Home > Kolom

Animasi Merah Putih dan Pertobatan Generasi

Para penikmat film-film animasi sekarang adalah Generasi Z atau Alpha, yang lahir setelah peralihan milenium (tahun 2000).
Foto ilustrasi Animasi Merah Putih dan Pertobatan Generasi. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Animasi Merah Putih dan Pertobatan Generasi. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kontroversi film "Merah Putih", menurutku, mencerminkan fenomena yang lebih luas: yakni generation gap alias kesenjangan generasi.

Dihujat habis karena kualitasnya yang sangat buruk, baik cerita maupun gambarnya.

Tapi, yang terutama jadi masalah bukan di situ. Film ini di-endorse oleh pemerintah sebagai film animasi karya anak bangsa pertama yang membawa tema kebangsaan.

Para penikmat film-film animasi sekarang adalah Generasi Z atau Alpha, yang lahir setelah peralihan milenium (tahun 2000).

Baca juga: Catatan Cak AT: Omon-omon Serakahnomics

Di sosial media, saya membaca komentar-komentar mereka yang lantang, pedas dan sinis bukan hanya terhadap film itu, tapi juga generasi tua pembuat film ini yang terobsesi pada nasionalisme jadul.

Mereka menghujat generasi boomer. Dan hujatan itu tak hanya berhenti soal film, tapi bagaimana negeri ini dikelola dan diproyeksikan ke masa depan.

Mereka melihat kesenjangan yang makin lebar antara retorika nasionalisme dan realitas kehidupan sehari-hari.

Baca juga: Pemkot Depok Rencana Tata Kawasan Heritage, Kota Maju Tidak Melupakan Sejarah

Sebagai bagian dari generasi boomer (saya hanya setahun lebih muda dari Pak Jokowi), saya bisa memahami kemuakan mereka kepada hipokrisi kalangan tua, generasi saya.

Mantan Presiden Jokowi berusaha mendekatkan diri dengan mereka: bahkan secara harafiah memajang staf khusus milenial di istana (meski tidak jelas apa manfaatnya). Presiden Prabowo melanjutkannya dengan joged gemoy untuk menyembunyikan usia lanjutnya.

Tapi, kemudian generasi muda tahu itu semua cuma pencitraan, cara memanipulasi pemilih muda untuk memuluskan jalan kemenangan, sekaligus memgantarkan Gibran Rakabuming Raka menjadi wakil presiden.

Baca juga: Pegmas FEB UI Boyong Produk IKM Depok ke Pameran Johor Baru

Generasi muda kini resah akan penghidupan yang lebih sulit, lapangan kerja yang hilang dan menyempit, serta kerusakan lingkungan. Mereka menyalahkan kaum boomer, generasi Jokowi dan saya, untuk banyak kebijakan yang salah arah.

Mereka generasi yang lugas dan tidak suka basa-basi.

Dalam sebuah konser musik pekan lalu, band berhenti ketika tahu polisi/tentara merangsek penonton yang membawa bendera "One Piece". Sang musisi bicara lantang di depan mike: "Yang boleh dipukuli itu maling, pak. Pembawa bendera tidak punya salah. Tentara dan polisi itu digaji dengan pajak mereka."

Lugas, berani, tanpa basa-basi.

Sebagai boomer, saya mengapresiasi anak-anak muda yang berani menyuarakan kondisi dan situasi terkini masyarakat banyak. Yang peduli pada keadilan dan kerusakan alam. Yang muak terhadap kemunafikan.

Baca juga: Penghapusan Nomenklatur Berpotensi Naikkan Harga Beras

Dan sebaliknya, saya mengajak para boomer untuk bertobat serta meminta maaf kepada generasi baru.

Generasi boomer lah yang paling bertanggungjawab terhadap kerusakan negara seperti sekarang: para politisi dan pejabat pembuat kebijakan, para intelektual yang ikut terlibat dan mereka (termasui saya) yang berdiri di pinggiran membiarkan kerusakan terjadi.

Saatnya generasi tua bertobat dan menyingkir, serta memberi generasi baru kesempatan.

Bagaimana dengan Gibran? Dia lebih merupakan simbol nepotisme dan feodalisme usang ketimbang spirit anak muda Indonesia masa depan. (***)

Penulis: Farid Gaban/Wartawan Senior

× Image