Catatan Cak AT: Militeristik

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Ah, jika kota-kota besar adalah panggung sandiwara, maka Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto tampaknya sama-sama senang memainkan drama berseragam. Ya, betul, maksudnya seragam militer.
Kedua tokoh ini punya kesamaan mencolok: bila polisi dianggap “tidak cukup”, muncullah pasukan militer.
Trump dengan National Guard-nya yang diterbangkan dari Texas ke Chicago, dari California ke Portland, bahkan merapat ke Washington D.C.
Baca juga: Jimly Asshiddiqie Beri Penghargaan Jimly Award Bagi Penengakan Demokrasi
Sementara itu, Prabowo meresmikan seratus batalyon baru, di Jabodetabek saja: 71 Yon TNI AD, 16 Yon TNI AL, dan 13 Yon TNI AU, lengkap dengan parako di berbagai Lanud dari Halim, Rumpin, Gorda, hingga Matoa-Depok. Setelah Jabodetabek, akan menyusul kota-kota lainnya.
Kalau Trump sekadar memanggil pasukan cadangan federal dengan cepat ke kota-kota Amerika, Prabowo malah lebih serius.
Untuk keperluan gelar militer itu, ia mencari dan menata lahan untuk markas pasukan, membuat site plan, memanfaatkan aset negara, seolah membangun kota militernya sendiri.
Dan inilah pemandangan yang menggelikan sekaligus menakutkan: tentara yang seharusnya menjaga perbatasan, kini mengurus kota layaknya satpam super.
Baca juga: Sekam Padi Jadi Solusi Limbah: Peneliti Perempuan UPER Masuk Daftar Top 2 Persen Ilmuwan Dunia
Di Amerika, ribuan anggota National Guard tidak hanya bersiaga di jalan, tapi juga memungut sampah, menyebar mulch, bahkan mengecat pagar, sambil mata mereka menatap “ancaman” yang terkadang hanya sepuluh orang demonstran.
Di Jakarta dan sekitarnya, batalyon Prabowo siap berbaris, melakukan survei lahan, mendirikan markas, memastikan kota aman —atau setidaknya tampak aman— dari perspektif atas. Sementara polisi? Ah, mereka tetap sibuk mengatur lampu lalu lintas, mengurusi tilang, atau mengingatkan warga supaya tidak parkir di tempat terlarang.
Kalau kita lihat lebih detil, pola pengerahan pasukan ini sebenarnya cukup sistematis. Di Jabodetabek, setiap satuan TNI AD ditambah dengan 51 Yon baru, TNI AL menambah 12 Yon, dan TNI AU menyiapkan 11 batalyon parako yang disebar di berbagai Lanud.
Personel melakukan survei lahan, menyusun site plan, memanfaatkan tanah terlantar, aset BLBI, atau BUMN —semua dilakukan tanpa membeli tanah, seakan-akan setiap inci ibu kota sudah menjadi pangkalan militer potensial.
Baca juga: Dekan FIB UI Sampaikan Kuliah Umum di ITB: Sejarah Geografi dan Dinamika Batas Wilayah
Sementara Trump, meski menggunakan pasukan cadangan, juga bersikap strategis: ribuan National Guard diturunkan sesuai kebutuhan, ditempatkan di fasilitas ICE, di jalan-jalan kota, dan kadang melakukan tugas tambahan yang terdengar absurd seperti menyebar mulch atau memungut sampah. Semua terlihat rapi, tapi tetap membuat warga mengernyit: “Ini tentara atau tukang kebun super?”
Perbandingan kedua sistem ini menarik. Trump memanfaatkan pasukan federal cadangan, bergerak cepat dan fleksibel, tapi legalitasnya dipertanyakan dan menimbulkan litigasi. Prabowo menyiapkan pasukan reguler, dengan rencana logistik yang detil, lahan, dan site plan, menunjukkan bahwa militer di Indonesia tetap diorganisir secara struktural.
Di satu sisi, efektivitas terlihat instan: kota tampak terkendali, kekuatan visual presiden tegas. Di sisi lain, efek sosialnya ambigu: warga merasa diawasi, polisi seakan terpinggirkan, dan batas sipil-militer menjadi kabur.
Baca juga: Catatan Cak AT: Visa Sakti Umrah Mandiri
Sekarang, pertanyaannya: apakah polisi saja tidak cukup? Teorinya tentu bisa. Polisi adalah garis depan keamanan sipil, dengan mandat hukum, prosedur investigasi, dan kewenangan penegakan aturan. Tapi kenyataannya, polisi dibatasi oleh anggaran, pelatihan, prosedur hukum, dan hak sipil warga.
Menambahkan polisi jumlahnya saja tidak cukup; melatih mereka agar bisa “mengatasi kerusuhan atau kriminalitas mendadak” butuh bertahun-tahun. Tentara, sebaliknya, memiliki disiplin, mobilitas, dan kapasitas logistik yang memungkinkan mereka hadir dengan efek langsung dan dramatis. Jadi ketika presiden ingin kota terlihat aman, dampak visual instan lebih penting daripada reformasi panjang polisi yang profesional.
