Media yang Menggandakan Kebisingan

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Sebagai wartawan yang pernah kerja di media cetak perkotaan (1983-2020) saya menghayati sepenuhnya bahwa dalam tugas mulia jurnalis adalah menjaga akal sehat publik.
Media, tempat jurnalis bekerja, membawa misi menjelaskan duduk perkara, mengurai kekusutan, memperjelas yang samar, menyederhanakan hal rumit, membawa terang, dan menjaga jarak dari kegaduhan yang menyesatkan.
Namun kini, setiap membaca judul judul berita yang tersaji di media arus utama justru media terjebak dalam keramaian yang mereka ciptakan sendiri. ‘Syur’ dengan isu yang mereka lempar dan ledakkan.
Baca juga: Catatan Cak AT: Boleh Ganti OS, Moral Jangan
Media media arus utama - televisi maupun portal online - bukan lagi penyaring informasi, tapi pengganda kebisingan.
Nalar publik bukan dipandu, melainkan ditinggalkan. Bahkan sengaja disesatkan demi sensasi dan clickbait.
Pagi, siang dan malam kita disuguhi ‘headline’ bombastis, trivia politis, dan gosip sosial yang dibungkus dengan gaya serius seolah-olah itulah inti peradaban.
Baca juga: Serah Simpan Buku dari JB Edukreatif Indonesia ke Dinas Arpusda Kota Bogor
Padahal, di luar sorotan layar, krisis-krisis strategis terus menggerogoti bangsa: ketimpangan pendapatan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, korupsi kebijakan, pengangguran disinformasi digital dll.
Namun isu-isu itu dirasa tak menjual. Tak mengundang klik. Tak memantik emosi sesingkat video TikTok. Maka ia pun disingkirkan dari ruang berita.
Media utama kini justru ikut penyebaran informasi yang menyesatkan, disinformasi fitnah, dan kebencian (DFK). Istilah ini sering digunakan dalam konteks digital, di mana informasi bisa menyebar sangat cepat dan berdampak luas.
Baca juga: Catatan Cak AT: Ide Frustasi Amerika: Bom Nuklir Saja Gaza
Dari Martha Gellhorn (1908-1998), jurnalis perang legendaris, kita menerima pesannya sebagai pegangan jurnalis sepanjang zaman; “Jurnalisme bukan sekadar menyampaikan berita, tetapi juga mencerdaskan si jurnalis dan publik”.
Fakta terkini : para pembaca dan jurnalis ikut tergulung arus kebodohan.
Ironisnya, logika bisnis telah menggantikan etika jurnalistik. Algoritma ‘engagement’ kini lebih berkuasa daripada akurasi.
Media berlomba mengejar ‘viralitas’ alih-alih kedalaman. Kecepatan lebih penting dari ketepatan. Para reporter, wartawan di lapangan dan ruang redaksi tak lagi diberi waktu untuk berpikir, hanya ditugasi untuk memproduksi.
Baca juga: Terobosan! Kali Pertama Non Muslim Jabat Camat di Depok
Inilah saat ketika media kehilangan nalar: saat berita tak lagi menjadi jendela pemahaman, tapi cermin dari kekacauan publik. Kita lebih sering menyaksikan media menyoraki konflik elite daripada menyelami penderitaan rakyat.
Kita mendapati ruang redaksi ikut terpolarisasi, menjadi perpanjangan lidah kekuasaan atau oposisi, bukannya menjadi ruang moderasi wacana.
Jurnalisme semacam ini tak menyelamatkan demokrasi, justru mempercepat keausannya.
Baca juga: Catatan Cak AT: Akhir Kata Yogi (Tapi Jangan Dihapus Lagi)
Media yang kehilangan nalar adalah media yang tak lagi punya keberanian untuk memikirkan ulang. Ia hanya mengikuti arus: mengikuti trending topic, mengikuti buzzer, mengikuti sentimen.
Padahal publik butuh lebih dari sekadar informasi. Mereka butuh arah. Butuh konteks. Butuh penjelasan yang jujur, bahkan ketika itu tak populer.
Jurnalis dan awak media - jika masih setia pada panggilan tugasnya - seharusnya menjadi penunjuk jalan di tengah kabut, bukan penyumbang kabut itu sendiri.
Sebagai jurnalis, saya menulis ini bukan dari luar, melainkan dari dalam ruang yang sama. Saya pun kerap terjebak dalam tuntutan klik, tenggat waktu, dan tekanan algoritma. Tapi jika semua jurnalis menyerah pada itu, siapa lagi yang akan menjaga keberanian berpikir?
Baca juga: ISF 2025, Dorong Indonesia jadi Pemimpin Ekonomi Syariah Global
Sebagaimana ditegaskan oleh Kovach dan Rosenstiel, penulis pegangan “The Element of Journalism” bahwa jurnalisme sejatinya adalah upaya menyediakan informasi agar warga negara bisa bebas dan memerintah dirinya sendiri.
“Ketika media malah menjadi pengeras suara kegaduhan, alih-alih pemantik nalar, ia justru mengkhianati fungsi dasarnya," kata keduanya.
“Jurnalisme yang baik bukan propaganda, tapi usaha tulus mengejar kebenaran terbaik yang bisa didapat,” pesan Carl Bernstein, wartawan peraih Pulitzer dari skandal Watergate. (***)
Penulis: Dimas Supriyanto/Jurnalis Senior