Bandingkan dengan Solo, PDIP Depok Tuding PKS Ngawur
ruzka.republika.co.id--Buntut kritik pedas dari Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto yang meminta PKS mengurus Kota Depok daripada mengkritik kebijakan pemerintah soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Dibalas PKS Depok dengan membandingkan Kota Solo yang dipimpin PDIP sebagai kota gagal. PKS mengkalim Kota Depok jauh lebih baik mengatasi tingkat kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
PDIP Depok beraksi dan menilai kritik PKS soal mengungkapkan data tingkat kemiskinan dan IPM mengukur sebagai keberhasilan Kota Depok itu tidak tepat dan bisa dibilang ngawur.
"Bisa dibilang ngawur, membandingkan tingkat kemiskinan di Solo untuk membuktikan Depok berhasil dalam pembangunan. Dua data terkait tingkat kemiskinan dan IPM tidak bisa digunakan mengukur keberhasilan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok," ujar Ketua Fraksi PDIP DPRD Kota Depok, Ikravany Hilman dalam video conference yang diterima, Senin (19/09/2022).
Ikravany memberi ilustrasi, kalau ada 100 warga, ada 50 orang miskin, maka 50 persennya miskin. Tapi, jika ada pertambahan penduduk dari luar sebanyak 100 orang yang tidak miskin, sehingga penduduk bertambah 200 orang, yang miskin tetap 50 orang, tetapi presentasinya menjadi 25 persen.
"Jadi itu, tidak menurunkan angka kemiskinan, karena yang miskin tetap 50 orang. Apakah ini merupakan keberhasilan pengentasan kemiskinan? Tidak, karena yang miskin tetap 50 orang," jelasnya.
Ia menegaskan, berbeda dengan Solo, Kota Depok memiliki karakteristik kota migrasi sebagai sub urban dari Jakarta, dimana tiga sampai empat persen terjadi pertambahan penduduk di Kota Depok sebagian adalah migrasi.
"Kota Depok menerima warga yang sudah jadi, kelas menengah keatas, yang kerja di Jakarta, tinggal di Kota Depok. Jadi, sangat mungkin keberhasilan penurunan tingkat kemiskinan itu bukan prestasi Pemkot Depok," terang Ikravany.
Lanjut Ikravany, soal IPM itu dilihat dari tiga indikator utama yakni tingkat pendidikan, harapan hidup layak dan harapan hidup, tingkat kesehatan. Dengan karakteristik kota migrasi, IPM juga tidak bisa dijadikan tolak ukur keberhasilan Pemkot Depok.
"Saya kira 50 persen lebih warga Kota Depok itu produk migrasi yang sekolahnya tidak di Kota Depok. Demikian juga untuk harapan hidup layak, tingkat konsumsi. Saya perkirakan juga 50 persen lebih warganya bekerja atau mendapatkan penghasilan dari luar Kota Depok, terutama di Jakarta, yang kemudian belanjanya di Kota Depok. Tingkat konsumsi tinggi tapi bukan karena ekonomi yang berputar di Kota Depok," pungkasnya. (Rusdy Nurdiansyah)