Home > Kolom

Catatan Cak AT: Menulis Indah di Zaman Auto-Correct

Jika ya, Anda tidak sendirian. Dunia digital telah menjadikan kita ahli dalam mengetik cepat, tetapi jagoan dalam menulis buruk.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Menulis Indah di Zaman Auto Correct. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Menulis Indah di Zaman Auto Correct. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Pernahkah Anda menulis tangan di kertas baru-baru ini, lalu tersadar bahwa tulisan Anda kini lebih mirip grafik gempa bumi daripada huruf alfabet?

Jika ya, Anda tidak sendirian. Dunia digital telah menjadikan kita ahli dalam mengetik cepat, tetapi jagoan dalam menulis buruk.

Ironisnya, kita sekarang hidup di era ketika tulisan tangan yang indah layak diberi penghargaan negara —dan, percayalah, penerimanya bukan dari Indonesia. Prakriti Malla, seorang remaja dari Nepal, baru-baru ini mendapat penghargaan dari negaranya karena... tulisan tangannya.

Ya, Anda tidak salah baca. Prakriti diberi penghargaan bukan karena menemukan vaksin, bukan pula karena menyelamatkan anak kucing dari genteng atau karena mengarang novel. Ia diberi penghargaan karena menulis huruf dengan sangat indah. Betul-betul indah.

Baca juga: Rusia Peringati AS untuk Tidak Ikut-ikutan Perang Iran dengan Israel

Saking indah tulisan tangannya, banyak yang mengira itu hasil printer, bukan tangan manusia. Dunia pun ramai, netizen heboh, dan sebagian besar dari kita hanya bisa menatap jemari kita yang sudah terlalu dimanja oleh keyboard QWERTY dan fitur _auto-correct._

Namun, sebelum kita tertawa sambil mengetik “LOL” di WhatsApp, mari kita renungkan: apakah penghargaan ini berlebihan, atau justru menjadi tamparan manis bagi kelas tempat kita belajar menulis, bagi sistem pendidikan global, termasuk di Indonesia?

Dalam kurikulum pendidikan kita, menulis tangan seolah menjadi praktik arkais alias kuno atau tak lazim. Bahkan, banyak guru sekarang lebih menganjurkan siswa untuk mengetik tugas di Google Docs, lalu di-share via link. Kertas folio dan tinta biru seolah tinggal kenangan zaman baheula.

Baca juga: Catatan Cak AT: Patah Hati Bawa Mati

Padahal, penelitian ilmiah membuktikan bahwa menulis tangan membantu meningkatkan daya ingat, memperkuat pemahaman, dan merangsang motorik halus. Tulisan tangan juga memiliki karakter yang tak tergantikan oleh font manapun di dunia digital.

Penelitian dari Princeton University (Mueller & Oppenheimer, 2014) bahkan menunjukkan bahwa mahasiswa yang mencatat dengan tangan lebih memahami materi kuliah dibanding yang mencatat dengan laptop, tablet atau handphone.

Tapi ya itu tadi, siapa peduli kalau jari sudah terbiasa mengetik cepat tanpa makna?

Lalu, bagaimana dengan khat di madrasah, sebuah nostalgia atau masih hidup?

Baca juga: Catatan Cak AT: Ulangan yang tak Kunjung Usai

Memang, di madrasah dan banyak pesantren, masih diajarkan seni khat Arab. Tapi mari kita jujur: seberapa serius pelajarannya? Dan lebih penting lagi: seberapa langka guru khat yang benar-benar mumpuni saat ini? Ada satu saja sudah hebat.

Guru khat sejati kini lebih langka dari pada guru TikTok. Kebanyakan ustadz hanya bisa menulis arab gundul dengan kecepatan sedang, sementara model penulisan Tsulutsi atau Diwani tampak seperti prasasti kuno di mata santri. Kenal Tsulutsi atau Diwani?

Di masa lalu, belajar khat adalah bentuk _riyadhah_ (latihan spiritual), penuh ketelatenan dan disiplin tinggi. Sekarang, anak-anak lebih bangga menguasai editing video dan membuat konten dakwah 60 detik yang viral, ketimbang menulis "Bismillahirrahmanirrahim" dengan indah.

Tapi, mengapa harus peduli? Pertama, karena tulisan tangan adalah jejak personal yang paling otentik. Jejak digital bisa dicuri, diedit, bahkan dipalsukan. Tapi tulisan tangan? Ia adalah cermin jiwa, hasil dari keterampilan otot halus, estetika rasa, dan ketekunan waktu.

Baca juga: Kongres Persatuan, PWI DKI Jakarta Dukung Calon Ketua dari Kalangan Muda dan Visioner

Prakriti Malla mengingatkan dunia akan hal itu.

Kedua, karena seni menulis tangan adalah bagian dari warisan budaya kita. Indonesia punya sejarah panjang dalam manuskrip, dari lontar Bali hingga kitab kuning pesantren. Jika kita mengabaikan seni ini, kita tidak hanya kehilangan kemampuan menulis indah, tapi juga memutus mata rantai budaya tulis tangan yang telah diwariskan berabad-abad.

Mari kita usulkan agar pelajaran menulis tangan tidak hanya dipertahankan, tapi dikembangkan. Tidak perlu serumit khat Kufi abad ke-8, cukup ajarkan anak-anak kita bagaimana menulis dengan rapi dan estetis.

Sekolah bisa mengadakan lomba kaligrafi, memberi penghargaan pada tulisan tangan terbaik, dan—mengapa tidak?—mengundang guru khat dari komunitas lokal. Siapa tahu, kita bisa melahirkan Prakriti Malla versi Indonesia.

Sekilas tampak, menulis indah mungkin terlihat tidak penting di zaman ketika AI bisa mengetikkan skripsi dalam lima menit. Tapi seperti lagu lama yang indah saat diputar di piringan hitam, ada keintiman dan kejujuran dalam tulisan tangan yang tak bisa diduplikasi oleh mesin.

Baca juga: Catatan Cak AT: Seni Perang dalam Diam

Mari jangan biarkan pena hanya menjadi simbol klise di logo-logo sekolah. Mari hidupkan kembali keindahan yang bisa ditorehkan oleh tangan manusia.

Atau kita akan terus mengira "Tulisan tangan terindah di dunia" hanya ada di luar negeri, karena di dalam negeri, kita bahkan tidak lagi mengajarkannya.

Salam tinta dan kertas. Mari menulis, sebelum jari kita benar-benar hanya bisa menggulir layar kristal. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 22/6/2025

× Image