Catatan Cak AT: Adolescence, Mengaduk Mimpi Buruk Orang Tua

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kita sudah melihat berbagai bentuk ketakutan dalam sejarah perfilman— hantu menyeramkan, pembunuh bertopeng, bahkan boneka iblis.
Namun, tak ada yang lebih menakutkan ketimbang satu pertanyaan yang mengintai setiap orang tua di era digital: “Bagaimana jika anak saya berubah menjadi monster tanpa saya sadari?”
Netflix, dengan insting tajamnya dalam mengendus kecemasan sosial, kini mempersembahkan "Adolescence", sebuah miniseri empat episode yang mengguncang dunia maya.
Sejak perilisannya bulan lalu, serial ini langsung melesat ke puncak daftar tontonan dengan 66,3 juta kali ditonton dalam dua pekan, mengalahkan semua serial yang ada.
Baca juga: Catatan Cak AT: Polisi Awasi Jurnalis Asing
Angka ini membuktikan bahwa minat publik terhadap kisah-kisah tragedi remaja masih sepopuler ketakutan mereka terhadap password yang terlupakan.
Ia mengaduk-aduk pikiran dan perasan pemirsa, mengubah tontonan sederhana dari drama keluarga ke mimpi buruk psikologis, hingga ada yang menyalahkan media sosial.
“Adolescence” berkisah tentang Jamie Miller (Owen Cooper), seorang anak 13 tahun yang ditangkap atas dugaan pembunuhan terhadap teman sekelasnya.
Tanpa efek ledakan, tanpa kejar-kejaran mobil, dan tanpa plot twist ala telenovela, serial ini mengandalkan satu hal yang lebih mengerikan: realitas.
Baca juga: Catatan Cak AT: Merebus Air, Mengusir Mikroplastik
Salah satu dari empat episode yang paling mencengkeram adalah ketika Jamie diwawancarai seorang psikolog anak.
Selama 52 menit, penonton dipaksa menyaksikan pertanyaan demi pertanyaan yang menggali ke dalam pikiran seorang bocah, mencoba mengurai benang kusut yang bahkan tidak bisa dipahami oleh orang tuanya sendiri.
Tidak ada adegan kekerasan eksplisit, hanya dua orang yang berbicara di dalam ruangan, memberi pemahaman yang intens tentang apa yang terjadi dan dialami si anak.
Namun, di sinilah letak kejeniusan serial ini: kengerian tidak datang dari apa yang terlihat, tetapi dari apa yang tak terkatakan.
Mungkin inilah yang membuat “Adolescence” lebih mengerikan dari film horor mana pun —karena ia menyentuh ketakutan yang begitu dekat.
Baca juga: Catatan Cak AT: Tiga Resep Dasar Berumur Panjang
Jika generasi sebelumnya hidup dengan mentalitas “Ini tak akan terjadi pada anak saya”, kini para orang tua modern hidup dengan kecemasan sebaliknya: “Bagaimana jika ini terjadi pada anak saya?”
Di tengah maraknya perdebatan tentang kesehatan mental remaja, pengaruh media sosial, dan alienasi anak-anak dari orang tua mereka, serial ini datang sebagai tamparan keras. Tidak ada jawaban hitam-putih, tidak ada resolusi yang nyaman.
Serial ini hanya menyampaikan refleksi pahit tentang betapa mudahnya dunia modern mencetak anak-anak yang kesepian, tersesat, dan —dalam kasus Jamie— berbahaya. Bayangkan, ia sampai begitu tega membunuh teman sekelas.
Jika tahun lalu publik dikejutkan oleh "Baby Reindeer", kisah nyata seorang pria yang dikejar oleh penguntitnya, maka "Adolescence" adalah bentuk horor yang lebih luas: bukan sekadar kisah satu orang, melainkan cermin bagi banyak keluarga.
Dengan pendekatan yang lebih seperti teater dibandingkan thriller klasik, serial ini tidak menawarkan klimaks dramatis, melainkan membiarkan kita tenggelam dalam keputusasaan yang nyata. Kepala kita diaduk-aduk begitu sempurna.
Baca juga: Apa itu Bahaya Aquaplaning Bagi Pengendara Mobil, Ini Tanda-tanda dan Penyebabnya
Netflix tampaknya telah menemukan formula baru dalam mengguncang emosi penontonnya: bukan lagi kejutan bombastis atau misteri yang terpecahkan di menit terakhir, melainkan pengalaman yang membuat kita bertanya yang, anehnya, kadang tanpa jawaban, “Apakah saya benar-benar mengenal anak saya sendiri?”
Di akhir tontonan, “Adolescence” tidak memberikan hiburan yang menyenangkan atau perasaan puas karena misteri terpecahkan. Sebaliknya, ia meninggalkan penonton dalam kebingungan, kecemasan, dan mungkin juga dorongan untuk mengetuk pintu kamar anak mereka, hanya untuk memastikan mereka baik-baik saja.
Walhasil, film ini bukan hanya tentang Jamie Miller seorang. Ini tentang semua Jamie di luar sana —anak-anak yang mungkin sedang tumbuh di ruang-ruang yang kita pikir aman, tetapi perlahan-lahan berubah menjadi labirin yang bahkan mereka sendiri tak bisa keluar.
Netflix, sekali lagi, tidak hanya memberi tontonan, tetapi juga menyodorkan cermin tempat kita berkaca. Dan bagi banyak orang tua, bayangan di dalam cermin ini bisa jadi lebih mengerikan dari yang pernah mereka bayangkan. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 6/4/2025