PHK Massal, Indonesia Alami Krisis Jurnalisme yang Sehat

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Saat ini industri media nasional sedang diterpa gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang mengguncang berbagai perusahaan pers arus utama.
Sejumlah nama besar seperti iNews, Kompas TV, CNN Indonesia TV, TV One, hingga Republika melakukan restrukturisasi besar-besaran yang berdampak pada ribuan pekerja media.
Penutupan beberapa kantor biro daerah iNews per 30 April 2025 menjadi sorotan utama. MNC Group, sebagai induk perusahaan, dikabarkan memberhentikan sedikitnya 400 karyawan.
Baca juga: Kini Lahir Angkatan Displaced Journalists, Ketika Pena Tak Lagi Membuka Pintu Rezeki
Tak hanya iNews, CNN Indonesia TV juga mengonfirmasi PHK terhadap sekitar 200 pegawainya, disusul Kompas TV yang melepas 150 karyawan dan menghentikan siaran televisi digital untuk beralih penuh ke platform digital.
Praktisi media dan pendiri Beranda Ruang Diskusi, Raldy Doy, menilai fenomena ini sebagai krisis struktural di tubuh industri media.
"Ini bukan hanya gelombang PHK, tapi alarm serius tentang arah masa depan jurnalisme nasional. Kita sedang menyaksikan transformasi yang belum diimbangi dengan kesiapan ekosistem kerja dan bisnis media yang sehat," jelas Raldy dalam keterangan yang diterima, Senin (05/05/2025).
Baca juga: Catatan Cak AT: Peran Baru Jurnalis, Melatih AI Menulis Berita
Raldy menyebut, banyak media saat ini terlalu fokus pada efisiensi dan perampingan, tanpa diiringi strategi adaptasi jangka panjang.
"Digitalisasi bukan semata memindahkan platform, tapi soal bagaimana menghidupi jurnalisme di tengah tantangan teknologi, algoritma, dan ekonomi digital yang sangat kompetitif," terangnya.
Ia juga menyoroti dampak sosial dari PHK massal ini terhadap pekerja media dan kualitas pemberitaan.
Baca juga: World Press Freedom Day Diperingati Setiap 3 Mei, Tema Tahun ini Dampak AI Terhadap Pers dan Media
"Kita akan kehilangan banyak karya- karya wartawan berpengalaman. Ini bukan hanya tentang angka, tapi soal nilai dan keberlanjutan profesi jurnalistik. Kalau tidak segera dibenahi, kita bisa masuk era post-jurnalisme yang miskin verifikasi dan etika," ungkap Raldy.
Ia berharap para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan asosiasi pers, turun tangan memastikan transisi industri ini tetap menjaga martabat pekerja media dan tidak mengorbankan kualitas informasi publik.
"Jurnalisme yang sehat butuh ekosistem yang berpihak pada pekerjanya, bukan hanya pada efisiensi pasar," pungkas Raldy. (***)