Sakmadya: Ketika Cukup Tak Lagi Cukup

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Hidup saat ini adalah perjuangan tanpa akhir. Semua orang berusaha menjadi orang yang paling sibuk, produktif, dan sukses. Tindakan penting harus diambil sebelum hidup ini menjadi sia-sia.
Ditengah keramaian, saya sering bertanya pada diri sendiri: sebenarnya, apa yang kita cari?
“Urip iku sakmadya, nduk,” kata guru saya dahulu.
Ini sudah cukup untuk waktu yang lama. Saya hanya mengangguk tanpa sepenuhnya memahami apa yang beliau ungkapkan.
Kalimat sederhana ini berisi makna mendalam, seperti baru menyadari.
“Secukupnya” bukan berarti malas atau tidak semangat; sebaliknya, itu memiliki kekuatan untuk bertahan dan mengambil langkah berikutnya.
Sayangnya, istilah “cukup” rupanya semakin kurang relevan pada zaman sekarang.
Orang diukur dari prestasinya, hartanya, atau pengikut media sosialnya. Lebih banyak jumlah followers dianggap memiliki performa yang lebih baik.
Banyak kalangan orang yang memilih hidup sederhana, tetapi dianggap kurang ambisius. Akan tetapi, orang-orang yang terlihat “normal” saja sesekali terlihat seperti orang yang paling santai.
Sosial media mempopulerkan budaya “never enough.” Kita melihat orang tumbuh, bekerja dengan baik, membeli rumah, atau berlibur ke luar negeri.
Baca juga: Rumus Produktivitas 3 Jam: Rahasia Elon Musk, dan 'Upgrade' Wajib Seorang Muslim
Tanpa sadar, kita mulai membandingkan hidup kita dengan hidup lainnya. Rasa terlambat, tidak penting, atau tidak sukses pun muncul. Meski demikian, tak ada satu pun jalan yang spesial.
Masalahnya adalah kita hidup di era yang membuat orang takut bahwa sesuatu yang normal terlihat seperti sesuatu yang tidak normal.
Diam dianggap tidak produktif dan malas. Kadang-kadang kita sendiri tidak paham apa yang sebenarnya kita lakukan, tetapi kita masih bergerak dan menunjukkan.
Terlalu tergesa-gesa untuk “lebih” membuat banyak orang lupa tujuan. Kita berusaha banyak, tapi kita melupakan untuk hidup.
Kita terlalu sibuk mencari apa yang belum kita miliki, sedangkan kita belum sempat bersyukur atas apa yang sudah kita miliki.
Baca juga: Catatan Cak AT: Frekuensi Adik-Kakak
Meskipun menyatakan keinginan untuk bahagia, kita akan terus menunggu sampai semua tujuan selesai, sedangkan kebahagiaan terdapat di hal-hal kecil yang kita lewatkan.
Orang-orang dulu hidup lebih sederhana, tapi bukan berarti tanpa mimpi. Mereka hanya tahu batas. Mereka tahu bahwa hidup tidak harus berlebihan.
“Urip iku sakmadya” berarti hidup itu seimbang, tidak kekurangan, tapi juga tidak berlebihan. Makan secukupnya, bekerja secukupnuya, bermimpi secukupnya.
Mungkin nilai-nilai ini telah hilang sejak lama. Kebahagiaan biasanya datang setelah kita memiliki segalanya. Meskipun demikian, mengatasi kesulitan hidup adalah saat kita belajar merasa cukup.
Banyak orang sekarang berbicara tentang self care, mindfulness, dan keseimbangan hidup. Bentuknya modern, tetapi maknanya sama dengan pesan lama: berhenti sejenak, ketahui apa yang ada, dan nikmati prosesnya.
Baca juga: Hari Santri, Pionir Perubahan Sosial dan Kemajuan Bangsa
Kadang-kadang, solusi stress modern tidak memerlukan teknologi baru, tetapi rancangan yang lebih sederhana.
Sebagian orang takut mengatakan “cukup” karena mereka pikir mereka akan berhenti berkembang jika mereka merasa cukup.
Namun, itu bukan kebenaran ataupun pembenaran. Ini hanya berarti berhenti berlebihan, bukan berhenti menuntut terlalu banyak dari diri sendiri.
Kita masih bisa bermimpi besar, tetapi dengan tenang. Kita masih bisa menghadapi kesulitan, tetapi tetap menemukan jalan keluar.
Ini menunjukkan bahwa hidup terdiri dari apa yang terjadi dan bagaimana kita menjalaninya.
Mungkin sudah saatnya untuk memperbaiki makna dari kata “cukup”. Tidak ada yang perlu ditambah.
Baca juga: Vokasi UI Hadirkan Congklak dalam GIM Digital Jaga Warisan Budaya
Hal-hal seperti beban, harapan, dan perbandingan sekali-kali dikurangi. Orang-orang dulu hidup lebih sederhana, tapi bukan berarti tanpa mimpi. Mereka hanya tahu batas.
Mereka tahu bahwa hidup tidak harus berlebihan. Dalam filosofi Jawa “urip iku sakmadya” berarti hidup itu seimbang, tidak kekurangan, tapi juga tidak berlebihan.
Kita dapat memulai dengan sesuatu yang sederhana, seperti menghargai apa yang ada di tangan kita, dan memberi diri kita kesempatan untuk rileks tanpa perasaan bersalah.
Hidup bukan tentang siapa yang paling cepat, melainkan bagaimana kita bisa menikmati setiap langkah kita.
Baca juga: Wonderful Indonesia Wellness Festival 2025, Harmoni di Tanah Jawa
Rasa cukup memungkinkan kita untuk mengucapkan terima kasih atas detik-detik kecil sehari-hari yang sering terlupakan, seperti makan dengan keluarga, melihat hujan, atau jalan-jalan bersama teman. Hal-hal belaka seperti itu benar-benar aset bagi hidup.
Walaupun kata sederhana “cukup” sangat kuat. Ia mengajarkan keseimbangan, kesadaran, dan kelegaan. Di dunia yang menuntut kita untuk lebih lagi, mereka yang bisa mengucapkan, “saya cukup” mungkin orang yang paling berani.
Hidup secukupnya berarti sadar diri, tahu kapan harus berjuang, berhenti, dan bersyukur. Kita boleh berambisi, tapi jangan sampai kehilangan makna hidup.
Kita boleh mengejar mimpi, tapi jangan sampai melupakan bagaimana menikmati hidup.
Tidak ada yang perlu tahu siapa yang paling damai, tapi siapa yang paling tinggi rasa cukupnya.
Mungkin, di dunia yang selalu berubah, orang yang dapat merasa cukup akan menang.
Mungkin memang begitu cara hidup mengajarkan kita. Tidak semua hal harus dikejar habis-habisan.
Kadang yang kita butuhkan hanya berhenti sejenak, menarik napas, dan menikmati apa yang sudah ada di depan mata.
Karena pada akhirnya hidup bukan soal cepat, tapi soal sadar dan tenang. Karena ketika hati sudah merasa cukup, Langkah kita pun jadi lebih ringan, seolah dunia ikut berjalan dengan ritme yang sama, pelan tapi penuh makna. (***)
Penulis: Cecylia Putri/Mahasiswi Universitas Brawijaya
