Catatan Cak AT: Kelas Kuliah Hukum di Gedung MK

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Jumat 9 Mei 2025, Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) tak ubahnya seperti ruang kuliah besar kampus hukum paling hits di Indonesia.
Bukan karena ada seminar nasional atau job fair magang, tapi karena puluhan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi tumpah ruah dengan satu tujuan mulia: menggugat UU TNI.
Lima hari kemudian, bersama mereka, giliran Koalisi Masyarakat Sipil dari berbagai unsur masyarakat mendapat jadwal memulai sidang perdana gugatan uji formil atas undang-undang yang sama, di tempat yang sama. Tudingan mereka serius, UU TNI itu ilegal.
Baca juga: Hanya Basa Basi, Kelayakan Jokowi Jadi Calon Ketum PSI Hanya Formalitas Belaka
Bukan main. Dengan membawa laptop, buku tebal berjudul Pengantar Hukum Tata Negara, dan tentu saja tas gendong model terkini, mereka semua berkumpul dengan maksud sama, melakukan judicial review atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU TNI, yang belum lama disahkan.
Bukan cuma satu gugatan. Bukan dua. Tapi sebelas perkara uji formil dan materiil digelar oleh para hakim MK secara paralel, membuat gedung MK yang ukurannya jelas tidak seluas kampus UI atau UGM itu terpaksa mendadak berubah fungsi menjadi co-working space konstitusional.
Panel majelis hakim pun dibagi jadi tiga —mungkin kalau bisa dibagi jadi lima atau enam, akan dilakukan juga. Tapi tenaga hakim juga manusia, bukan robot.
Baca juga: Radha Sarisha 2025 Bertajuk BARA, Hidupkan Pesisir Barat Sumatera Lewat Maling Kundang
Untuk gambaran, gedung MK di Jakarta memiliki tiga ruang sidang utama. Pertama, Ruang Sidang Pleno – ruang sidang terbesar, digunakan untuk sidang pleno perkara penting, seperti pembacaan putusan atau perkara yang dihadiri ratusan pengunjung.
Lalu, ada Ruang Sidang Panel 1 dan Panel 2, yang luas ruangannya tak muat untuk ratusan hadirin di perkara rame dan penting. Dalam pelaksanaan persidangan, MK sering menggunakan sistem panel, yakni membagi hakim dalam tiga panel yang masing-masing menangani beberapa perkara uji formil/materi.
Kadang, jika diperlukan, satu ruangan bisa digunakan dua kali dalam satu hari untuk beberapa sidang berbeda, tergantung jadwal dan tingkat urgensi perkara. Kadang satu sidang berlangsung maraton dari pagi hingga larut malam.
Baca juga: Catatan Cak AT: Lahir Kembali dalam Cahaya-Puisi Esai Masuk Islamnya Angelina Jolie
Kali ini, para penggugat datang dari berbagai kampus papan atas: Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, Universitas Brawijaya, Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Universitas Putera Batam, dan bahkan Politeknik Negeri Batam.
Seandainya ini lomba antar-kampus, bisa jadi Olimpiade Hukum Konstitusi Nasional. Tapi yang lebih menarik dari sekadar deretan nama kampus adalah pertanyaan besar yang menyeruak dari balik toga-toga imajiner mereka: "Sejak kapan mahasiswa hukum begitu serempak menyadari pentingnya judicial review?"
Dugaan A, mungkin ini pertanda kebangkitan baru: generasi hukum yang tak hanya sibuk membuat meme soal dosen _killer_, tapi juga membaca UU dan menuntut pembatalannya. Siapa bilang Gen Z apatis? Mereka hanya menunggu UU yang cukup absurd untuk membuat mereka turun ke pengadilan, bukan jalanan.
Baca juga: Polrestro Depok Ciduk 7 Terduga Preman dalam Operasi Brantas Jaya
Atau, menurut dugaan B, jangan-jangan ini bagian dari kuliah kerja nyata (KKN) gaya baru? “Silakan bentuk kelompok 3–5 orang, pilih satu UU yang menurut Anda tidak beres, ajukan ke MK, dan buat laporan lengkap dengan lampiran surat pengantar dan legal standing.” Kalau benar begitu, kita harus akui: sistem pendidikan kita sedang naik level.
