Catatan Cak AT: Lelang Akal-akalan Peci Bung Karno

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Lebaran datang lagi, besok. Ini momen penuh suka cita, di mana masyarakat bersiap-siap menyambut kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa.
Mereka membeli baju baru, sarung baru, mukenah baru, sandal baru. Pokoknya serba baru, yang menipiskan kocek.
Namun, siapa sangka, di balik kemegahan istana dan gelarnya sebagai Presiden Republik Indonesia, pada masanya Bung Karno ternyata juga mengalami kerepotan finansial menjelang Idul Fitri. Kisah ini terjadi suatu ketika Bung Karno mendekati hari Lebaran tahun sekian.
Merasa kesulitan ekonomi, beliau mendatangi Roeslan Abdulgani, sang mantan Menteri Luar Negeri, untuk satu urusan mendesak: mencari uang. "Cak, tilpuno Anang Thayib, kondo’o nek aku gak duwe dhuwik," ujarnya. (Cak, teleponkan Anang, beritahu kalau aku tak punya uang).
Baca juga: Catatan Cak AT: Zakat Fitrah Simbol Kepedulian Sejati
Ya, Presiden pertama Republik ini seperti rakyat pada umumnya kala itu, gak duwe dhuwik menjelang Lebaran!
Seandainya ada media sosial saat itu, mungkin kita akan melihat hashtag #SaveBungKarno atau #ZakatFitrahSangProklamator trending di Twitter.
Masalah datang, solusi pun lahir. Roeslan, seorang tokoh cerdik, punya ide brilian: melelang peci bekas Bung Karno. "Beri aku satu peci bekasmu, saya akan lelang," kata Roeslan. Bung Karno pun memberikan kepadanya satu peci bekas yang sudah lama parkir di lemari.
Tapi, siapa sangka, keponakan Roeslan, Anang Thayib —seorang pengusaha peci merek Kuda Mas— punya strategi lebih jitu. Daripada melelang satu peci, ia menggandakan peci Bung Karno itu jadi tiga. Satu asli, dua lagi hasil kreasi seni.
Baca juga: Catatan Cak AT: Germo Politik
Anang yang berpengalaman soal peci meludahi, membasahi, dan memberinya minyak supaya tampak meyakinkan sebagai peci agak lusuh namun bersejarah. Lantas, dia memberitahu kawan-kawannya bahwa dirinya diberi amanah untuk melelang tiga peci Bung Karno.
Di depan para pengusaha di Gresik, Anang mengaku: “Saudara-saudara, sebenarnya hanya satu peci yang pernah dipakai oleh Bung Karno. Tetapi saya sudah tidak tahu lagi mana yang asli. Yang penting, ikhlas atau tidak?” Mereka lantas menjawab serempak, “Ikhlas ..”
Dan hasilnya? Boom! Tiga peci terjual, dan dalam waktu singkat, uang sebesar sepuluh juta rupiah terkumpul (jumlah yang luar biasa besar pada masa itu). Mengetahui cerita Anang, Roeslan tentu terkejut dan sedikit jengkel dengan akal-akalan keponakannya.
"Koen iki kurang ajar, Nang! Mbujuki wong akeh!" (Kamu kurang ajar, Nang! Menipu banyak orang!). Tapi Anang, dengan wajah santai, menjawab filosofis, "Nek gak ngono, gak oleh dhuwik akeh." (Kalau tidak begitu, mana mungkin bisa dapat uang sebanyak itu).
Sebuah logika bisnis yang jenius—atau menyerempet bahaya, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Cak Roeslan menganggap trik Anang mengubah dua songkok sebagai tipuan, namun Anang justeru menganggap ulahnya biasa saja.
Baca juga: Memberi Contoh Praktik Korupsi, Wali Kota Depok 'Disemprot' KPK
Ketika uang Rp 10 juta hasil lelang peci diserahkan ke Bung Karno, beliau pun heran, "Cak, kok akeh men dhuwike ??" (Banyak banget uangnya). Lalu, dengan kebesaran hati seorang pemimpin sejati, Bung Karno memutuskan sesuatu yang tak terduga:
"Gawe zakat fitrahku " katanya ke Roeslan. "Gowoen kabeh dhuwik iki nang Makam Sunan Giri. Dumno nang wong-wong melarat nok kono." (Ini untuk zakat fitrahku saja. Bawa semua uang ini ke Makam Sunan Giri. Bagikan kepada orang-orang miskin di sana).
Di sinilah ironi dan keindahan kisah ini berpadu. Seorang Presiden yang tak punya uang, justru tetap memikirkan rakyat kecil. Di saat banyak orang mengakali cara untuk menghindari kewajiban zakat, Bung Karno justru menciptakan cara untuk membayarnya—dengan kreativitas dan sedikit unsur dagelan khas masyarakat kita.
Anda tentu sudah punya kesimpulan, cerita ini mengandung tiga pelajaran penting. Pertama, pemimpin sejati tetap rakyat biasa.
Bung Karno, meski presiden, tak kebal dari kesulitan ekonomi. Tapi seperti rakyat kebanyakan, ia tak kehilangan cara untuk mencari solusi.
Baca juga: Ini Tips Damkar Depok, Aman Sebelum Rumah Ditinggal Mudik
Bagi Bung Karno, zakat itu bukan soal mampu atau tidak, tapi soal niat.
Niat inilah yang disyaratkan Islam dalam berzakat, dan menentukannya sahnya. Beliau bisa saja berdalih tak punya uang dan menunda zakatnya, tapi ia tetap mencari cara untuk menunaikan kewajiban itu.
Pelajaran lainnya: Kreativitas dalam mencari rezeki bisa mengubah nasib. Anang Thayib dengan “peci berkahnya” menunjukkan bahwa rezeki bisa datang dari ide-ide kreatif —walaupun caranya bisa diperdebatkan secara moral.
Walhasil, kisah zakat fitrah Bung Karno bukan hanya sekadar humor politik, tapi juga kritik sosial. Di negeri yang katanya kaya raya ini, jangan-jangan masih banyak pemimpin dan rakyat yang gak duwe dhuwik menjelang Lebaran.
Bedanya, mungkin, tidak semua punya akal sekreatif Bung Karno dan Anang Thayib. Jadi, kini mari kembali ke diri kita: bagaimana dengan zakat fitrah kita tahun ini? Apakah kita sudah menunaikannya, atau masih mencari peci bekas untuk dilelang? (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 30/3/2025