Home > Kolom

Catatan Cak AT: E-Voting Pilkades: Dari Coblosan ke Colokan

Dan tentu saja, mungkin perlu generator cadangan, kalau-kalau listrik padam karena ulah seekor tupai iseng.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: E-Voting Pilkades: Dari Coblosan ke Colokan. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: E-Voting Pilkades: Dari Coblosan ke Colokan. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Selamat datang di Republik Desa Digital! Ya, desa—tempat di mana sinyal internet kadang kalah cepat dengan suara kodok—kini bersiap menyambut e-voting di seantero negeri. Sebuah lompatan teknologi dari coblosan manual ke sentuhan jari di layar monitor, seolah pemilihan kepala desa adalah acara Grand Final Indonesian Idol.

Tapi sebelum kita terlalu terbius oleh aroma digitalisasi, mari kita bedah dengan kaca pembesar khas rakyat jelata. E-voting adalah sistem pemungutan suara elektronik yang menggunakan perangkat lunak dan keras buatan anak bangsa, hasil riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Sistem ini memanfaatkan peralatan seperti laptop atau tablet sebagai bilik suara, pemindai sidik jari untuk otentikasi pemilih, serta printer untuk mencetak hasil perolehan suara —jadi tetap ada yang bisa dipajang di balai desa.

Dan tentu saja, mungkin perlu generator cadangan, kalau-kalau listrik padam karena ulah seekor tupai iseng.

Baca juga: Catatan Cak AT: Oscar Pertanian untuk Perempuan Pecinta Mikroba

Teknologi ini bukan cuma angan-angan, tapi sudah digunakan di 1.752 desa pada 2024, mencakup 27 kabupaten. Hasilnya? Sangat berhasil, nyaris tanpa cacat.

Nyaman, cepat, dan minim keributan. Tak perlu petugas begadang menghitung kertas suara sambil diintip calon yang membawa nasi kotak penuh harap.

Sejumlah anggota Komisi II DPR RI menyatakan dukungan terhadap digitalisasi pemilu sebagai langkah maju dalam efisiensi dan transparansi. Namun, tak sedikit pula yang menyuarakan kekhawatiran terhadap kesiapan infrastruktur digital di daerah, terutama di wilayah terpencil yang bahkan belum merdeka dari sinyal 3G.

Baca juga: Bukan Panggung Politik, Jamiluddin Ritonga: Perlu Formula Penyelesaian Legalitas Ijazah Jokowi

Dalam beberapa rapat dengar pendapat, DPR juga mempertanyakan dasar hukum yang saat ini masih bersifat terbatas. Mereka menilai perlunya revisi atau penyesuaian terhadap regulasi seperti Undang-Undang Desa dan peraturan pelaksanaannya agar pelaksanaan e-voting memiliki landasan hukum yang kuat.

Beberapa fraksi bahkan mendesak agar pelaksanaan e-voting tidak hanya menjadi proyek percontohan yang parsial, melainkan masuk dalam kerangka kebijakan nasional yang terukur dan bertahap. Menyambut ini, Kementerian Dalam Negeri melalui Ditjen Bina Pemerintahan Desa telah menyiapkan sejumlah langkah strategis.

Salah satunya adalah penyusunan pedoman teknis pelaksanaan e-voting yang mengacu pada prinsip keamanan, kerahasiaan, dan aksesibilitas. Kemendagri juga tengah menjajaki kerja sama lintas kementerian dan lembaga—termasuk dengan BSSN dan Kominfo—untuk menjamin perlindungan data dan keamanan sistem.

Selain itu, beberapa daerah yang dianggap siap secara teknologi dan SDM telah ditetapkan sebagai lokasi uji coba, yang hasilnya akan dievaluasi sebagai dasar perluasan penerapan di masa depan. Implementasi e-voting dilakukan secara bertahap dan terukur, sambil terus melibatkan partisipasi masyarakat dan pengawasan publik.

Baca juga: Depok Panggil 51 Wajib Pajak Penunggak Pajak Lebih dari 10 Tahun

E-voting memang beda dari pemilu lama. Mari kita bandingkan. Pilkades konvensional itu ibarat naik andong —romantis, lambat, dan rawan ditinggal zaman. Prosesnya panjang: dari cetak surat suara, distribusi, pencoblosan, penghitungan manual, hingga rekap yang bisa membuat jari petugas lebih keriting dari kabel charger.

Dengan e-voting, waktu pencoblosan lebih singkat —satu pemilih cukup 3–5 menit; hasil langsung keluar saat itu juga, tanpa harus tunggu malam minggu; jumlah petugas berkurang drastis, tak perlu satu regu Panitia Khusus Sapu Lidi; dan biaya bisa ditekan hingga 30–40 persen karena tidak perlu cetak ribuan surat suara atau sewa tenda seminggu.

