Catatan Cak AT: Kolegium dan Konsil di Bawah Ketiak Kekuasaan

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Warga +62 pasti tahu Konsili Vatikan —tempat para kardinal berkumpul membahas urusan suci nan tinggi. Tapi begitu mendengar "Konsil Kedokteran", bisa jadi yang terlintas adalah klub alumni dokter-dokter tua yang ngopi sambil debat soal merk stetoskop.
Dan ketika mendengar "Kolegium Kedokteran", mayoritas akan spontan bertanya, “Itu band jazz dari Belanda atau merek susu formula baru?” Begitulah nasib dunia kesehatan: asing di telinga awam, tapi diobrak-abrik tanpa banyak suara.
Mari kita mulai dari kosakata sakral yang belakangan ini jadi rebutan: kolegium dan konsil tadi.
Dalam UU Praktik Kedokteran 2004, kolegium adalah badan ilmiah yang dibentuk organisasi profesi untuk setiap cabang ilmu kedokteran.
Baca juga: Senator Dukung Manggarai Bershalawat Lewat Lima Program Lanjutan
Isinya? Para guru besar, dosen, dan praktisi yang sehari-hari berkutat dengan anatomi, farmakologi, dan segala yang tak terjangkau logika netizen. Pokoknya, mereka yang satu kolega dalam urusan ilmu yang dipakari, yakni bidang kedokteran.
Kolegium alias badan ilmiah itu bertugas menyusun kurikulum, standar kompetensi, dan memastikan dokter spesialis tak jadi “tukang suntik asal-asalan”. Mereka mengatur segala hal terkait mutu pendidikan kedokteran, berlaku di lembaga-lembaga pendidikan kedokteran.
Sementara konsil kedokteran, itu adalah lembaga yang mengesahkan standar itu, sekaligus mengawasi praktik profesi dokter. Jadi, fungsi utamanya mengesahkan, untuk memastikan apa yang ditulis kolegium tidak ada yang salah titik komanya.
Baca juga: Kualifikasi Piala Dunia 2026, Timnas vs China di GBK, Berikut Harga Tiket dan Cara Belinya
Di negara-negara yang waras, kedua lembaga —kolegium dan konsili—dijaga tetap independen. Tapi Indonesia —ah, negeri penuh kreativitas—memutuskan bahwa semua itu lebih baik ditaruh di bawah ketiak Kementerian Kesehatan. Supaya lebih “terkoordinasi”, katanya.
Dengan dalih efisiensi dan penyederhanaan lewat UU No. 17 Tahun 2023, pemerintah mengubah wajah kolegium dan konsil: dari badan otonom ilmiah menjadi anak-anak tangga birokrasi. Kini, kolegium bukan lagi dibentuk oleh komunitas profesi, tapi oleh pemerintah.
Bahkan keanggotaannya bisa ditentukan lewat... voting. Ya, voting. Seperti pemilihan ketua RT, bukan penentu nasib pendidikan dokter spesialis. Tak perlu jadi guru besar untuk tahu keputusan ini sangat berbahaya.
Bayangkan. Kalau mutu pendidikan dokter ditentukan oleh perwakilan politik, maka siap-siaplah mendapat layanan medis yang standar etiknya mungkin setara dengan "dokter di sinetron" —banyak gaya, minim kompetensi.
Baca juga: Catatan Cak AT: Kelas Kuliah Hukum di Gedung MK
Ini bukan sekadar kooptasi, tapi semacam “suntik mati” terhadap integritas akademik. Maka, atas kesadaran yang mendalam dan kekecewaan yang membuncah, pada 16 Mei 2025, sebanyak 158 guru besar FKUI —ya, sebanyak itu— berdiri di Salemba.
Mereka datang bukan untuk mengajar, tapi menyampaikan keprihatinan. Mereka bukan buzzer, bukan oposan, tapi ilmuwan yang sudah mengabdikan hidup di ruang operasi, laboratorium, dan kelas. Ketika mereka bicara, mestinya bangsa ini mendengar.