Hiperbolanya, bayangkan: ribuan tentara berbaris di jalanan Jakarta, membawa senjata dan helm berkilau, sementara polisi sibuk mengatur rambu lalu lintas. Di Chicago, anggota National Guard memungut sampah, menyebar mulch, dan patroli di area yang nyaris kosong.
Efek visualnya menakutkan sekaligus kocak: warga mengernyit, anak-anak menunjuk sambil berbisik, “Lihat, satpam super sedang beraksi!” Sementara polisi hanya bisa tersenyum pahit, memegang palu tilang, atau memantau CCTV, merasa: “Ini pekerjaan saya seharusnya tapi tentara lebih cepat dan tegas.”
Kecenderungan militeristik ini jelas bukan kebetulan.
Trump menurunkan pasukan ke kota-kota yang dikuasai Demokrat dengan alasan kriminalitas atau “melindungi ICE”, Prabowo menyiapkan batalyon di Jabodetabek untuk pengamanan ibu kota.
Dalam kedua kasus, ada logika yang sama: cepat, tegas, dramatis, dan bisa dilihat publik. Tapi efek jangka panjangnya kontroversial: apakah ini normalisasi militerisme dalam kehidupan sipil, atau sekadar alat politik presiden untuk menunjukkan otoritas?
Tentu, ada alasan politik di balik pengerahan ini. Kehadiran tentara memberi pesan terselubung: “Kalau pemerintah kota tak sanggup, kami hadir.” Tapi efek psikologisnya besar: warga merasa diawasi, demonstran takut bergerak, dan media pun sibuk melaporkan ribuan pasukan berseragam lengkap di jalan-jalan kota.
Efek dramatik ini lebih mudah dicapai dengan tentara dibandingkan polisi, yang profesionalitasnya terbatas oleh prosedur hukum dan hak sipil warga.
Jika ditinjau dari sisi sejarah, fenomena ini adalah pengulangan pola klasik: negara yang ingin menegakkan kontrol kota secara cepat cenderung memobilisasi militer daripada aparat sipil.
Di AS, National Guard sering digunakan dalam krisis domestik; di Indonesia, pengalaman militerisme Prabowo jelas memudahkan rencana ekspansi batalyon.
Namun, berbeda konteks: AS harus menghadapi batas hukum federal, gugatan pengadilan, dan protes publik. Sementara di Indonesia, birokrasi militer dan penggunaan aset negara memberikan fleksibilitas lebih besar.
Dan di sinilah humor gelapnya: suatu hari nanti, anak-anak Jakarta atau Chicago mungkin akan sekolah sambil ditemani tentara berseragam lengkap, sementara guru berkata, “Ingat, tentara ini bukan mainan, tapi kalau mereka mau, bisa saja mereka mengganti jaga lampu merah kita!”
Baca juga: Pemkot Depok Perkuat Optimalisasi Pajak, Gandeng Dirjen Pajak dan Perimbangan Keuangan
Polisi tetap berada di pinggir jalan, mengatur lalu lintas, memegang palu tilang, atau mencatat pelanggaran sepeda motor yang parkir sembarangan. Sementara presiden tersenyum puas: kota tampak aman, otoritas terlihat tegas, dan publik? Mereka hanya bisa menatap bingung.
Akhirnya, fenomena ini mengingatkan kita bahwa keamanan kota ternyata bisa menjadi panggung politik, drama berseragam, sekaligus komedi satir.
Tentara hadir, bukan hanya sebagai pengawal, tetapi juga sebagai simbol kekuatan, efek visual, dan instrumen politik instan.
Polisi, meski profesional, tetap terbatas oleh prosedur dan hukum. Dan kita? Kita hanya bisa menonton, terkekeh geli sekaligus merenung: apakah ini solusi jangka panjang, atau sekadar ilusi keamanan dengan latar dramatis yang memanjakan mata presiden?
Baca juga: PWI Tanamkan Wawasan Kebangsaan dan Bahaya Narkoba di SMPN 267 Jakarta Selatan
Maka dari itu, baik Trump maupun Prabowo menunjukkan satu kesamaan: ketika segala prosedur sipil terasa lambat, tentara adalah jawaban instan, dramatis, dan hiperbolik.
Mereka hadir di jalan, di langit, dan di media, menegaskan kekuatan yang bisa langsung terlihat, dirasakan, dan – tentu saja – dijadikan _punchline_ satir oleh penulis seperti saya.
Tentara mengurus kota seperti satpam super, sementara polisi tetap sibuk menjaga rambu lalu lintas, menciptakan pemandangan yang absurd, jenaka, tapi tetap reflektif tentang bagaimana negara modern menggunakan kekuatan militer dalam kehidupan sipil. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 11/10/2025