Home > Kolom

Catatan Gaban: Gotong Royong Abundance Mentality, Renungan 80 Tahun Indonesia Merdeka

Berkecukupan bukan berarti berkelimpahruahan materi, tapi merasa cukup dan bersyukur dengan apa yang ada. Merasa berlimpahruah bahkan dalam kesederhanaan.
Logo Dirgahayu ke 80 RI. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Logo Dirgahayu ke 80 RI. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- "Tujuan pembangunan (peradaban) adalah memurnikan watak manusia, bukan memperbanyak keinginan (multiplication of wants)," kata EF Schumacher (Small is Beautiful).

Schumacher memperkenalkan istilah "enoughness", kebercukupan, yang diadopsi dari filsafat Buddhisme.

Berkecukupan bukan berarti berkelimpahruahan materi, tapi merasa cukup dan bersyukur dengan apa yang ada. Merasa berlimpahruah bahkan dalam kesederhanaan.

Ini salah satu yang kuat dalam tradisi Jawa dan masyarakat-masyarakat tradisional lain yang sering dianggap tidak suka kompetisi: urip sak madyo (hidup secukupnya).

Baca juga: Catatan Cak AT: Sepasang Bendera

Itu bukan mentalitas primitif. Di era manajemen modern, Stephen Covey menyebutnya sebagai abundance mentality: keyakinan bahwa selalu ada sumberdaya dan peluang yang cukup bagi semua/setiap orang untuk sukses; dan keyakinan bahwa sukses orang lain tidak menghilangkan potensi sukses diri kita.

Abundance mentality di kalangan masyarakat tradisional Indonesia, menurutku, diilhami oleh kelimpahan sumberdaya alam kita. Sumberdaya alam yang saya maksud adalah keragaman hayati, bukan tambang dan mineral.

Keragaman hayati (flora, fauna, ekosistem) membuat kita merasa berkecukupan, hampir mustahil kelaparan, karena "tongkat kayu dan batu jadi tanaman". Keragaman itu membuat hidup kita lebih longgar, dan karenanya kecil kebutuhan untuk bersaing, sebaliknya justru mendorong kerjasama (gotong royong).

Baca juga: Kongres Persatuan PWI Segera Dilaksanakan, Ini 7 Nama Calon Ketum yang Beredar

SDA tambang dan mineral, atau perkebunan monokultur seperti sawit, justru mencerminkan scarcity, kelangkaan, hanya segelintir orang yang menikmati hasilnya.

Dari dua kali keliling Indonesia saya menyaksikan konflik sosial yang berkelanjutan dan mengeras di kantong-kantong usaha ekstraktif tambang serta sawit.

Secara umum, semangat gotong royong masih ada dalam masyarakat tradisional kita, terutama di perdesaan dan pedalaman. Tapi, semangat ini makin menyusut.

Pertama, abundance mentality luntur oleh kian rusaknya alam dan menyusutnya keragaman hayati.

Baca juga: Kembalinya Citra Politik Tom Lembong

Kelestarian alam, hutan dan laut, penting sebagai fondasi tata sosial dan budaya. Itu sebabnya, Bhutan, misalnya, negeri kecil di kaki Himalaya, memilih melestarikan hutan untuk menjamin kohesi sosial yang menjadi fondasi kebahagiaan.

Bhutan adalah negeri yang memperkenalkan Indeks Kebahagiaan Nasional dan mewajibkan pemerintahannya menjaga 70% kelestarian hutan sebagai kewajiban konstitusional.

Kedua, spirit gotong royong berkurang oleh format ekonomi dan kebijakan publik pemerintah yang mengedepankan kompetisi serta memicu ketimpangan.

Pemerintahlah yang merusak spirit gotong royong dan solidaritas sosial.

Baca juga: Catatan Cak AT: Tafsir Amnesti dan Abolisi

Gotong royong cuma ada dalam komunitas kecil. Dan bagaimana kita bisa mengatakan harmoni sosial ketika 50% lahan dikuasai oleh 60 keluarga (termasuk keluarga Presiden Prabowo)?