Namun tetap perlu pelatihan dan kesiapan infrastruktur. Jangan sampai warga malah panik karena tidak tahu harus menekan tombol atau menyentuh layar. Mereka datang mau pilih kepala desa, bukan belajar mobile banking.

Baca juga: Catatan Cak AT: Fatwa Darul Ifta' Mesir : Dam Haji Tak Harus di Makkah

Yang tak setuju e-voting sudah pasti mencari-cari alasan. Di antaranya, soal _money politics_ sebagai hantu lama pemilu yang tak mau tersingkir. Lalu muncul argumen: “E-voting tidak akan menyelesaikan masalah utama kita: politik uang.” Betul. Tapi siapa juga yang bilang e-voting adalah obat segala penyakit?

Politik uang terjadi jauh sebelum hari pemungutan suara. Di sinilah problem utamanya: banyak anak muda desa dengan idealisme setinggi langit, tapi modal hanya cukup untuk beli bensin sepeda motor —bukan untuk beli kaus dan amplop. Para pemuda calon pemimpin ini tereliminasi sendiri karena tak punya modal untuk _money politics._

Namun begini: antara e-voting dan politik uang adalah dua domain berbeda. Satunya soal teknologi pemungutan suara, yang lain adalah kultur pemilihan dan distribusi kuasa. Kalau kepala desa dipilih dengan sistem e-voting tapi tetap beli suara, itu seperti mengganti gerobak dengan mobil listrik —tapi tetap dikayuh dengan tenaga manusia.

Artinya, jangan salahkan e-voting kalau calon masih bagi-bagi beras. Itu bukan salah teknologinya, tapi moral manusianya.

Baca juga: Kasus The Umalas Signature, Polda Bali Benarkan Penahanan BT dengan Tuduhan Penipuan dan Pengelapan

Sistem manual sudah terbukti membuka celah kecurangan yang besar: surat suara bisa digandakan, dihitung ulang sembunyi-sembunyi, atau bahkan “tersesat” di got atau dilempar ke tempat pembuangan sampah. E-voting, dengan log sistem yang terekam dan hasil suara langsung tercetak, jelas jauh lebih sulit direkayasa tanpa jejak digital.

Namun benar juga: teknologi bisa dimanipulasi kalau ada “niat besar dan dana besar.” Maka, solusinya bukan membuang teknologinya, tapi memperkuat pengawasan dan audit sistemnya. Dan yang lebih penting lagi: perbaiki moral dan akhlak manusianya.

Gagasan untuk memperluas e-voting ke pilkada, bahkan pemilu nasional, adalah langkah logis. Tapi untuk ini, infrastruktur harus disiapkan serius, bukan asal-asalan. Buat regulasi yang kuat, transparan, partisipatif, dan jalankan dengan pengawasan ketat. Lakukan audit teknologi dengan melibatkan publik dan pakar independen.

Karena masa depan pemilu tak bisa lagi terus bergantung pada tinta di jari. Rakyat ingin pemilu yang cepat, murah, dan jujur. Kalau bisa, semudah pesan makanan online —tinggal klik, langsung tahu hasilnya. Dan untuk ini, BRIN sudah punya teknologi e-voting yang terbukti berhasil di lapangan.

Baca juga: Catatan Cak AT: Menimbang Abraham Accords, Demi Bangkit dari Puing Perang

Akhir kata: jangan takut teknologi, takutlah politik uang. Perbaiki regulasi dan akhlak. E-voting bukanlah mantra sakti untuk menyulap demokrasi jadi utopia. Tapi ia adalah alat bantu yang sangat berguna, seperti traktor bagi petani. Mau tanam padi atau cacar gajah, itu soal niat pemakainya.

Maka mari kita pisahkan antara e-voting dan money politics. Yang satu soal sistem, yang lain soal akhlak. Jangan jadikan kebusukan politik sebagai alasan untuk menolak kemajuan teknologi. Kalau begitu, nanti kita juga akan bilang: “Untuk apa punya internet, kalau hoaks tetap bertebaran?”

Jawabannya sederhana: karena perubahan dimulai dari alat yang lebih baik, kemudian dilanjutkan oleh orang yang lebih baik. Jadi, mari kita sambut pilkades di seantero negeri dengan e-voting —biar jari-jari yang menekan tombol adalah jari rakyat yang benar-benar memilih, bukan jari yang tergelincir karena amplop basah. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 25/5/2025

× Image