Home > Nasional

Sering Turun ke Bawah, Kepemimpinan Gubernur Jabar Tuai Pro Kontra

Dari sudut pandang ini, pemimpin yang mengambil kebijakan dengan berpikir parsial, kerap untuk mengatasi persoalan sesaat.
Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM). (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM). (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK - Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga menilik kepemimpinan Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) yang menuai pro kontra di masyarakat gegara sering turun ke bawah.

Menurut pengamat yang kerap disapa Jamil ini, pro dan kontra itu muncul karena masyarakat melihat turunnya KDM ke masyarakat dari sudut pandang yang berbeda. Bagi yang pro, KDM dinilai pemimpin yang merakyat karena selalu ada di tengah rakyat," urainya, Senin (05/05/2025).

Dari sudut pandang ini, masyarakat menganggap pemimpin dapat mengetahui persoalan masyarakat. Dengan begitu, pemimpin diharapkan dapat mengambil kebijakan yang pas untuk mengatasi persoalan masyarakat.

"Bagi kelompok ini, pemimpin yang baik adalah yang mampu mengambil keputusan yang cepat. Hal ini mereka temukan pada sosok KDM yang mengambil kebijakan saat di lapangan. KDM dinilai mampu mendengarkan aspirasi masyarakat dan langsung mengambil keputusan di tempat," jelasnya.

Pola kerja seperti itulah yang ditunjukkan Jokowi saat di awal menjadi Presiden. Awalnya mendapat respons yang baik, tapi belakangan sebagian menilai pola kerja demikian hanya pencitraan.

Bagi yang kontra menilai, tambah Jamil, KDM yang banyak turun ke bawah dan mengambil kebijakan di tempat, dinilai punya sisi negatif. Kebijakan yang diambil atas dasar berpikir parsial.

"Padahal, suatu kebijakan diambil perlu didasari berpikir komprehensif. Dengan begitu, masalah diatasi bukan untuk jangka pendek, tapi untuk jangka panjang," urai mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini.

Dari sudut pandang ini, pemimpin yang mengambil kebijakan dengan berpikir parsial, kerap untuk mengatasi persoalan sesaat. Keputusan seperti ini memang dapat memuaskan masyarakat dalam jangka pendek.

"Namun keputusan seperti itu untuk jangka panjang bisa jadi justru akan menambah masalah. Hal inilah yang awalnya masyarakat menyukai sang pemimpin, namun dalam jangka panjang bisa jadi akan dihujat. Hal seperti ini juga terlihat pada kasus Jokowi ketika jadi presiden. Awalnya dipuja-puja, belakangan justru banyak yang menghujatnya," sambungnya.

Jadi, tambah Jamil, dari sudut pandang ini KDM dinilai lebih banyak mengambil kebijakan populis, tanpa kajian mendalam, dan itu dimaksudkan untuk mengatasi masalah jangka pendek.

Pola kerja seperti itu disebar ke medsos. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat menilai KDM hanya pencitraan.

"Kebijakan populis memang kerap diidentikkan dengan pencitraan. Hal ini menguatkan kesan dari kelompok masyarakat ini kerja turun ke bawah merupakan bagian dari strategi KDM untuk pencitraan diri," tandasnya.

Jamil pun membiarkan masyarakat melihat sendiri mana yang benar dari penilaian itu. "Biarlah waktu yang menjawabnya," pungkasnya. (***)

× Image