Ketiga, gotong royong juga meluntur ketika program-program charity yang salah arah terus dikedepankan: bansos dan dana transfer desa. Rakyat diberi upah untuk memperbaiki jalan, yang dulu dilakukan dengan gotong royong tanpa bayar. Bantuan sosial (bansos) memicu moral hazard dan bahkan konflik di masyarakat (saling iri), mengajari orang untuk fokus pada uang sebagai ukuran.

Di desa-desa, orang tidak lagi bekerja bersama, mereka kerja sendiri-sendiri, bersaing dalam kemiskinan.

Memang ada kelompok-kelompok, seperti poktan (kelompok tani), tapi petani bekerja sendiri-sendiri setelah mendapat bantuan pemerintah, pada gilirannya memicu konflik dan korupsi, serta lunturnya trust antar-warga.

Baca juga: Catatan Cak AT: 'Dawir ' Oknum Habib

Swedia mungkin tidak kuat dalam gotong royong masyarakat seperti Indonesia atau Bhutan. Tapi, seperti negara-negara Skandinavia lain, spirit gotong royong dicerminkan dalam usaha koperasi serta kebijakan publik yang mendahulukan pemerataan.

Renungan di atas bisa mengilhami arah pembangunan kita ke depan. Apakah kita akan mendahulukan kelimpahan materi/ekonomi yang merusak alam sebagai fondasi harmoni sosial, atau sebaliknya.

Negara Skandinavia seperti Swedia selalu ada di urutan teratas negara paling bahagia dalam survai Indeks Kebahagiaan yang dilakukan oleg Gannet Poll.

Bahkan Bhutan, negeri yang mengusulkan kebahagiaan sebagai ukuran sukses pembangunan, ada di urutan agak bawah.

Baca juga: Layakkah Tom Lembong dan Hasto Dapat Abolisi dan Amnesti?

Bhutan negeri yang lebih miskin dari Indonesia dari GNP per capita.

Tapi, apa yang membuat Bhutan dan Skandinavia bisa sama-sama bahagia meski kontras secara ekonomi?

Ada 4 komponen yang konsisten ada dalam parameter kebahagiaan:

Social security. Warga merasa aman, tidak takut miskin. Skandinavia lewat kemakmuran yg disalurkan lewat welfare state. Bhutan lewat harmoni/solidaritas sosial; miskin tapi ada social safety net dalam masyarakat/keluarga.

Baca juga: Sidak Bersama Gubernur Jatim dan Pertamina Pantau Kelancaran Distribusi BBM di Jember

Kohesi sosial. Solidaritas dalam masyarakat yang sama-sama peduli tentang kepentingan bersama (publik). Di Skandinavia tecermin dalam konsep koperasi.

Good governance. Pemerintah yang amanah dan akuntabel, yang terus-menerus meningkatkan kualitas kebijakan publik, serta mendorong pemerataan bersama; egaliter; menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Bhutan, yang dulu berbentuk monarki belakangan berubah menjadi republik, dengan watak kepemimpinan yang egaliter.

Kelestarian alam..Baik Bhutan maupun Skandinavia dicirikan oleh keindahan dan kelestarian alam yang menjadi sumber kebahagiaan dan kekayaan spiritualitas. Alam yang rusak, banjir, longsor dan polusi, adalah sumber kesedihan.

Baca juga: Dinkes Depok Jelaskan Konsep Kampung Kota untuk Implementasi KTR

Catatan untuk Indonesia

Baik Skandinavia maupun Bhutan adalah negara-negara kecil, apakah Indonesia tidak terlalu besar jika ingin mencoba menerapkan kebijakan serupa?

Ukuran negara menunjukkan pentingnya otokomi daerah yang genuine, kalau perlu bahkan federasi.

Setiap kabupaten atau provinsi tak bisa beralasan terlalu besar untuk bisa seperti Bhutan atau Skandinavia dalam menjaga alam, mendorong pemerataan, meningkatkan kualitas pemerintahan dan memastikan jaminan serta kohesi sosial. (***)

Penulis oleh: Farid Gaban/Wartawan Senior

× Image