Tarif Tinggi AS Ancam Pekerja Indonesia, Bangkitkan Semangat Perdagangan Adil

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Inilah saatnya Indonesia menegaskan kembali jati dirinya: negara yang menjunjung tinggi keadilan, keberagaman, dan kedaulatan.
Perjuangan untuk ekonomi yang lebih manusiawi harus dimulai dari sekarang—oleh kita semua.
Ketika dunia terus berputar dalam ketidakpastian ekonomi global, rakyat Indonesia kembali diuji oleh gelombang baru tantangan yang datang dari luar negeri.
Baca juga: Sering Turun ke Bawah, Kepemimpinan Gubernur Jabar Tuai Pro Kontra
Kali ini, ancaman datang dari Negeri Paman Sam, yang menerapkan tarif tinggi hingga 47 persen terhadap sejumlah komoditas ekspor unggulan Indonesia seperti garmen, alas kaki, dan tekstil.
Bukan hanya perusahaan eksportir yang merasakan tekanan, tetapi juga jutaan pekerja yang menggantungkan hidupnya di sektor padat karya.
Data dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyebutkan bahwa sekitar 1,2 juta pekerja Indonesia terancam kehilangan pekerjaan, dengan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi korban paling nyata—lebih dari 191.000 pekerja berada di ujung tanduk PHK.
Baca juga: Catatan Cak AT: Peran Baru Jurnalis, Melatih AI Menulis Berita
Tak hanya sektor formal, sektor informal yang selama ini menjadi penyelamat ekonomi keluarga juga berada dalam bahaya.
Petani yang memasok bahan baku, pedagang kecil, hingga pekerja rumahan akan turut merasakan dampak ekonomi berantai yang menghantam dari atas ke bawah.
Tarif tinggi ini merupakan bagian dari kebijakan ekonomi proteksionis Amerika Serikat yang dimulai sejak era Presiden Donald Trump dan hingga kini masih dilanjutkan.
Baca juga: Kini Lahir Angkatan Displaced Journalists, Ketika Pena Tak Lagi Membuka Pintu Rezeki
Meskipun ekonomi Indonesia telah mencoba berdiri kokoh melalui kerja keras para pelaku usaha dan tenaga kerja, keputusan sepihak dari AS ini mengacaukan tatanan yang telah dibangun dengan susah payah.
Pada 14 April 2025, pemerintah Indonesia mengirim delegasi diplomatik tingkat tinggi ke Washington D.C, dipimpin oleh Menteri Luar Negeri (Menlu), Sugiono, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Namun, hasil dari pertemuan tersebut belum mampu memberi angin segar. Harapan agar tarif dievaluasi ulang masih menggantung tanpa kepastian.
Baca juga: Ratusan Pekerja Migran Bermasalah Kembali Dipulangkan ke Indonesia
Tepat seminggu sebelum Hari Buruh Internasional, suara para pekerja akhirnya bergema di ruang Rapat Komite III DPD RI.
"Saya sendiri memimpin rapat tersebut, mendengarkan keluh kesah para buruh dari berbagai penjuru tanah air. Mereka bukan hanya menyampaikan kekhawatiran, tetapi juga harapan: agar negara hadir dan berpihak pada mereka, bukan hanya pada angka-angka makroekonomi," ujar Anggota DPD RI Dapli Sulawesi Selatan H. Al Hidayat Samsu, S.Pd dalam keterangan yang diterima, Senin (05/05/2025).
Tarif ini bukan sekadar angka di atas kertas. Ia berarti anak-anak tidak bisa sekolah, dapur yang tak lagi mengepul, dan masa depan yang mengabur.
Baca juga: PWI Pusat Apresiasi Gubernur Pramono Anung yang Dukung Liga Jakarta U-17
Ketika negara sebesar Amerika Serikat menerapkan kebijakan sepihak yang merugikan negara berkembang seperti Indonesia, dunia seharusnya bertanya: di mana letak keadilan perdagangan global?
Kita harus belajar dari sejarah. Abad ke-16 dan ke-17 menjadi saksi bagaimana Nusantara menjunjung tinggi semangat perdagangan yang bebas dan adil.
Sultan Alaudin dari Makassar pernah berkata, "Laut Dia berikan untuk dimiliki bersama." Warisan nilai ini seharusnya menjadi fondasi bagi arah kebijakan kita hari ini.
"Kini, saatnya pemerintah lebih berani mengambil posisi yang jelas: melindungi rakyat dari dampak kebijakan global yang tidak berpihak. Kita tidak bisa terus bergantung pada diplomasi yang tak berbuah. Kedaulatan ekonomi harus menjadi prioritas nasional," jelas Al Hidayat Samsu. (***)
Reporter: Bambang Priambodo/RUZKA INDONESIA