Home > Kolom

Catatan Cak AT: Rumus Instan Tarif Imbal-Balik Trump

Seharusnya, sesuai impian banyak orang, tarif yang katanya imbal-balik (reciprocal) itu dihitung adil, memperhitungkan ketentuan perdagangan, hambatan non-tarif, regulasi perizinan yang ribet, hingga berbagai rintangan di balik layar.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Rumus Instan Tarif Imbal-Balik Trump. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Rumus Instan Tarif Imbal-Balik Trump. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Sejak "Liberation Day" dicanangkan Presiden AS Donald Trump secara bertahap mulai 2 April lalu, saya bertanya-tanya: bagaimana, sih, mereka menghitung tarif? Indonesia, misalnya, dikenai tarif impor 32 persen oleh Trump. Awalnya saya pikir, mereka menghitung "tarif timbal-balik" itu dengan hitungan super rumit dan adil.

Kalau Anda juga membayangkan bahwa tarif timbal-balik ala Trump dihitung dengan rumus ekonomi makro tingkat dewa, spreadsheet bertabur jutaan data, dan konsultasi panjang dengan para ahli WTO—maka Anda keliru. Sangat keliru. Di dunia nyata, tarif ini lebih mirip resep masak mi instan: cepat, praktis, dan sedikit membahayakan kesehatan nasional.

Mari kita mulai dari harapan. Awalnya, para analis berharap Trump dan tim ekonominya yang berpengalaman itu akan menghitung tarif dengan membandingkan satu per satu kategori barang berdasarkan Harmonized System (HS codes) —lebih dari 5.000 kategori enam digit, belum termasuk rincian hingga delapan atau sepuluh digit di setiap negara.

Seharusnya, sesuai impian banyak orang, tarif yang katanya imbal-balik (reciprocal) itu dihitung adil, memperhitungkan ketentuan perdagangan, hambatan non-tarif, regulasi perizinan yang ribet, hingga berbagai rintangan di balik layar.

Baca juga: Catatan Cak AT: Adolescence, Mengaduk Mimpi Buruk Orang Tua

Namun, rupanya hitungan semacam itu dianggap terlalu rumit. Yang terjadi, mereka memilih cara "belakang amplop".

Ya, betul. Tarif impor Trump dihitung seperti Anda menghitung kembalian di warung sambil menyetir motor. Berikut ini rumus sakti yang dipakai:

Tarif Imbal-Balik (%) = Defisit Perdagangan AS dengan Negara ÷ Impor AS dari Negara.

Lalu, hasilnya dibagi dua supaya kelihatan "lebih sopan". Ini yang mereka sebut sebagai discounted reciprocal tariff —alias tarif imbal-balik yang dikasih diskon, mirip promo "beli satu gratis satu" di toko online.

Supaya lebih dramatis, mari kita lihat contoh nyata:

Uni Eropa: Defisit perdagangan AS sebesar $235,6 miliar dibagi impor dari Uni Eropa $605,8 miliar. Hasilnya sekitar 39 persen. Lalu, dibagi dua. Jadi tarif final: 20 persen.

Baca juga: Dipandang Inferior, Indonesia Perlu Galang Dunia Lawan Kebijakan Tarif Resiprokal AS

Indonesia: Defisit perdagangan AS $17,9 miliar dibagi impor dari Indonesia $28,1 miliar. Hasilnya 64 persen. Dibagi dua. Maka tarif final: 32 persen.

Sederhana? Tentu. Akurat? Ya... kalau Anda percaya bahwa memukul lalat pakai palu godam itu akurasi.

Karena rumus ini cuma berdasar angka dagang bilateral —bukan tarif aktual, bukan hambatan non-tarif, apalagi komponen produksi global— hasilnya tentu penuh drama. Negara yang kebetulan banyak surplus terhadap AS, tak peduli mengapa atau bagaimana, langsung dihantam tarif tinggi.

Akibatnya, beberapa negara mitra dagang utama AS, termasuk Indonesia, kaget setengah mati. Barang kita yang masuk AS, seperti tekstil, alas kaki, hingga hasil pertanian, langsung terasa lebih mahal. Di sisi lain, konsumen Amerika yang mestinya diuntungkan malah buntung: harga naik, inflasi melonjak.

Jadi, siapa yang menang? Secara teknis: tidak ada. Yang terjadi adalah perang dagang ala koboi. Perang satu lawan semua. Semua pihak bisa jadi babak belur, atau juga tidak. Tapi Trump tetap mengklaim kemenangan sambil mengibarkan bendera kecil bertuliskan "America First".

Baca juga: Catatan Cak AT: Merebus Air, Mengusir Mikroplastik

Dan siapa yang kalah? Pertama, tentu saja rakyat biasa, di AS sana. Tengok saja, rakyat Amerika langsung berdemo di seantero negeri, memvonis Trump sebagai presiden otoriter.

Tarif ini berfungsi seperti pajak konsumsi tambahan, dan seperti semua pajak konsumsi, bebannya paling berat jatuh ke kelas menengah dan bawah. Barang-barang impor yang sehari-hari dibutuhkan jadi mahal, sementara keuntungan fiskal dari tarif dipakai untuk memotong pajak... untuk orang kaya. Ah, indahnya dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Kita tentu ikut kena imbas, meski mungkin tidak langsung terasa di semua sektor. Untuk para petani gabah, misalnya, saat ini mereka menikmati harga pembelian Bulog sekitar Rp 6.500/kg —itu kabar baik. Mereka mungkin aman.

Tapi jika ketegangan dagang ini mendorong nilai dolar terus naik, biaya impor pupuk, pestisida, dan alat pertanian yang sebagian besar berbahan baku impor akan ikut naik. Baru di sini, petani bisa ketiban nasib sial akibat kebijakan Trump.

Sementara itu, beban pembayaran utang luar negeri Indonesia, yang sebagian besar berbentuk dolar, bisa makin berat. Setiap lonjakan nilai dolar berarti pemerintah dan sektor swasta harus menyiapkan lebih banyak rupiah untuk membayar cicilan dan bunga.

Baca juga: Kadin Ungkap Kebijakan Tarif Trump Berdampak pada Neraca Perdagangan RI-AS

Dan jangan lupa para pemain saham. Ketidakpastian global akibat perang dagang ini membuat pasar keuangan bergoyang bak kapal pecah. Indeks saham langsung jatuh, modal asing bisa kabur. Tentu, ini hanya masalah kecil, kalau Anda bukan pemilik saham.

Perang tarif ala Trump ini mengingatkan kita bahwa dalam politik global, kalkulasi cepat dan awut-awutan sering kali berujung pada kerusakan lambat. Dan seperti biasa, ketika gajah bertarung, rumput yang kena injak. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 7/4/2025

× Image