Ada juga dugaan C yang bilang: ini bukan kebangkitan spontan, tapi hasil dari operasi senyap para dosen hukum tata negara yang sudah muak dengan UU TNI. Jadi mereka menggerakkan para mahasiswanya seperti pion dalam catur konstitusi. Tapi hei, bukankah itu bentuk pengajaran paling aplikatif?
Tapi, apa yang mereka gugat, sih? Dalam substansi permohonan, para mahasiswa (dan segelintir advokat nyambi) menyasar banyak hal. Di antaranya, soal proses pembentukan UU yang tidak transparan, tak adanya draft resmi, tiadanya partisipasi publik yang mutlak dalam pembuatan undang-undang.
Baca juga: RSUI Miliki Layanan Penanganan Batu Ginjal Tanpa Pembedahan Terbuka
Mereka juga mempersoalkan naskah akademik yang usang, seperti makanan kadaluarsa yang dipanaskan ulang lalu disajikan kembali. Alasan lain, asuknya RUU TNI ke program legislasi nasional secara ilegal, tanpa alasan mendesak, tanpa prosedur yang benar.
Dan tentu saja, ini yang banyak disuarakan dengan gegap gemoita oleh publik, kekhawatiran akan militerisme, karena UU ini membuka jalan bagi TNI lebih aktif dalam urusan sipil tanpa kontrol ketat. Publik masih trauma dengan pemberlakuan dwifungsi ABRI/TNI semasa Orde Baru.
Yang lebih menggelitik adalah kenyataan bahwa satu draft UU bisa dipakai untuk membantah hampir seluruh prosedur perundang-undangan. Ini seperti menyusun puzzle pakai potongan dari kotak yang berbeda-beda: hasilnya aneh, dan tidak bisa dijadikan dasar hukum.
Baca juga: Mantan Rektor UIII Depok Prof Komaruddin Hidayat Terpilih Jadi Ketua Dewan Pers 2025-2028
Dengan belasan gugatan dan pemohon yang berkerumun seperti antre UKT, MK pun dipaksa mengoptimalkan sumber daya. Para hakim dibagi dalam tiga panel, mungkin sambil memohon pada Tuhan agar tak ada sidang tambahan mendadak.
Karena, selain yang sebelas rombongan tadi, di belakang sedang antrean, masih ada YLBHI, Imparsial, KontraS, dan para aktivis menunggu giliran. Bahkan ada yang belum didaftarkan, seperti peserta seminar yang lupa isi form registrasi.
Sungguh, Gedung MK tak pernah sehidup ini sejak gugatan omnibus law ramai beberapa tahun lalu. Apakah MK akan memperpanjang jam kerja? Menyewa aula sebelah? Atau memasang plang bertuliskan: “Tempat Sidang Juga Tempat Kuliah”?
Baca juga: Catatan Cak AT: Tambang Emas Tembakau Madura Minus Keadilan Sosial
Jadi, apa makna fenomena ini? Tentu, kita bisa tertawa, sinis, kagum, sekaligus merenung. Fenomena ini kombinasi antara kritik intelektual, keterdesakan hukum, dan tentu saja, kreativitas mahasiswa.
Kalau selama ini mereka dicap “kaum rebahan” dan “penonton TikTok,” kini mereka hadir sebagai warga negara sadar hukum yang memanfaatkan jalur konstitusional—walau dengan ransel dan kopi instan.
UU TNI jelas bermasalah, begitu menurut opini publik, yang mesti dibuktikan. Tapi yang lebih penting, gugatan-gugatan ini menunjukkan bahwa hukum bukan sekadar hafalan pasal, tapi medan hidup untuk diperdebatkan, dipraktekkan, dan jika perlu, diperjuangkan.
Baca juga: Gelar Operasi Berantas Jaya, Polrestro Depok akan Sikat Preman Berkedok Ormas
Entah ini hasil tugas kuliah, idealisme, atau kombinasi keduanya—tapi satu hal pasti: Indonesia punya harapan lebih adil dan demokratis, selama para mahasiswa masih rela datang ke MK dengan niat baik, bukan hanya selfie di depannya.
Dan siapa tahu, semester depan, kuliah pengantar HTN diganti dengan: “Praktek Langsung: Menggugat Negara.” Dan kalau kamu mahasiswa hukum dan belum pernah mengajukan judicial review, mungkin ini saatnya. Sebelum tempat duduk di MK jadi rebutan.(***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 16/5/2025