," dia justru memilih menulis opini.
Judulnya? "Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?" dimuat di Detik, 22 Mei 2025. Sayangnya, artikelnya rupanya terlalu bernada ofensif. Mungkin karena judulnya mengandung kata "jenderal" yang sedang ditugaskan Presiden mengurus bea cukai.
Baca juga: Catatan Cak AT: E-Voting Pilkades: Dari Coblosan ke Colokan
Maka datanglah dua pengendara sepeda motor misterius dengan helm fullface. Tugasnya, entah dipesan oleh siapa, jelas bukan mengecek STNK, melainkan memperkenalkan Yogi pada konsep baru yang disebut “reformasi premanisme.”
Dua kali dalam satu hari, motor Yogi dan tubuhnya jadi korban adu gaya jalanan. Anak sudah diantarnya ke TK, tapi di jalan pulang dia diserempet para motoris.
Beberapa jam kemudian, mungkin tak puas, kedua pemotor menendang motor Yogi di depan rumahnya.
Kawan-kawannya japri mengingatkannya untuk berhati-hati mengingat ada seorang jenderal dari Kopassus yang diangkat jadi Dirjen di Kementrian Keuangan. Tubuh Yogi yang sedang kuliah S2 di Magister Ilmu Administrasi UI pun gemetaran ketakutan.
Baca juga: Data Angka Kemiskinan yang Valid, Dinsos Depok Lakukan Pendampingan Musyawarah Kelurahan
Dia segera meminta ke pihak redaksi Detik untuk menghapus tulisan opininya. Detik menyarankannya untuk mengadukan kasusnya terlebih dulu ke Dewan Pers. Dia datang ke Dewan Pers sambil menahan kesedihan mengingat keselamatan istri dan dua anak kecilnya.
Redaksi Detik kemudian menghapus tulisan Yogi disertai penjelasan yang diubah sampai tiga kali. Pertama, Detik memberi penjelasan bahwa artikel itu dihapus atas rekomendasi Dewan Pers. Namun, pihak redaksi membiarkan judulnya tetap di tempat, padahal itu masalahnya.
Terakhir pesan diubah jadi: "Redaksi menghapus tulisan opini ini atas permintaan penulis, bukan atas rekomendasi Dewan Pers. Kami mohon maaf atas keteledoran ini. Sedangkan mengenai alasan keselamatan, itu berdasarkan penuturan penulis opini sendiri."
Begitulah, karena alasan keselamatan, seorang penulis terancam. Padahal, di negara demokrasi, jurnalis harusnya bebas. Tapi di sini, yang bebas justru preman. Pers dibungkam, pelaku teror bebas, dan algoritma WhatsApp bekerja lebih cepat dari sistem hukum.
Baca juga: ITSEC Asia Lakukan Restrukturisasi Strategis dan Cetak Kinerja Positif, Siap Perluas Ekspansi Global
Berdasarkan data Reporters Without Borders (RSF) tahun 2024, Indonesia berada di peringkat 108 dari 180 negara dalam indeks kebebasan pers. Itu sudah turun dari peringkat 117 di 2023. Artinya? Turun naik seperti nilai tukar, tapi sayangnya yang dipertaruhkan bukan mata uang, melainkan nyawa.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat pada tahun 2023 saja, ada 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis, naik dari 61 kasus di tahun 2022. Bentuknya bervariasi: intimidasi (34 kasus), doxing (13), hingga kekerasan fisik (12). Oh iya, hampir 40 persen pelakunya aparat.
Ya, aparat, bukan penjahat. Padahal, apa kata UU? Dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 8 berbunyi: “Dalam menjalankan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.” Tapi tampaknya, yang terlindungi justru mereka yang tersinggung oleh profesi itu sendiri.
Lucunya, saat wartawan atau penulis dibungkam, negara malah sibuk membanggakan freedom of speech di forum internasional. Mungkin maksudnya _freedom to scream in silence. Yogi aparat atau yogi-yogi penulis lainnya digencet dan dizalimi dengan cara-cara premanisme.
Baca juga: Catatan Cak AT: Oscar Pertanian untuk Perempuan Pecinta Mikroba
Padahal, Yogi bukan tokoh politik, bukan aktivis garis keras, apalagi buzzer. Ia hanya menulis bahwa jabatan sipil seharusnya diisi oleh sipil. Tapi tampaknya, negara kita kini sedang nostalgia: ingin kembali ke masa ketika jabatan sipil adalah sekoci pensiun tentara.
Letjen TNI Djaka Budi Utama, sosok yang tak disebut-sebut dalam opini itu, bukan cuma punya CV militer yang tebal, tapi juga sejarah menarik dalam kamus "Kenangan Orde Baru," lengkap dengan kata kunci: Tim Mawar. Anda tahu, tim ini dikenal sebagai apa di tahun 1998-an.
Lalu, hubungannya? Ya tidak ada, apalagi secara administratif. Tapi secara atmosferik, ancaman yang dialami Yogi terasa seperti bau-bau formalin dan mesiu zaman 1998. Bedanya, sekarang lebih high tech: cukup sebar di WAG, kamu sudah terancam.
Kekerasan terhadap jurnalis dan penulis bukan semata tindak kriminal. Ia adalah cermin dari negara yang gagal membedakan antara kritik dan makar, antara opini dan serangan personal, antara fakta dan fiksi, antara urusan publik dan pribadi.
Baca juga: Bukan Panggung Politik, Jamiluddin Ritonga: Perlu Formula Penyelesaian Legalitas Ijazah Jokowi
Jika negara tak mampu melindungi mereka yang bicara dengan pena, maka akan lebih banyak yang memilih berbicara lewat _burner account_ atau bahkan diam sama sekali. Dan saat itu terjadi, kita tidak lagi hidup di negara demokrasi, tapi dalam teater diam besar-besaran.
Kami tahu, menulis begini berisiko. Tapi lebih berisiko lagi membiarkan rasa takut mengelola negara. Hari ini Yogi, besok bisa jadi siapa saja. Mungkin kamu. Mungkin saya. Mungkin jurnalis yang hanya ingin mewawancarai, tapi pulang pakai kursi roda.
Jadi, mari kita lindungi kebebasan pers seperti kita melindungi pulsa: jangan sampai habis, apalagi disadap. Dan buat kamu Yogi, yang sedang S2 di UI, semoga negara tak memaksa tesismu direvisi karena "tak sejalan dengan stabilitas nasional." Ijazah aslimu, tunjukkan saja. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 26/5/2025