Poin mereka sederhana: jangan jadikan pendidikan kedokteran sebagai ladang kuasa. Pendidikan kedokteran adalah urusan nyawa manusia, bukan proyek yang bisa dikavling-kavling.
Kolegium haruslah tetap menjadi milik akademisi dan praktisi, bukan “alat kelengkapan konsil” yang wajib lapor pada menteri.
Baca juga: Hanya Basa Basi, Kelayakan Jokowi Jadi Calon Ketum PSI Formalitas Belaka
Mereka pun tidak sedang membela IDI atau elit profesi. Mereka sedang memperingatkan kita semua bahwa ketika pemerintah masuk terlalu dalam ke urusan keilmuan, maka yang dikorbankan adalah: mutu dokter, hak pasien, dan keamanan publik.
Mungkin ada yang berkata: “Tapi kan DPR dan pemerintah yang menyusun UU Kesehatan itu dipilih rakyat?” Betul. Tapi yang dipilih rakyat itu tugasnya membuat kebijakan, bukan menyusun kurikulum anatomi forensik.
Ketika urusan sedetail itu diambil-alih oleh penguasa, maka kita sedang menyaksikan demokrasi berubah bentuk: dari pemerintahan oleh rakyat menjadi pemerintahan di atas kepala rakyat.
Lagi pula, kita semua tahu, proses penyusunan UU Kesehatan dilakukan dengan semangat omnibus. Tapi jangan salah, ini bukan "sapu jagat" demi kebaikan, melainkan sapu yang menyapukan hak-hak profesi ke bawah karpet.
Baca juga: Lebaran Depok, Tradisi Motong Kebo Andil, Warisan Budaya yang Dilestarikan
Tak ada partisipasi bermakna. Padahal, bahkan Mahkamah Konstitusi pun sudah memperingatkan: Konsil Kedokteran harus independen. Tapi pemerintah kita lebih suka mendengar saran dari spreadsheet birokrasi ketimbang para pakar yang telah mengabdi selama puluhan tahun.
Mari kita waras sejenak. Pakai akal sejat, kata Rocky Gerung. Anda tahu, pemerintah tentu punya tugas harus mengatur sistem kesehatan. Tapi bukan berarti ia berhak mengatur bagaimana ilmu kedokteran berkembang.
Seperti halnya Presiden tidak boleh menentukan siapa pemenang Hadiah Nobel, Menteri Kesehatan tidak seharusnya menentukan siapa yang pantas jadi pengajar bedah saraf. Tak heran bila publik berteriak agar pak Menkes yang sekarang diganti saja.
Sains berkembang karena kebebasan berpikir. Ini sudah jadi aksioma sejak lama. Namun, ketika kolegium dan konsil diborgol oleh birokrasi, maka yang kita hasilkan bukanlah dokter yang berpikir, tapi teknisi kesehatan yang taat instruksi.
Baca juga: Catatan Cak AT: Lahir Kembali dalam Cahaya-Puisi Esai Masuk Islamnya Angelina Jolie
Bayangkan bila pemerintah juga ikut menentukan siapa yang pantas mengajar filsafat, menulis puisi, atau membedah naskah kuno. Kelak, kita akan punya Kolegium Sastra Nasional yang wajib menyisipkan satu bait pujian pada menteri dalam setiap novel.
Sebelum semuanya terlambat, mari dengar suara 158 guru besar itu. Mereka tak sedang cari panggung. Mereka sedang mencoba menyelamatkan panggung tempat kita semua bisa hidup lebih sehat —dengan dokter yang dilatih bukan oleh pejabat, tapi oleh para ilmuwan sejati.
Dan kepada rakyat: kalau kalian bertanya, “Apa urusannya buat saya?”, jawabannya sederhana: karena suatu hari nanti, nyawa kalian mungkin akan bergantung pada keputusan yang diambil oleh orang yang tak pernah belajar kedokteran, tapi kebetulan menjabat. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 17/5/2025