Catatan Cak AT: Otak Ditukar Perut

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Bayangkan sebuah keluarga miskin yang penuh harap mendorong anaknya masuk sekolah.
Mereka membayangkan si anak kelak pandai membaca, bisa berhitung cepat, mungkin jadi insinyur atau dokter, atau setidaknya seorang guru yang dihormati kampung.
Tapi tiba-tiba Presiden datang membawa program Makan Bergizi Gratis (MBG). Seolah dia berkabar gembira: “Nak, jangan khawatir kalau bukumu tetap lusuh, ruang kelasmu tetap bocor, atau gurumu masih berstatus honorer. Yang penting perutmu kenyang!”
Inilah inti persoalan program MBG yang, dengan gagah berani, menyedot 44 persen anggaran pendidikan.
Baca juga: Lembaga Kebudayaan dan Museum Bahas Museum dan Masa Depan Kota di Tiongkok-ASEAN
Kalau anggaran pendidikan kita ibarat sepiring nasi lengkap dengan lauk, hampir separuhnya sudah bermutasi jadi lauk “makan siang gratis”.
Anak-anak hanya kebagian sisa sambal di pinggir piring untuk membeli buku, memperbaiki gedung sekolah, atau menggaji guru.
Jadilah pendidikan Indonesia seperti pesta kenduri: yang kenyang lebih dulu adalah tuan rumah politik, bukan tamu undangan bernama murid.
Pertanyaan sederhana sebenarnya bisa diajukan: apa pendidikan itu mestinya mengisi otak atau mengisi perut?
Baca juga: Selembut Kasih Sastra
Jika yang diisi otak, maka investasi dari APBN harus ditaruh sepenuhnya pada guru berkualitas, perpustakaan, laboratorium, dan kurikulum yang mencerahkan.
Jika yang diisi perut, maka fokusnya pada nasi, ayam goreng, sayur, buah, susu, dan tentu saja nasi kotak hasil tender.
Dan pemerintah tampaknya sudah memilih jalur kedua ini, seolah sekolah itu restoran besar dan murid itu pelanggan yang antre jatah makan siang.
Padahal, apa gunanya kenyang jika tetap bodoh, dan apa gunanya pintar jika perut kosong? Jawaban yang sehat seharusnya: keduanya penting. Namun logika kebijakan kita seperti pedagang bakso yang salah takaran: kuahnya melimpah, tapi baksonya tinggal dua butir kecil.
Baca juga: Tes DNA Ridwan Kamil dan Lisa Mariana, Ini Hasilnya
Tempo mencatat, dari Rp 757,8 triliun anggaran pendidikan 2026 yang dialokasikan dalam APBN, sebanyak Rp 334,94 triliun "dialihkan" untuk MBG dengan target 82,9 juta penerima. Artinya, anak-anak kini lebih dipandang sebagai mulut lapar ketimbang otak kosong.
Undang-Undang memang mengamanatkan 20 persen APBN harus dialokasikan untuk pendidikan. Tapi kalau isinya diganti nasi kotak, label itu tak ubahnya seperti warung yang mengaku menjual soto ayam, padahal yang keluar adalah kuah panas dengan mie instan.
Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin meningkatkan gizi, seharusnya mereka berani menjawab pertanyaan saintifik. Apakah betul gizi anak meningkat setelah program ini berjalan, ataukah hanya bertambah berat badan karena kelebihan karbohidrat?
Bagaimana kesehatan mereka diukur, apakah lewat indikator WHO atau cukup lewat senyum manis setelah kenyang? Kementerian Kesehatan seharusnya bisa menjawab pertanyaan mendasar ini, agar istilah "bergizi" betul-betul punya bukti ilmiah.
Baca juga: Keren! Lurah Depok Jaya Herlina Maharani Terima Peacemaker Justice Award 2025 dari Kemenhum
Dan bagaimana pula dengan lingkungan sekolah yang penuh jajanan tak sehat, dari sosis bakar, ciki ber-MSG, sampai gorengan dengan minyak jelantah? Bukankah semua itu merusak gizi lebih cepat daripada nasi kotak memperbaikinya?
