Home > Kolom

Catatan Cak AT: Mitos Belum Dipanggil

Kata mampu di sini bukan berarti menunggu firasat atau mimpi. Tapi benar-benar: mampu secara finansial, fisik, keamanan, dan teknis administratif.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Mitos Belum Dipanggil. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Mitos Belum Dipanggil. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Ada satu frase yang sepertinya diciptakan bukan oleh ulama, bukan pula oleh ahli tafsir, tapi oleh kelompok yang suka menunda nasib baik nasional: “Saya belum dipanggil Allah untuk haji.” Frase ini terdengar syar’i, menyentuh, bahkan bisa membuat menantu menangis haru.

Tapi mari kita kupas dengan kaca pembesar yang reflektif dan konstruktif.

Berhaji, menurut syariat (الحج شرعًا), adalah bentuk penghambaan kepada Allah melalui serangkaian ibadah tertentu, di waktu tertentu, di tempat tertentu, dari orang tertentu, dengan cara tertentu. Artinya: ini ibadah yang sangat spesifik dan teknis.

Ibadah haji tidak bisa dilakukan di tempat lain (misal: “niatnya haji, tapi ke Gunung Kerinci dulu aja, biar warming up”). Dan haji tidak bisa dilakukan sembarang waktu (walaupun tanggal tua kadang juga membuat suasana terasa seperti Arafah).

Baca juga: Catatan CaK AT: Tragedi Longsor Kreatif Gunung Kuda Cirebon

Allah SWT berfirman secara gamblang dalam al-Qur'an surah Ali ‘Imran ayat 97:

"Dan (diwajibkan) kepada manusia untuk (melaksanakan) haji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu mengadakan perjalanan ke sana."

Kata mampu di sini bukan berarti menunggu firasat atau mimpi. Tapi benar-benar: mampu secara finansial, fisik, keamanan, dan teknis administratif.

Kalau Anda sanggup beli motor cash, langganan kopi artisan mingguan, dan liburan ke Bali tiap Lebaran, maka besar kemungkinan Anda juga mampu membuka tabungan haji. Lalu pergi haji. Yakin deh, Anda pasti mampu, dan bisa.

Baca juga: Jurnalis Senior yang Menjaga Logika

Mari kita luruskan satu mitos besar: “Belum dipanggil.” Yang benar, panggilan itu bukan berupa bisikan di malam Jumat atau suara gaib dari Kabah. Panggilan itu sudah tertulis terang di ayat Al Quran dan difirmankan Allah sejak lebih dari 1400 tahun yang lalu.

Bahkan Nabi Saw bersabda dalam hadits riwayat Muslim: "Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian haji, maka berhajilah kalian."

Jadi kalau Anda menunggu "dipanggil," itu ibarat menunggu undangan pernikahan padahal sudah dijodohkan, sudah ada tanggal, tinggal beli baju. Bahkan lebih dari itu—sudah ada sistem online, kuota nasional, dan kounter bank syariah di seberang kantor kecamatan.

Baca juga: The Colors of Unity Persada Cup 2025, Libatkan 100 Penari

Betul bahwa di Indonesia, daftar tunggu haji bukan main-main. Rata-rata mencapai 20 tahun. Artinya, jika Anda mendaftar usia 30, mungkin baru bisa berangkat saat punggung mulai nyeri dan lutut minta pensiun.

Kalau Anda menunggu “waktu yang pas”, maka Anda harus sadar bahwa waktu yang pas itu kemarin. Jadi, mari kita ganti narasi:

Dulu: “Saya belum dipanggil.”

Sekarang: “Saya belum ke bank.”

Baca juga: Kesaktian Pancasila, Ini Dialog Presiden Soekarno dengan Presiden Josef Broz Tito

Cukup datang ke kounter bank syariah, buka rekening haji, setor semampunya. Atau, minimal Rp 25 juta jika Anda mendaftar untuk langsung mendapatkan nomor antrean reguler, lalu sisihkan dana secara rutin untuk menabung per bulan.

Ini bukan hanya soal finansial, tapi juga soal mental: apakah kita siap menomorsatukan haji, salah satu kewajiban bagi setiap kita ini? Ataukah kita lebih siap memesan tiket konser Coldplay dan Tiket Masuk Museum Ghibli daripada masuk ke daftar haji?

Menurut kitab Fiqh al-Hajj, orang yang sudah mampu berhaji tetapi menunda-nunda tanpa alasan yang sah, sebenarnya sedang bermain api. Mayoritas ulama berpendapat bahwa haji adalah kewajiban fauriyyah, artinya harus segera dilakukan begitu mampu.

Dan jika seseorang menunda-nunda dengan dalih "nanti saja," maka ia tidak kafir (kecuali mengingkari kewajiban haji), tapi tetap berada dalam bahaya besar. Mengapa? Karena hidup itu tidak bisa dijadwalkan ulang seperti meeting Zoom.

Baca juga: Catatan Cak AT: Homo Erectus Purba di Laut Madura

Bisa jadi hari ini kita sehat, namun tiba-tiba esok divonis diabetes dan kolesterol level bos final Ragnarok. Bisa jadi hari ini kita punya tabungan, esok ludes karena anak salah beli NFT.

Allah berfirman dalam Qs Al-Baqarah: 148:

"Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan."

Lomba ini bukan lomba lari karung. Tapi lomba menyambut panggilan Tuhan, bukan panggilan diskon Tokopedia.

Mari kita akui dengan jujur: sebagian dari kita menggunakan “belum dipanggil” sebagai dalih spiritual yang terlihat khusyuk, namun dalam hati sedang delay keberangkatan. Padahal, seperti halnya salat, zakat, dan puasa, haji itu ibadah yang perlu disiapkan, bukan ditunggu-tunggu.

Baca juga: Catatan Cak AT: Wajah Beethoven Setelah Dua Abad

Tentu, ada banyak orang yang memang belum mampu. Maka berdoa dan menabung adalah bagian dari ikhtiar. Tapi bagi yang sudah mampu, yuk kita jujur: apakah belum dipanggil, atau belum ke bank?

Karena pada akhirnya, Allah tak butuh kita berhaji. Tapi kita yang butuh menunaikan haji untuk menyucikan jiwa, menyempurnakan Islam kita, dan—siapa tahu—menyadari bahwa panggilan-Nya ternyata sudah lama datang. Hanya saja kita yang terlalu sibuk mencari-cari alasan.

Ala kulli hal, artikel ini ditulis dengan penuh cinta dan kepedulian, bukan untuk menghakimi, tapi untuk membangunkan. Sebab, kadang iman butuh dicolek, bukan hanya ditimang-timang. (***)

Penulis: ak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 4/6/2025

× Image