Anggota DPD Pertanyakan Vasektomi Jadi Syarat Bansos, Nilai Gubernur Jabar Tak Beradab!

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Anggota DPD RI dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A angkat bicara soal wacana kontroversial dari Gubernur Jawa Barat (Jabar), Dedi Mulyadi, yang mengusulkan vasektomi sebagai syarat bagi warga miskin penerima bantuan sosial (bansos).
Dalam pernyataan yang sarat emosi dan empati, Gus Hilmy—begitu ia akrab disapa—menolak keras kebijakan tersebut dan menyebutnya sebagai bentuk pemaksaan yang tidak beradab.
Pernyataan Gus Hilmy ini muncul sebagai respons atas wacana yang mengaitkan prosedur medis vasektomi dengan hak dasar masyarakat untuk menerima bansos.
Menurutnya, kebijakan semacam ini bukan hanya melanggar hak asasi manusia, tapi juga bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial yang dijamin oleh konstitusi Indonesia.
“Menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos itu tidak memiliki dasar moral, hukum, maupun kemanusiaan. Tubuh rakyat miskin bukan komoditas yang bisa diatur seenaknya oleh negara,” tegas Gus Hilmy dalam keterangan yang diterima, Selasa (06/05/2025).
Wacana ini berasal dari pernyataan Gubernur Jabar yang dikenal gubernur konten karena kerap cari sensasi untuk kebutuhan platform konten pribadinya.
Baca juga: Tarif Tinggi AS Ancam Pekerja Indonesia, Bangkitkan Semangat Perdagangan Adil
Gus Hilmy, yang juga Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan Katib Syuriyah PBNU, menjadi tokoh yang menyuarakan penolakan. Ia tidak sendiri—masyarakat sipil, ormas keagamaan, hingga aktivis kemanusiaan ikut menyoroti isu ini.
Gus Hilmy menjelaskan bahwa vasektomi sebagai tindakan medis memiliki syarat ketat dan tidak bisa dipaksakan. Terlebih lagi, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa setiap individu berhak memilih layanan kesehatan yang mereka perlukan secara mandiri dan bertanggung jawab.
“Ini kelompok rentan, jangan malah direntankan lagi. Kalau tidak memenuhi syarat vasektomi, lantas tidak berhak hidup layak?,” kritiknya.
Baca juga: Sering Turun ke Bawah, Kepemimpinan Gubernur Jabar Tuai Pro Kontra
Ia menambahkan, kebijakan pengendalian penduduk seharusnya ditempuh lewat jalur edukatif dan kesadaran, bukan pemaksaan yang menyasar kelompok termarjinalkan.
Wacana vasektomi ini mengemuka di wilayah Jawa Barat, sementara respons keras datang dari Yogyakarta. Isu ini menjadi perhatian publik nasional pada awal Mei 2025.
Gus Hilmy tidak hanya menolak, tetapi juga memberikan solusi. Ia menyarankan agar pemerintah mencari alternatif syarat yang lebih logis dan sehat, seperti tidak merokok. Menurutnya, hal ini lebih masuk akal dari sisi kesehatan masyarakat dan dapat mengurangi beban sistem kesehatan nasional.
Baca juga: Kini Lahir Angkatan Displaced Journalists, Ketika Pena Tak Lagi Membuka Pintu Rezeki
“Lebih baik bansos disyaratkan bagi keluarga yang kepala rumah tangganya bukan perokok aktif. Itu masuk akal, berdampak langsung, dan tidak melukai hak dasar," jelasnya.
Selain itu, Gus Hilmy mendesak Pemerintah Pusat untuk mengevaluasi kebijakan daerah yang potensial melanggar hak warga negara. Ia menekankan pentingnya pembenahan data dan distribusi bansos agar tepat sasaran.
Di akhir pernyataannya, Gus Hilmy mengajak semua pihak—pemerintah, ormas keagamaan, dan masyarakat sipil—untuk bersama-sama menjaga nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan dalam setiap kebijakan publik.
“Jangan sampai bansos—yang seharusnya jadi pelukan negara untuk rakyat kecil—malah berubah menjadi alat kontrol yang menindas,” pungkasnya. (***)