Inilah Rekomendasi Senator Terkait Program Pemutihan Ijazah di Jakarta

RUZKA—REPUBLIKA NETWORK — Langkah Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung yang menyerahkan secara simbolis bantuan pemutihan ijazah tahap IV tahun 2025 bagi 1.897 pelajar dari tingkat SD hingga SMA swasta mendapat apresiasi dari Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris. Menurut Fahira, program ini tidak sekadar menuntaskan tunggakan biaya pendidikan, tetapi juga membuka kembali pintu masa depan bagi ribuan anak Jakarta yang sebelumnya terkunci hanya karena selembar ijazah tertahan di laci sekolah.
Fahira Idris yang juga pemerhati pendidikan ini mengungkapkan, visi Jakarta sebagai Kota Global menuntut ketersediaan sumber daya manusia yang unggul, berdaya saing, dan memiliki kesempatan setara untuk berkembang. Pemutihan ijazah menjadi langkah strategis karena menyentuh akar persoalan ketidaksetaraan yaitu akses terhadap dokumen pendidikan yang menjadi prasyarat utama untuk melanjutkan studi, mendapatkan pekerjaan, dan membangun karier.
“Tanpa ijazah, banyak anak kehilangan kesempatan. Namun dengan pemutihan ini, mereka mendapatkan kembali harapan. Lebih dari sekadar intervensi sosial, program ini adalah investasi jangka panjang pada modal manusia Jakarta. Di satu sisi, Pemprov DKI berhasil menghapus hambatan struktural akibat keterbatasan ekonomi. Di sisi lain, langkah ini mengirimkan pesan kuat bahwa Jakarta berkomitmen membangun masa depan warganya,” ungkap Fahira Idris di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/08/2025).
Menurut Senator Jakarta ini, setidaknya terdapat tiga langkah penting yang bisa dilakukan untuk keberlanjutan program pemutihan ijazah ini. Pertama, memperkuat sistem pendataan dan verifikasi di mana Lemprov DKI Jakarta perlu membangun basis data yang komprehensif mengenai siswa yang berisiko tertahan ijazahnya akibat tunggakan biaya.
Sistem ini bisa dikaitkan langsung dengan data KJP Plus maupun data sosial ekonomi keluarga di DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Dengan pendataan yang baik, intervensi dapat dilakukan lebih dini sehingga kasus penahanan ijazah tidak lagi menumpuk hingga bertahun-tahun.
Kedua, membangun kolaborasi lebih luas dengan sekolah swasta karena sebagian besar kasus ijazah yang tertahan terjadi di sekolah swasta, Pemprov DKI Jakarta perlu menjalin mekanisme kerja sama yang lebih kuat dengan pihak sekolah. Kolaborasi ini bisa diwujudkan melalui pola subsidi silang, di mana sekolah swasta yang memiliki kapasitas finansial lebih baik ikut membantu sekolah lain yang siswanya rentan.
Selain itu, pemerintah provinsi juga dapat memberikan bantuan rutin berupa subsidi SPP tambahan bagi siswa yang benar-benar tidak mampu, sehingga risiko tunggakan bisa ditekan sejak awal.
“Di sisi lain, regulasi yang tegas perlu diberlakukan untuk melarang praktik penahanan ijazah sebagai alat penagihan, karena pada dasarnya ijazah adalah hak anak yang tidak boleh terampas oleh persoalan administratif maupun keterbatasan ekonomi keluarga,” tukas Fahira Idris.
Ketiga, integrasi dengan skema bantuan pendidikan (KJP Plus dan KJMU). Program pemutihan ijazah sebaiknya tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan KJP Plus (untuk siswa) dan KJMU (untuk mahasiswa).
Dengan integrasi ini, anak-anak Jakarta terlindungi secara berkelanjutan sejak masih bersekolah hingga melanjutkan ke perguruan tinggi. Skema ini akan memastikan bantuan tidak hanya hadir setelah mereka lulus, tetapi juga mencegah terjadinya tunggakan sejak awal.
“Di masa depan, keberanian Jakarta untuk memastikan 'zero ijazah tertahan' akan menjadi simbol bahwa kota ini tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjamin keadilan pendidikan. Dengan begitu, Jakarta tidak hanya menjadi kota yang modern, tetapi juga kota yang manusiawi dan inklusif,” pungkas Fahira Idris. (***)