Sungguh ironis, anak bisa makan gratis di kelas, lalu keluar gerbang sekolah dan langsung membeli minuman warna-warni neon. Ini pemandangan umum di lingkungan sekolah. Gizi yang sempat masuk pun kabur dalam hitungan menit.
Jika boleh dikata, mengalihkan anggaran pendidikan sebesar 44 persen ke MBG jelas bukan kebijakan, melainkan perampokan intelektual bangsa. Pemerintah menukar masa depan pendidikan anak-anak dengan kenyang sesaat.
Lebih parah lagi, proyek sebesar ini dikelola dalam bentuk tender makan massal. Pertanyaan kritis pun muncul: siapa yang jadi pemasok nasi, telur, ayam, dan buah? Jangan-jangan pendidikan kita berubah menjadi “bisnis catering berjamaah”.
Baca juga: Animasi Merah Putih dan Pertobatan Generasi
Guru masih banyak yang gajinya di bawah upah minimum, gedung sekolah ambruk di pelosok, buku pelajaran tipis seperti brosur iklan, dan internet di desa lebih sering mati ketimbang hidup. Tetapi negara sibuk menghitung berapa ton beras yang harus dibeli untuk nasi kotak.
Padahal dunia sudah punya contoh bagaimana program makan gratis bisa berjalan tanpa menjarah pos anggaran pendidikan. Jepang menyediakan makan siang bergizi di sekolah, tetapi dibiayai oleh Kementerian Kesehatan dan pemerintah lokal.
Finlandia juga menanggung makan gratis di sekolah sebagai bagian dari sistem kesejahteraan, tanpa mengganggu dana pendidikan. Sementara anggaran pendidikan tetap fokus pada guru, gedung, lab dan kurikulum
India bahkan memberi makan siang untuk ratusan juta anak lewat apa yang mereka istilahkan Midday Meal Scheme. Tetapi biayanya berasal dari Kementerian Urusan Pangan dan Pembangunan Pedesaan, bukan dari dompet sekolah.
Baca juga: Catatan Cak AT: Omon-omon Serakahnomics
Dengan kata lain, negara-negara itu menaruh otak dan perut di dua piring berbeda agar keduanya sama-sama terisi. Indonesia justru mencampur keduanya dalam satu piring sempit, sehingga nasi untuk otak harus direlakan dimakan perut.
Kita tidak menolak makan bergizi, yang kita tolak adalah mencuri anggaran dari pos pendidikan yang diamanatkan Undang-Undang. Kalau pemerintah serius dengan MBG, ambil anggarannya dari kesehatan, sosial, atau subsidi yang sering bocor.
MBG pun seharusnya berbasis riset gizi yang jelas, dengan standar WHO, edukasi gizi yang masuk kurikulum, dan pengendalian jajanan sekolah. Dengan begitu, anak-anak bukan hanya kenyang, tapi juga cerdas, kritis, sehat, dan produktif.
Sebab jika tidak, program ini hanya akan menjadi kenangan getir di masa depan: bangsa yang kenyang tapi tetap bodoh.
Baca juga: Pemkot Depok Rencana Tata Kawasan Heritage, Kota Maju Tidak Melupakan Sejarah
Presiden mungkin berhasil mengklaim rakyat tidak lapar. Tetapi sejarah akan mencatat anak-anak kita tetap tertinggal dalam pendidikan, termasuk literasi, sains, dan teknologi, meskipun perut mereka penuh nasi kotak yang dibagikan negara.
Jawabannya, jika ditanya kenapa? Karena kita salah kaprah —menukar otak dengan perut, dan melupakan bahwa perut kenyang tanpa otak cerdas hanyalah tiket menuju kenyamanan jangka pendek dan kebodohan jangka panjang. (***)
Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 21/8/2025